Sejak kemarin dan hari ini, 23
& 24 Agustus telah terjadi lagi tangkap tangan oleh KPK terhadap pejabat publik
kita. Seakan-akan menandakan tiada akan berakhirnya peristiwa ketidakjujuran di
bangsa kita ini. Hampir setiap hari peristiwa tangkap tangan dilakukan oleh KPK
dan beritanya selalu menghiasi di seluruh media-media yang ada,baik cetak, online,
ataupun televisi. Sebelum kejadian terhadap Dirjen Perhubungan, telah terjadi
juga peristiwa tangkap tangan kepada panitera pengadilan di Jakarta.
Sampai-sampai kita bosan dengarnya dan menyaksikannya.
Sebenarnya melalui peristiwa itu
juga, baik secara langsung atau tidak langsung, kita tentunya belajar bagaimana
untuk tidak jujur dan akhirnya melakukan korupsi. Sebab kita, saban hari selalu
dicokoli dengan pemberitaan-pemberitaan seperti itu. Dan akhirnya mengeluarkan statement, pemimpin saya aja bisa ‘begitu’
masak saya gak bisa.
Menurut Radhar Panca Dahana,
seorang budayawan, yang dimuat pada opini Kompas (1/8), menyampaikan ada tiga
praktek ketidakjujuran. Pertama adalah “dusta elektoral”, dimana seharusnya
rakyat yang menjadi panglima penentu pemimpin mereka, akhirnya berubah. Para
pemimpin tersebut yang ada dimulai sejak pemilihan sudah merupakan barter jatah kekuasaan dari elite
penguasa pemimpin ataupun para elit partai. Sehingga terjadinya atau adanya
arisan kekuasaan.
Kedua adalah “dusta regulasional”.
Membuat kebijakan-kebijakan atau regulasi-regulasi yang seakan-akan
mengedepankan kepentingan rakyat jelata, eh tahunya, malah mengakomodir
kepentingan pengusaha, elite, maupun pemerintah yang ada. Ketiga adalah “dusta
implementasional”, dimana dusta ini yang paling kasat mata bisa kita saksikan
sehari-hari di pelbagai media. Menggunakan kekuasaan, amanah, dan fasilitas
untuk bisa memperkaya diri sendiri, maupun orang lain.
Dalam kategori ketiga,”dusta
implementasional” ada banyak modus-modus baru yang digunakan untuk bisa menelikung
uang rakyat. Seperti peristiwa tangkap tangan hari ini, melalui konferensi pers
yang digelar KPK tadi sore (24/8), bahwa pengusaha membuatkan atm fiktif yang
nantinya akan diserahkan kepihak Dirjen Perhubungan. Jadi seolah-olah membuka
rekening baru atas nama perusahaan, tapi akses penggunaannya bisa dilakukan
oleh pihak yang menerima. Bersyukur KPK bisa mengendus peristiwa ini dan
langsung mengadakan penindakan.
Dulunya bangsa kita adalah bangsa
yang sangat beradab, mengenal dan tahu rasa malu itu bagaimana. Tapi sekarang,
ketika sudah ada orang yang ditangkap atas tuduhan korupsi, malah bisa dengan
gagahnya berjalan dan sambil tersenyum kepada masyarakat. Menyatakan bahwa ini
adalah cobaan baginya. Tapi sebelum tertangkap, menyatakan bahwa ini adalah
berkat atas semua jerih payahnya.
Virus ketidakjujuran ini sekarang
sudah hampir mengena kepada seluruh elemen masyarakat. Baik muda, tua,
anak-anak, bahkan balita sekalipun sudah tahu namanya bohong itu bagaimana.
Baik pejabat pusat, daerah, bahkan masyarakat biasa sekalipun sudah pasti
pernah melakukan kebohongan. Tapi bagaimana bangsa kita bisa menyikapinya.
Abdurahman Wahid atau yang lebih
dikenal dengan Gusdur, pernah berkata, : “Indonesia tidak akan hancur karena
bencana karena Indonesia tempatnya bencana. Indonesiapun tidak akan hancur
karena keberagaman karena Indonesia beragam sejak dulu. Namun Indonesia bisa
hancur karena kebejatan moral kaum elite dan keputusasaan kaum elite.”
Dan memang benar yang dikatakan
beliau, kita bisa hancur, jika semakin banyak orang yang bejat menghuni segala
macam bangku kekuasaan. Dengan kebejatan moralnya, bisa melakukan hal apapun
itu, asal perutnya bisa dikenyangkan oleh berbagai macam harta duniawi. Tidak
peduli bagaimana rakyat yang dia pimpin, asalkan melihat tenang dan ayem
kondisi masyarakat secara semu cukuplah itu. Ketika ada orang yang berani
mengungkapkan kebejatannya, dengan segala macam upaya, untuk membungkam orang
tersebut, baik dengan cara halus sampai dengan cara kekerasan.
Bersyukur juga, bahwa bangsa kita
sudah menerbitkan undang-undang yang bisa menindak korporasi, baik akibat
kesalahan yang dilakukan karena unsur sengaja maupun karena tidak sengaja. Dan
hal itu termuat pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016. Korporasi
bisa ditindak jika melakukan hal berikut. Pertama, jika terjadinya kejahatan
itu memberikan manfaat atau keuntungan maupun untuk kepentingan korporasi. Kedua,
apabila korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.Ketiga, jika korporasi
tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan guna mencengah dampak lebih
besar setelah tindak pidana terjadi.
Jadi bukan hanya pejabat dari
korporasi tersebut yang ditindak, lembaga perusahaan, yayasan ataupun partai,
semuanya bisa ditindak dan dilakukan segala proses hukumnya. Seperti yang sudah
dilakukan KPK terhadap PT Nusa Konstruksi Enjinering TBK, atas dugaan korupsi
proyek pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi tahun
2009-2011.
Artikel ini sebenarnya kutujukan
untuk diriku. Menilai sudah sejauh mana ‘kebejatan’ yang mungkin sudah aku
lakukan selama ini. Memang tidak bisa kupungkiri bahwa aku selalu berjalan
mulus tanpa adanya kecacatan sana-sini yang mungkin sudah terjadi. Baik secara
sadar maupun tidak sadar hal tersebut bisa terjadi. Melakukan praktek-praktek
curang dalam kegiatanku sehari-hari. Terutama dalam pelaporan keuangan. Melampirkan
nota-nota buatan untuk mengesahkan laporan keuangan tersebut.
Awal niatnya sih baik, seperti menghemat
untuk tidak makan diluar ketika ada kegiatan diluar, karena memang ada jatah
makan, akhirnya membuat nota makan, sudah makan diluar. Juga bensin, meminta
nota kosong kemudian mengisinya tidak sesuai bensin yang kita isikan. Dan
banyak kebejatan lainnya yang tidak mungkin kuutarakan disini. Yang sebenarnya,
ketika melakukan hal-hal tersebut, merasa tidak pantas disebut sebagai Anak
Tuhan, yang notabene bekerja dalam tanda kutip, bidang “pelayanan”.
Meskipun nilainya tampaknya kecil
bagi kita, itu justru sama saja dihadapan Tuhan. Sebab tidak ada penilaian
bahwa ini itu, dosa besar maupun dosa kecil. Bagaimana seandainya ketika aku dipercayakan
kepada tanggung jawab yang lebih besar. Masihkah mampu untuk berkata tidak
kepada ketidakjujuran tersebut.
Untuk bisa menuliskan hal inipun,
aku harus berhati-hati. Tidak mau menyinggung orang lain dan biarlah diriku
yang dikenakan sebagai contoh. Sebab memang pada faktanya, ketika kita bisa
menyurvei di sekeliling kita, orang lain-pun sepertinya terlibat seperti yang
aku lakukan.
Seperti baru-baru ini juga, ada teman
yang mau mengurus surat balik nama atas tanah dan rumah di kantor kepala desa
hingga ke camat, ada-ada saja oknum, bahkan dengan terang-terangan meminta sejumlah
fee dari surat-surat yang mau diurus tersebut. Padahal hal tersebut tidak ada
dalam peraturan ataupun undang-undang yang berlaku. Bahkan berani meminta
sebanyak 20 persen dari nilai tanah dan bangunan tersebut di tingkat camat, 10
persennya lagi ditingkat desa. Belum lagi pengurusan surat-surat tersebut kepihak
instansi terkait lainnya.
Padahal Pemerintahan Bapak Jokowi
dengan tegas menentang praktek-praktek pungli. Tapi sepertinya belum bisa
menyasar ke tahap teknis di tingkat desa maupun kecamatan. Sebab hal tersebut
akan sulit nantinya dibuktikan,kecuali kalau pembicaraannya direkam sebagai
alat bukti. Untuk melakukan hal ini juga pastinya banyak resiko yang nantinya
kita akan hadapi. Baik berupa resiko pengancaman ketika hal tersebut sudah disampaikan
maupun resiko akan penganiayaan secara langsung oleh si oknum maupun utusannya.
Tapi untuk membuat baik bangsa
kita ini, dibutuhkan yang namanya pengorbanan. Tapi sebelum melakukan
pengorbanan, ada baiknya kita sendiripun seharusnya lebih bisa berintropeksi
diri dulu. Sebab memang pada faktanya lebih mudah untuk melihat selumbar di
mata teman, padahal ‘gajah’ dimata kita sendiri sulit untuk dilihat. Hal-hal ketidakjujuran meskipun
tampaknya kecil dan nilainya kecil, tidak pantas untuk dilakukan oleh kita
sebagai penerus anak bangsa.
Kedua, berani mengakui kesalahan
yang mungkin pernah kita lakukan dan juga sekaligus berani untuk
mempertanggungjawabkannya. Bukan hanya dihadapan sesama kita, dihadapan Tuhan
tentunya segala perbuatan tersebut akan kita pertanggungjawabkan. Sekaligus tidak
mengulangi lagi kesalahan-kesalahan yang sama tersebut dikemudian hari.
Ketiga, hal yang bisa kita
lakukan adalah berani untuk selalu berkata jujur dan sekaligus menyuarakan
kebenaran dan kejujuran tersebut dihadapan publik meskipun banyak yang pada
akhirnya menentang akan keputusan kita. Meskipun banyaknya tekanan, ancaman,
dan bahkan penganiayaan yang mungkin diterima ketika berani menyuarakan
kebenaran tersebut, tidak akan pernah takut dan goyah.
Keempat, perlunya ada sistem yang
jelas dalam pengorganisasian perusahan ataupun lembaga pelayanan, maupun
dipemerintahan sekalipun. Pak Ahok sebelumnya juga dulu sewaktu menjabat
sebagai Gubernur di DKI, dengan gencar-gencarnya membuat pelaporan keuangan
dengan system e-bugdeting dan pelaporannya semuanya dilakukan dengan online. Sehingga masyarakat bisa
mengawasi seluruh penggunaan dananya mulai dari penganggarannya hingga ke
implementasinya bagaimana.
Sistem yang jelas,
pengorganisasian yang jelas, alur komunikasi yang jelas, serta pembagian tugas
yang jelas, bahkan pelaporan yang terinci dan kalau bisa menggunakan sistem daring,
tentunya akan bisa menolong untuk berbuat sesuai dengan tugas dan tanggung
jawab kita.
Diakhir dari tulisanku ini,
masihkah “Aku” terindikasi tidak jujur. Biarlah kita menjawab dalam diri kita
masing-masing. Dan berharap ini bisa menjadi renungan dan refleksi bagi kta
bersama didalam menghadapi banyaknya perubahan dan tantangan yang akan semakin
sulit dikemudian hari. In God we can do
the Best Thing-Didalam Tuhan kita bisa melakukan hal yang paling baik.
Penulis adalah komunitas PESAT, Pemerhati Sosial, dan Pengajar di STT Terpadu Pesat Sibolangit