Kamis, 31 Agustus 2017

Agustus Berkarya (Sekedar Refleksi Pencapaian)


Perlunya bagi kita untuk selalu bisa mengevaluasi setiap hal yang sudah kita lakukan. Dengan itu diharapkan kita semakin bisa mengetahui bagaimana jalan atau cara yang sudah kita tempuh. Juga disamping itu, hal tersebut akan menjadi sebuah dorongan untuk bisa mencapai lebih lagi.

Agustus berkarya, bukan untuk menunjukkan “ini aku bisa” melainkan hanya sebagai upaya dalam perekamannya menjadi suatu alur cerita yang akan bisa ditelusuri dikemudian hari.

Dimulai dari sebuah kisah yang pernah penulis alami dulu. Ada jejak-jejak yang harus dilalui. Sampai pencapaian sekarang ini. Ada kisah yang ternyata tak perlu kita malukan, meskipun hasilnya tampak jelek dan terkesan kaku. Tapi ketika bisa dilakukan terus menerus, niscaya ada sebuah progress yang semakin baik.

Berharap disetiap akhir bulan, bisa menuliskan sekaligus memuat tentang hal-hal pencapaian ini diwaktu-waktu mendatang. Dan kumulai sejak akhir Agustus 2017 ini.

Fase awal kepenulisan disini

Fase Juni-Juli 2017

Fase ini, awalnya aku semakin rajin untuk memenuhi target harianku dalam menulis. Dimulai dari mengikuti bermacam-macam event lomba. Awalnya sih untuk bisa mendapatkan income tambahan jika ikut-ikutan dalam menulis. Tapi sekarang, itu hanyalah sebuah tambahan, bukan yang utama yang ingin kucapai. Hal yang paling utama adalah pentingnya untuk bisa berbagi pemikiran, inspirasi bagi teman, sahabat, dan orang tua kami.

Hal yang lain yang bisa kuperoleh adalah bisa semakin menambah ilmu ataupun pengetahuan. Semakin menambah variasi bidang, bukan hanya dari bidangku, Pendidikan, bidang lainnya juga tak luput dari perhatianku. Seperti mencoba belajar Bidang Hukum, Pariwisata, Ekonomi, Renungan hingga Refleksi dan lain-lainnya juga.

Fase Agustus 2017

Dimasa inilah aku seperti menuai dari apa yang sudah kulakukan didua bulan yang lalu. Jejak yang sudah kutempatkan langkah-langkahku yakni, tulisan yang diterbitkan di harian lokal Sumbagut, yakni Analisa, kemudian Majalah Bahana. Kemudian media online, menempatkan sejumlah langkah-langkahku di beberapa media seperti, Kompasiana, Seword, Geotimes dan akhirnya Qureta.

Berikut jejak-jejaknya :


Harian Analisa :


terbit 15 Juli 2017
Terbit 3 Agustus





Sambungan :

terbit 5 Agustus 2017










































Majalah Bahana :



















Kompasiana:

Ada 28 Artikel
Klik tautannya disini tuk menampilkannya

Headline tuk pertama kali di Kompasiana (disini)

http://www.kompasiana.com/rinto_simorangkir/598b5dd5e3d58432745f1de2/minimnya-budaya-melayani


Seword : 

Ada 19 Article

Klik disini tuk menampilkannya

https://seword.com/author/rinto/


Geotimes :

Baru ada 3 Article

Klik disini tuk menampilkannya

https://geotimes.co.id/author/rintofs/


Qureta :

Baru ada 4 artikel

Klik disini tuk menampilkannya

http://www.qureta.com/profile/Rinto%20Fernando%20Simorangkir

Jejakku Menjadi Penulis

Terbitan Buku Sebagai Kontributor di Medilan Media dari Bali

Perkenalkan nama saya Rinto Simorangkir, saya berasal dari Sibolga, sebuah kota yang katanya kota yang paling kecil di seluruh Indonesia. Dan memang kotanya sangat kecil tapi memiliki penduduk yang cukup banyak. Kalau kita melihat dari puncak gunung, kita bisa melihat kerapatan dari setiap rumah. Saya sudah menikah dan juga sudah lama meninggalkan kota kelahiran saya tersebut. Bersama dengan istri dan kedua anakku Azriela dan Immanuel, kami tinggal di lereng gunung, pinggiran kota Medan. Orang-orang sering menyebutnya dengan Sibolangit. Cuacanya lumayan dingin dan kalau malam bisa kita nyenyak untuk tidur dan tidak kegerahan. Itu sekedar tentang profil dan tempat tinggal saya.

Di hari yang sangat spesial kemarin, yakni memperingati hari buku nasional yang jatuh pada  tanggal 17 Mei, saya ingin mencoba berbagi hal-hal yang sudah saya alami. Semoga bisa menjadi inspirasi bagi kita bersama.

Sebenarnya kalau dibilang menjadi inspirasi kayaknya belumlah pantas hal itu disematkan. Sebab saya masihlah seorang pemula dalam hal bidang dunia kepenulisan. Memang sejak dari saya duduk di bangku kuliah, saya sudah membulatkan tekat dan niat  untuk menjadi seorang penulis. Tekat dan niat itu saya ceritakan kepada beberapa orang seniorku. Harapannya  ketika saya sudah menceritakan atau membagikannya kepada mereka, mereka bisa menjadi lecutan tersendiri kepada saya untuk segera menulis.

Akhirnya saya memulai karya kepenulisan saya. Tepatnya ketika ada event lomba tentang menulis yang diselenggarakan oleh sebuah Organisasi kemahasiswaan dari luar kampus. Ketika memulai menulis, yang merupakan hal perdana yang saya lakukan, banyak sekali kesulitan-kesulitan yang terjadi. Dimulai dari mencari inspirasi, data-data yang berhubungan dengan topik yang diajukan oleh panitia, sampai kepada meramu berbagai hal-hal tersebut hingga menjadi sebuah tulisan yang baik, lengkap dan tentunya sesuai dengan EYD.

Meskipun tidak menang, tapi ada kenangan yang terus terpatri dalam diriku, untuk mencoba, mencoba terus. Setelah tulisannya selesai, ternyata banyak sekali kekurangannya. Mulai dari inspirasi yang kudapatkan, ternyata adalah dari sebuah gagasan pembicaraan dalam sebuah event yang waktu itu kuikuti. Hampir sebagian besar tulisanku ternyata tentang hal-hal yang dibicarakan oleh sang pembicara kala itu. Aku sedikit tersenyum, tapi gak apa-apa sebab hal ini, barulah langkah awal yang harus kutempuh untuk menjadi seorang penulis profesional.

Aku terus mengasah kemampuanku dalam menulis, sampai studiku dibangku kuliah kelar. Aku terus menunggu, mencari event-event perlombaan tentang menulis. Dan memanfaatkan event perlombaan tersebut untuk mematangkanku dalam dunia kepenulisan. Meskipun akhirnya tidak pernah menang.
Kevakuman menulis terus terjadi dalam diriku ketika aku sudah mulai bekerja. Aku bekerja dan melayani disebuah yayasan non profit, dan sudah bergabung sejak sembilan tahun yang lalu. Di tahun kedelepan aku bekerja, tepatnya di bulan Mei 2016 lalu, akhirnya aku memutuskan untuk kembali kepada cita-cita awalku sejak duduk di bangku kuliah dulu.

Mencoba masuk dan mulai bergabung dengan suatu wadah komunitas kepenulisan. Dimana kita bisa berbagi inspirasi ataupun catatan-catatan dari masing-masing anggotanya. Wadah tersebut adalah Kompasiana. Resmi tercatat sebagai kompasioner sejak 20 Mei 2016. Sudah hampir satu tahun lebih aku bergabung di wadah itu.

Melihat statistikku di akun, ternyata, sudah menghasilkan 20 artikel, dengan keterbacaanya sekitar 8.735 kali. Komentar yang ada sudah 56 dengan nilai yang kuperoleh sekitar 49 voting. Ternyata dari semua artikelku oleh pihak Kompasiana memilih 6 artikel menjadi artikel Pilihan. Meskipun dari semua artikelku belum satupun yang pernah menjadi Headline, aku tetap semangat untuk terus menulis dan menulis lagi.

Ketika kubuka laptopku, ternyata sudah hampir lima puluhan artikel atau tulisan yang sudah kuhasilkan dalam satu folder. Meskipun baru sedikit, tidak masalah, sebab aku meyakini tinggal sedikit langkah lagi aku akan bisa menghasilkan sebuah karya buku nantinya. Aku ingin sekali membuat sebuah karya fiksi, berupa novel. Disamping karya fiksi, juga ingin menerbitkan karya non-fiksi.

Saya kembali kejudul besar saya, menjadi penulis harapan dan kebaikan yang menginspirasi. Judul itu saya buat, sebagai refleksi dan penggambaran situasi kondisi Indonesia tercinta akhir-akhir ini. Miris melihat bangsa kita, ternyata sangatlah mudah untuk diprovokasi maupun dipengaruhi. Sebab banyak sekali tulisan-tulisan yang mengutarakan kebencian, fitnah ataupun hasutan  dan bahkan berita-berita bohong.

Dengan tulisan saya, harapannya bisa memberikan pandangan yang baik dan benar tentang suatu isu tertentu. Kita perlu menyikapi fakta atau realita yang ada sesuai dengan porsi takarannya.Yah minimal kita bisa menjadi warga yang cinta damai dan bersatu, tidak terpecah-pecah akibat dari usaha sekelompok oknum dalam mengubah dasar dari negara kita.


Fase saat ini, dunia kepenulisanku, masih seputar tentang karya non-fiksi berupa artikel-artikel. Dan berharap aku bisa segera masuk ke fase menghasilkan karya fiksi. Menghasilkan sebuah cerita yang harapannya juga bisa menginspirasi bangsa kita. Sebab Indonesia butuh cerita-cerita yang membangun, yang nantinya bisa kita wariskan kepada generasi-generasi mendatang.

Rabu, 30 Agustus 2017

Asa Paten Transportasi Medan


Medan terus berbenah dalam dunia transportasinya. Menyambut upaya baik dari pemerintah Kota Medan yang akan membangun MRT (Mass rapid transportation) dan BRT (Bus Rapid Transist). Hal ini dilakukan sebagai upaya pemerintah kota Medan dalam menolong proses pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain bisa semakin lebih baik lagi.

Memang saat ini, masalah kemacetan di sepanjang jalan-jalan di Kota Medan, masih sering terjadi disetiap harinya. Artinya jika hal ini terus menerus dibiarkan, pastinya beberapa tahun lagi Medan akan mengalami kelumpuhan.
Uji Coba Trans Binjai


Diperlukan banyak kajian-kajian sekaligus mendalam untuk bisa memajukan sistem transportasi yang ada di Medan ini. Disamping itu, strategi jangka pendek dalam menangani permasalahan kemacetan yang ada sekarang ini-pun juga perlu harus segera direalisasikan. Meskipun sudah ada pembagian sistem penggunaan jalan di Kota Medan, seperti moda transportasi angkot dan becak yang tidak diperbolehkan melewati jalan-jalan di pusat kota, masalah kemacetan masihlah sering terjadi, dan tentunya hal ini sudah menjadi  masalah klasik bagi kota ini.

Masalah berikutnya yang datang adalah angka kecelakaan lalu lintas (lakalantas). Polda Sumut menyatakan angka lakalantas di tahun ini masih cukup mengkhawatirkan. Meskipun ada tren penurunan tapi tidak begitu signifikan. Jika melihat data Januari-Maret 2016, jumlah lakalantas sebanyak 1.616 kejadian, dibandingkan Januari-Maret 2017 ada sebanyak 1.348 kejadian. Mengalami penurunan sebanyak 268 kejadian.

Tapi untuk masalah penegakkan hukumnya, juga diperiode yang sama ditemukan adanya penilangan sebanyak 57.246 tilang dan 41.467 teguran di tahun 2016. Sedangkan penegakkan hukum periode Januari - Maret 2017 sebanyak 57.285 tilang dan 48.949 teguran.

Jadi berdasarkan data diatas ditemukan, bahwa warga Sumatera Utara terkesan memiliki kesadaran berlalu lintas yang sangat rendah. Juga adanya penurunan angka kecelakaan yang timbul di tahun ini, diakibatkan oleh semakin gencarnya kepolisian Sumatera Utara dalam menggelar operasi-operasi razia. Itu mengindikasikan kepatuhan masyarakat karena penegakan hukum berdampak langsung pada menurunnya angka kecelakaan lalu lintas.

Secara umum kecelakaan lalu lintas yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kelalaian manusia, kondisi jalan, kelaikan kendaraan dan belum optimalnya penegakan hukum lalu lintas. Namun demikian, di antara keempat faktor tersebut, kelalaian manusia menjadi faktor utama penyebab tingginya angka kecelakaan lalu lintas. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran berlalu lintas yang baik bagi masyarakat, terutama kalangan usia produktif.

Waka Polda Sumut Brigjen Pol Agus Andrianto pada Rakernis Fungsi Lantas Sejajaran Polda Sumut mengatakan, bahwa untuk bisa mengatasi masalah lakalantas ini dimasa mendatang adalah penanaman pemahaman ketaatan berlalu lintas sejak dini kepada anak-anak. Memasukkan pendidikan berlalu lintas pada kurikulum mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan sejak SD hingga SMA. Selain itu perlunya sinergitas antara seluruh stakeholder-stakeholder yang ada. Supaya seluruh permasalahan ini bisa teratasi dengan baik.

Untuk bisa mengatasi permasalahan-permasalahan ini juga, ternyata Astra turut mengambil bagian dalam mengurai helai demi helai permasalahan transportasi bangsa ini, terkhusus Kota Medan. Melalui program CSR-nya, mencoba mengedukasi masyarakat yang ada dengan sebuah acara Astra Road Safety Fest. Sering mengadakan event-event seperti ini bahkan hampir di 9 kota-kota besar yang ada di Indonesia ini hampir disetiap tahunnya, tak terkecuali Kota Medan tentunya. Acara ini tentunya dilaksanakan sebagai wujud nyata tanggung jawab mereka kepada bangsa ini.

Menghadirkan orang-orang yang berkompeten di bidangnya dalam menyampaikan materi keselamatan berkendaraan dan tertib berlalu lintas. Seperti melibatkan pihak kepolisian dan bahkan pembalap-pembalap professional untuk turut berpartisipasi dalam mengedukasi masyarakat Indonesia.

Ekspansi Astra Tuk Bisa Melayani Binjai dan sekitarnya 

Sejak berdiri lebih dari 57 tahun lalu, Astra senantiasa berupaya menjadi inspirasi pembangunan. Sehingga, kegiatan bisnis bukan hanya berarti pertumbuhan profit semata, tetapi juga tentang bagaimana berkontribusi untuk pembangunan Bangsa Indonesia. Inilah visi pendiri Astra yang tetap menjadi Visi Astra 2020.

Astra mengharuskan pertumbuhan yang berimbang dalam Strategic Triple Roadmap, yaitu pertumbuhan portofolio bisnis, sumber daya manusia, dan kontribusi sosial dan lingkungan secara serentak. Astra menekankan partisipasi dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia melalui panduan Public Contribution Roadmap, yang diterapkan dalam inisiatif SATU Indonesia (Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia) sebagai langkah nyata Grup Astra beserta delapan yayasan untuk berperan aktif serta memberikan kontribusi meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia.

Ada begitu banyak karsa, cipta dan karya terpadu, yang pada akhirnya dapat menciptakan nilai tambah bagi kemajuan bangsa Indonesia ini. Seperti menjangkau dibidang pendidikan, pelestarian lingkungan, pelayanan kesehatan dan pengembangan Usaha Kecil dan Menengah yang pada akhirnya akan mendukung pendapatan ekonomi masyarakat luas.

Sehingga melalui adanya misi sosial Astra ini, yang merupakan sebagai wujud kepedulian dan tanggung jawab mereka, seperti yang tertuang dalam pernyataan visi tersebut, diharapkan masalah-masalah lalu lintas di bangsa ini, terkhusus Kota Medan bisa semakin diminimalisir. Apalagi dibarengi dengan sejumlah aktivitas langsung oleh para Agent of Change dalam memahamkan warga bangsa ini, bahwa pentingnya untuk selalu menjaga keselamatan berlalu lintas.

Diharapkan juga melalui upaya pemahaman yang terus menerus dilakukan dan tanpa mengenal lelah, plus dibarengi dengan semakin massifnya cuplikan-cuplikan singkat yang bisa diproduksi, tentang keselamatan berlalu lintas, niscaya bangsa kita akan semakin lebih baik lagi.  

Asa Paten transportasi di Sumatera Utara ini, khususnya Kota Medan, akan semakin lebih baik lagi. Kata Paten yang  mengandung arti hebat dan mantap, yang juga merupakan jargon yang sering diucapkan oleh Bapak Gubernur kita, patut disematkan pada kata transportasi kita, supaya adanya perbaikan yang terus-menerus dilakukan dalam hal ini. Sekaligus sebagai jargon kita bersama untuk bisa diingat dan akhirnya dilakukan.

Kita bisa saling bersinergi satu sama lain, pemerintah dan masyarakatnya. Pemerintah yang terus menerus memikirkan dan bekerja dalam mengubah wajah transportasi kita. Masyarakatnya juga selalu memiliki kesadaran yang tinggi untuk bisa berdisiplin dalam menggunakan kendaraannya masing-masing. Juga diharapkan memiliki rasa malu yang hebat, jika melanggar marka-marka jalan, ataupun ketika kebut-kebutan yang tidak jelas arahnya.

Sehingga pengharapan kita bersama, dalam menciptakan Medan semakin lebih baik lagi, Sumatera Utara semakin lebih baik, dan Indonesia tentunya juga semakin lebih baik lagi, akhirnya terealisasi.

Salam Perubahan.

Penulis adalah Komunitas Pesat, dan Pemerhati Sosial, sekaligus Pengajar di STT Terpadu PESAT Sibolangit.

Sumber :


Selasa, 29 Agustus 2017

Praktek Curang Dunia Pendidikan Kita, Untuk Apa?


Baru-baru ini Tirto.id menyampaikan sebuah investigasi yang dilakukan oleh Tim Evaluasi kinerja Kemeristekdikti terhadap dunia pendidikan tinggi kita. Dan ini berkaitan dengan Universitas yang terkenal di Jakarta, UNJ-Universitas Negeri Jakarta. Tak tanggung-tanggung, Rektor berani menerbitkan gelar akademik setingkat doktor kepada sejumlah orang yang notabene adalah kepala daerah yang berasal dari Provinsi Sulawesi Tenggara.

Berdasarkan hasil temuan tersebut, Tim EKA mencoba mengkonfirmasi dulu ke pihak kampus akan segala tindak-tanduk perjalananan dunia pendidikan tinggi kita ini. Setelah menyempaikan hal tersebut, pihak kampus terkesan menolak segala tuduhan tersebut.

Dan serta merta pihak kampus mengajak para alumninya untuk membuat surat keberatan kepada Kemenristekdikti atas segala tindakan tidak etis yang dilakukan oleh Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Kemenristekdikti. Sebab disinyalir hal ini akan membawa dampak buruk kepada seluruh alumni-alumni yang ada. Rektor mengakui bahwa tindakan para alumni tersebut murni, bukan karena disuruh atau mendapatkan tugas dari pihak rektor. Padahal pada kenyataannya rektor sendirilah yang berusaha menggalang kekuatan para alumni.

Terduga ada 5 pejabat Sulawesi Tenggara yang menjadi  plagiator untuk bisa mendapatkan gelar doctor yang telah diterbitkan UNJ. Yakni Nur Alam (Gubernur dan juga tersangka KPK), Nur Endang Abbas (Kepala Badan Kepegawaian Daerah), Sarifuddin Saffa (Asisten I Sekda), Muhammad Nasir Andi Baso (Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah), Hado Hasina (Kepala Dinas Perhubungan).

Disinyalir mereka menyelesaikan disertasinya hanya dalam waktu 1-2 bulan sebelum ujian terbuka dimulai. Dan semuanya disertasinya hanya dikerjakan pada satu komputer doang. Wau dasyat cara kerja mereka. Padahal untuk menyelesaikan skripsi saja butuh waktu kurang lebih satu tahun, apalagi ini namanya sudah tingkat S-3, bisa selesai hanya dalam waktu paling lama dua bulan. Perlu dipertanyakan.

Berdasarkan data SCImago, Untuk jumlah dokumen yang terpublikasi internasional, di tingkat dunia, Indonesia menempati peringkat 45. Di kawasan Asia, posisi Indonesia berada di urutan 11, sementara di tingkat ASEAN peringkat keempat. Dengan jumlah karya ilmiah yang terpublikasi ditahun 2016 sebanyak 11.740 saja. Sangat jauh jika dibandingkan dengan Negara Malaysia yang sudah mencapai angka 28.560 karya terpublikasi internasional. Hampir lebih dua kali dari pencapaian Malaysia. maka tak heran jika Indonesia jauh tertinggal dari Negara-negara tetangga kita.  

Praktek kecurangan UNJ bisa didapatkan karena adanya temuan berikut.  Terdapat ketidakcocokan antara jumlah yang menyelesaikan studi tingkat pascasarjana dengan nomor ijasah yang sudah diterbitkan. Dari kurun waktu Desember 2004 hingga September 2016, UNJ meluluskan 2.104 mahasiswa doktoralnya. Sementara dari jumlah Ijasah yang sudah diterbitkan, meluluskan sekitar 2.557 mahasiswa. Ada selisih 453 jumlah doctor yang dihasilkan selama kurang lebih 12 tahun.


Juga temuan lain yang semakin menunjukkan bahwa adanya praktek kecurangan yang dilakukan dalam dunia pendidikan di UNJ adalah adanya beban berlebih untuk mempromosikan seorang doktor. Menurut peraturan menristekdikti nomor 44 tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 28 menyebutkan bahwa beban seseorang dosen dalam membimbing karya ilmiah hanya 10 orang dalam satu tahun.

Didapati bahwa Djaali,yang merupakan rektor dari UNJ juga sekaligus sebagai promotor doktoral mahasiswa, ditahun 2016 bisa mempromotori dan meluluskan 118 orang mahasiswa, dan ditahun 2015-nya meluluskan sebanyak 64 mahasiswa. Sungguh angka yang fantastis dalam pencapaiannya.

Ini masih temuan pada satu kampus, bagaimana dengan institusi atau perguruan tinggi yang lain yah. Mempraktekkan hal yang sama atau tidak sama sekali. Menjadi tanda tanya besar bagi kita. Bagaimana bisa dunia pendidikan kita semakin maju jika adanya praktek-praktek kecurangan dalam menghasilkan lulusan orang-orang yang berkarakter sekaligus berintelektual tinggi. Padahal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ada ditangannya sendiri. Sebab dia sudah berada di puncak tertinggi dari jenjang sistem pendidikan ini .

Pengaruh Uang dan Jabatan dalam Dunia Pendidikan

Uang bisa merusak dunia pendidikan kita. Bahkan dengan uang apapun kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan bisa diubah seenaknya. Seperti kasus penerimaan peserta didik baru (PPDB). Ternyata dari tahun ke tahun, sistem PPDB yang dilakukan terkhusus di kota Medan pasti selalu ada kecurangan. Seperti temuan baru-baru ini oleh Ombusdman pada SMAN 2 dan SMAN 13, berurutan, ditemukan adanya siswa sisipan sebanyak 108 siswa dan 72 siswa.

Di tahun 2016 dan tahun 2015 yang lalu, praktek menyisipkan siswa baru pada sekolah-sekolah yang ada di Medan juga telah terjadi. Ditahun 2016, SMAN 4 Medan, membuat 3 kelas siluman kepada hampir 150 orang siswa. Dan di tahun 2015 juga, SMAN 5 Medan, menambahkan 2 kelas siluman asal orangtua mampu membayarkan 7,5 juta uang.

Itu baru Medan, mungkin peristiwa-peristiwa ini juga terjadi dibeberapa kota-kota yang lainnya juga. Meskipun sudah ada perbaikan dalam system PPDB di tahun ini dengan system online, tapi masih banyak juga oknum-oknum yang bermain asalkan bisa mengeruh keuntungan sebanyak-banyaknya.

Sampai kapan kita bisa melakukan sistem pendidikan yang betul-betul paten seperti jargon yang sering diucapkan oleh Bapak Gubernur Sumut. Pendidikan yang bisa menciptakan generasi penerus yang berkarakter sekaligus juga pintar.

Ternyata praktek tindakan curang bukan hanya dilakukan oleh masyarakat saja. Yang rela melakukan apa saja seperti dengan memalsukan surat keterangan miskin padahal dia kaya. Ataupun dengan membayarkan sejumlah uang berapun asal anaknya bisa masuk di sekolah yang katanya sekolah unggulan. Para penyelenggara pendidikan juga tak henti-hentinya selalu berusaha melihat ada peluang yang baik dalam menambah pundi-pundi uangnya dengan melakukan beberapa kebijakan yang berbeda sekaligus bertentangan.

Bukan juga hanya pada pendidikan dasar, dalam pendidikan tinggi kita pun, mengalami banyak praktek-praktek kecurangan. Seharusnya para doktor-doktor yang ada di Indonesia ini, bisa menghasilkan karya ilmiah atau hasil penelitian yang betul-betul bisa membawa perubahan dalam dunia pendidikan kita. Sebaliknya bukan dengan memanfaakan jabatannya untuk bisa mempengaruhi oknum pelaksana pendidikan, supaya digolkan niatnya untuk mendapatkan gelar tertinggi dalam dunia pendidikan ini.

Berharap ditahun-tahun berikutnya hal-hal seperti ini, tidak patut untuk terulang kembali. Sebab kalau masih terulang, dipastikan kita akan semakin tertinggal dari Negara-negara lain yang ada di dunia. Terkhusus di tingkat regional kita sajapun, kita bisa akan jauh tertinggal.

Berharap uang atau jabatan apapun juga tidak diperbolehkan merusak sistem tatanan pendidikan yang sudah kita susun sedemikian baik.

Salam pembaharuan.

Penulis adalah anggota komunitas PESAT, pengajar di STT Terpadu PESAT Sibolangit, sekaligus pemerhati sosial.

Sumber :






Senin, 28 Agustus 2017

Jadi Temuan, Berdalih atau Klarifikasi

Sumber ilustrasi : merdeka.com

Manusia memang pintar untuk berdalih. Sebab dari sononya, sejak awal manusia diciptakan, Adam dan Hawa sendiripun berdalih ketika melakukan pelanggaran.

Seperti kejadian baru-baru ini, terkuaknya kasus Saracen, yakni kasus kelompok penyebaran berita-berita hoax, fitnah dan kebencian. Melibatkan banyak para tokoh berpengaruh didalamnya, sampai-sampai kepolisianpun harus hati-hati dalam mengungkapkan kasus ini.

Masuk menjadi dewan penasehat pada situs Saracen, maupun disinyalir pernah menggunakan jasa Saracen, tokoh-tokoh tersebut berusaha untuk buat klarifikasi. Seperti Eggi Sudjana dan Kivlan Zein yang berusaha menepis segala isu keterlibatan mereka dalam kasus tersebut.

Menolak dipanggil oleh kepolisian atas pencatutan nama mereka, menjadi suatu sikap yang tidak perlu sebenarnya dilakukan oleh seorang ahli hukum, seperti Eggi Sudjana. “Jangan panggil-panggil saya, atau undang-undang saya, gak perlu. Tapi cari tahu dulu kenapa nama saya ada di dewan penasehat Saracen itu, kenapa selidiki dong,”berikut perkataan beliau.

Begitu juga pernyataan dari Purnawirawan jenderal, Bapak Kivlan Zein, yang dulunya sempat menjadi tersangka dalam kasus Makar, dan sekarang disebut-sebut pernah menggunakan jasa Saracen, membantah akan keterlibatan dirinya. Berdasarkan berita yang ditayangkan oleh Metro TV pada wawancara eksklusif, beliau dengan tegas-tegasnya membantah segala tuduhan akan keterlibatannya dalam kasus ini.

Kivlan Zein menyatakan, bahwa dirinya baru seminggu mengenal akan Saracen. Padahal menurut seorang tersangka yang sudah ditahan, Sri Rahayu bahwa dia sudah pernah ketemuan dengan Kivlan Zein dulu. (Berita Nusantara, Metro TV, 27/8).

Padahal kepolisian kita bertindak selalu bertindak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Oleh Petrus Selestinus, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia. Menyayangkan sikap dari Eggi Sudjana yang mengatakan bahwa dirinya sedang dikriminalisasi. Petrus mengatakan, polisi merupakan penegak hukum yang harus dipatuhi siapapun, tak terkecuali pengacara. “Klarifikasi apa saja yang bisa disumbangkan kepada penyidik untuk mengungkapkan secara tuntas siapa saja pelaku penyebar Hoax Saracen.” Kata Petrus lebih lanjut.

Berdalih atau mengklarifikasi

Ada dua sikap yang tampak jelas dimata kita, ketika sudah menjadi temuan oleh pihak berwajib. Berdalih atau mengklarifikasi akan keterlibatan dirinya. tentunya sebagai upaya untuk bisa terhindar dari temuan tersebut.

Berdalih dan menghindarkan tanggung jawab merupakan suatu kebiasaan kita rata-rata orang Indonesia. Jauh beda dengan kebiasaan orang Jepang. Ketika dirinya sudah tersebut saja dalam satu kasus, akan langsung mengundurkan diri kalau kebetulan dirinya adalah seorang pejabat. Mengakui bahwa dirinya telah gagal dalam menjalankan suatu tugas.

Dan hal itu tercermin dalam menggunakan kalimat-kalimat dalam bahasa sehari-hari mereka untuk menyatakan suatu hal. Orang Jepang secara tegas menggunakan kata kerja transitif (tadoushi) bukan kata kerja intransitif (jidoushi). Mereka memaknai ketika memakai kata kerja intransitive, seakan-akan  lupa bahwa yang seharusnya bertanggung jawab adalah kita, dan bukan karena terjadi dengan sendirinya.

Contohnya, kata ‘bertabrakan’ (kata intransitive) dan ‘menabrak’ (transitif). Orang Jepang tidak mau menggunakan kata “bertabrakan” dalam mengungkapkan pernyataannya ketika terjadi suatu kecelakaan. Melainkan menggunakan kata “menabrak”. Mereka menggunakan kalimat berikut: “Saya menabrakkan mobil saya”. “Kuruma wo butsuketa”. Bukan dengan kalimat berikut, “Kuruma ga butsukatta.” Mobil saya bertabrakan.

Begitu juga dengan kata ‘merusak’=kowasu (kata transitif) dan ‘rusak’=kowareru. Meskipun kondisinya alat tersebut rusak dengan sendirinya, orang Jepang tidak akan menggunakan Kowareru dalam pernyataannya melainkan kowasu. Sebab orang Jepang tidak mau mengingkari tanggung jawab mereka ketika dipercayakan memegang alat atau sarana apapun dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Dalam keseharian mereka, berbahasa saja, mencerminkan mereka adalah orang-orang yang penuh dedikasi dan tanggung jawab. Apalagi dalam hal melakukan suatu tugas. Makanya tepat, ketika mereka tersandung sedikit sajapun dalam suatu kasus apapun itu, mereka akan langsung meminta maaf dan langsung mengundurkan diri.

Apa maknanya bagi kita.

Kita perlu meniru budaya yang penuh bertanggungjawab. Tidak perlu sikap seperti ketangkap tangan dulu baru mengakui perbuatannya. Atau sebenarnya tidak perlu harus melalui banyak pembuktian yang alot dulu dalam persidangan baru mengakui bahwa itu adalah perbuatannya. Sebenarnya kita bisa mempermudah kerja hakim kita, seandainya jika kita mau dan berani bertanggung jawab. Kalau pada faktanya kitalah pelakunya.

Tapi yang sering terjadi adalah, sudah ketangkap tanganpun, masih melakukan banyak dalih. Dengan menyatakan bahwa itu adalah suatu kehilafan atau suatu kecelakaan yang naas sedang menimpa dirinya. Juga hal inipun sering kita dengar dalam eksepsi maupun pledoi-pledoi yang disampaikan oleh  para terdakwa, sebelum vonis dijatuhkan oleh hakim, menyatakan bahwa dirinya adalah orang yang sedang disakiti, atau dikhianati.  

Lain lagi kalau ceritanya, ketika kita bukanlah pelakunya. Langkah-langkah hukum, mulai dari awal sampai putusan sidangpun, harus menunjukkan segala jerih payah untuk bisa membuktikan dan memenangkan bahwa kita bukanlah pelakunya. Bahwa segala yang dituduhkan itu tidaklah benar. Dan jikapun divonis oleh hakim bahwa kita dinyatakan bersalah, mari kita bisa mencontoh kebesaran seperti yang pernah dilakukan Bapak Ahok dulu, menerima dengan lapang dada dan mau menjalani putusan hukum yang dijatuhkan kepadanya.

Tapi itulah hukum bangsa kita, masih mengenal asas praduga tak bersalah. Artinya setiap kita wajib mengikuti segala prosedur-prosedur hukum yang sudah ditetapkan oleh bangsa kita. Bahkan sebelum melaksanakan pengadilan yang sebenarnya, masih diberi kesempatan kepada pihak tersangka untuk melakukan upaya hukum seperti pra-peradilan. Sehingga ketika sudah memenangkan status hukumnya di pra-peradilan, kemungkinan status hukumnya tidak akan dilanjutkan lagi.

Kemudian juga bisa melakukan pengajuan SP-3 jika merasa status hukumnya tidak layak untuk dilanjutkan lagi. Meskipun hal ini, masih tergantung kepada pihak kepolisian. Menerima atau menolak upaya SP-3 tersebut.

Hal yang saya mau tekankan dalam tulisan saya ini adalah marilah menjadi orang-orang yang bertanggung jawab terhadap segala hal apapun yang sudah kita lakukan. Baik perbuatan yang tidak sengaja maupun disengaja. Tidak mau berusaha mencari cela-cela hukum yang kemungkinan akan bisa meloloskan kita dari jerat hukum.

Atau juga tidak memiliki sikap, ketika sudah menjadi ‘temuan’, mati-matian untuk membuat dalih dan pada akhirnya menyangkal bahwa dirinya tidak terlibat. Sebab sekecil apapun keterlibatan kita, tidak akan bisa menyangkal fakta hukum bahwa memang nama kita ada terlibat. Klarifikasi sih oke. Tapi tidak harus menyampaikannya dengan sikap arogan, marah-marah, merasa dikriminalisasi dan lain sebagainya. Ketika diminta datang untuk memenuhi panggilan polisi, hukumnya yah wajib datang.


Terakhir, berharap bangsa kita bisa menjadi orang-orang yang penuh dedikasi dan bertanggung jawab dalam hidupnya. Tidak memiliki rencana untuk berbuat curang, seperti menyerang dengan berita-berita hoax dan sebagainya. Atau menggunakan jasa-jasa seperti Saracen lakukan ketika melakukan suatu kontestasi pemilihan. Melainkan berjuang secara gentlemen, jujur dan penuh integritas. Dan tak lupa memiliki sikap pemberani, yakni berani untuk menang sekaligus berani juga untuk mengakui kekalahannya dengan jiwa yang besar.  

Sabtu, 26 Agustus 2017

Firman-Nya Menunjukkan Kuasa dan Kasih-Nya


Penting bagi kita umat Tuhan yang mempercayai Tuhan Yesus dalam menjaga setiap kata-kata yang diucapkan ataupun yang dituliskan. Sebab ketika kita tidak berhati-hati ada bagitu banyak singa-singa yang mengaum yang ingin menjatuhkan kita maupun mental kita.

Penting juga terus berpaut kepada Firman-Nya setiap hari. Sebab ketika Tuhan berfirman, minimal ada dua hal yang kita dengar. Yakni kita akan mendengar kuasa-Nya Allah nyata. Dan yang kedua adalah ketika Allah berfirman maka kita juga akan melihat kasih-Nya sedang dicurahkan. Seperti yang diungkapkan pada natas Mazmur 62 : 12-13.

Berarti kita sebagai pendengar Firman Tuhan setiap harinya, sudahkah kita selalu mendengar akan kuasa maupun kasih kebaikan-Nya melalui pemberitaan firman yang disampaikan oleh seorang hamba Tuhan. Atau sebaliknya yang lebih sering kita dengar adalah dirinya dan kebaikannya yang telah dilakukannya.

Oleh karena itu, mari kita semakin lebih jeli lagi dalam mendengarkan setiap firman yang disampaikan oleh seorang Hamba Tuhan. Ketika dia tidak bisa menyampaikan kuasa Allah nyata baginya, bagaimana mungkin bisa menyampaikan kuasa Allah bekerja bagi orang lain. Dan juga ketika kuasa Allah sudah dinyatakan bagi kita secara pribadi, tentunya Tuhan juga sudah menunjukkan kasih-Nya yang begitu nyata juga.

Ketika ada kuasa pasti ada kasih yang melanda. Seperti ketika Tuhan Yesus menyembuhkan tangan orang yang lumpuh di Sinagoge. Ada kuasa Tuhan yang sedang mengalir ke tangan orang yang lumpuh tersebut. Dan melalui itu juga, yang pastinya Tuhan sendiri juga sudah memperlihatkan kasihnya yang begitu besar kepada orang yang lumpuh tersebut.

Kepada para pengkhotbah, mari menyampaikan firman Tuhan itu dengan cara berikut. Mari mengalami kasih Tuhan terlebih dahulu, supaya kita bisa menunjukkan kuasa-Nya Tuhan Yesus itu begini loh.


Sibolangit, 26 Agustus 2017

Dimanakah Letak Keadilan Itu


Beberapa hari lalu menerima pesan dari grup WA tentang perjalanan rombongan kepala suku yang berasal dari Papua dan Papua Barat ke kantor Wakil Presiden. Tidak tanggung-tanggung yang datang itu sebanyak 30 orang. Kupikir cuma berita hoax dan sempat kuabaikan. Ternyata beritanya betul dan dimuat di detik.news.com (18/8).

Membaca berita ini, sebenarnya hatiku miris melihat upaya pemerintah bangsa ini yang begitu gigihnya pada satu agama dan mencoba mengabaikan agama yang sudah ada disitu. Bagiku sebenarnya bukanlah masalah jika alasan kepindahan mereka karena murni dari hati yang paling dalam. Tanpa ada banyaknya iming-iming yang begitu menggiurkan mereka. Tapi pada faktanya “para utusan” lebih sering menggunakan jalur itu sebab memang disokong oleh “tangan yang kuat” yakni pemerintah.

Sementara mereka yang sudah ada berpuluh-puluh tahun-tahun menjalankan ibadah dibeberapa wilayah bangsa ini seperti di Bogor, Bekasi dan lain-lainnya, dirampas haknya untuk bisa menjalankan ibadah tersebut. Ditutup paksa semua gedung yang sudah berpuluh-puluh tahun digunakan padahal sudah memiliki ijin. Bahkan ketika sudah disegelpun dan proses hukum sudah dimenangkan oleh mereka sekalipun dianggap nihil oleh kepala daerah yang berkuasa saat itu. Seakan-akan kepala daerah yang lebih berkuasa dari hukum bangsa ini.

Status mereka sekarang, kedua gereja ini, GKI Yasmin dan HKBP Philadelpia, masih harus menjalankan ibadah mereka di depan istana. Ternyata sudah lima tahun lebih berlalu sejak Februari 2012, negara ini abai dan membiarkan ini terus berlangsung tanpa ada penyelesaian. Aku sendiripun sudah sempat lupa tentang berita ini, tapi karena sejak adanya ketimpangan keadilan yang dilakukan oleh pemerintah bangsaku, aku harus bersuara, menyuarakan ini.

jemaat GKI Yasmin dan Filadelfia di Hadapan Istana

Warga gereja GKI Yasmin maupun HKBP Philadelpia awalnya sih senang, ketika dihambat, namun masih bisa menyelenggarakan di depan Istana. Seakan-akan mendapat blessing in disguise berkat ditengah kepahitan. Tapi mau sampai kapan ini berlangsung. Kompas (9/7) memberitakan mereka sudah melaksanakan ibadah ke-147 di depan Istana. Dan sudah dua pemerintahan berlangsung, tapi belum ada penyelesaian.

Mereka punya hak, mereka punya ijin resmi, mereka mendapatkan putusan MA, PTUN, bahkan Ombusdman, tapi, itu semuanya seakan-akan sia-sia dan tak berguna. Jikalau pemerintahnya abai bagi kebutuhan masyarakat ini, yang juga punya hak yang sama dan dilindungi oleh UUD tahun 1945.

Jangankan itu akhir tahun lalu, di Bandung, rekan-rekan yang mau menyelenggarakan ibadah Natal, harus mendapatkan penghentian paksa oleh beberapa ormas yang tidak mengindahkan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang berbhinneka. Meskipun akhirnya mendapatkan kesempatan kedua untuk bisa menggelar hajatan tersebut.

Dimanakah letak keadilan bangsa ini, jika pemerintah ini selalu mengedepankan kebutuhan satu hal dan mengabaikan kebutuhan orang lain. Jika pemerintah saja, sanggup untuk memberangkatkan haji “orang khusus dari Papua” dengan jalur khusus “mendapatkan undangan Raja Arab” secara langsung. Sementara kenapa banyak orang yang harus antri hingga berpuluh-puluh tahun, bahkan sampai masa tua-nya pun akhirnya baru bisa mendapatkan kesempatan berangkat menunaikan panggilan ibadah-nya. Kenapa tidak bisa memperlakukan sama semua penduduknya. Dan kalau bisa juga, kenapa tidak memberangkatkan pendeta-pendeta yang berprestasi untuk berangkat ke ‘tanah suci’-nya juga.

Pasti ada sesuatu yang memang sedang gencar-gencarnya dilakukan untuk bisa menuai para mualaf yang berasal dari ‘Tanah Injil-Papua’. Mengedepankan orang-orang tertentu dan mengabaikan yang lain, pasti ada suatu misi terselubung yang sedang dikerjakan.

Bahkan segala fasilitas-fasilitas untuk bisa memualafkan orang-orang Papua sudah sangat lengkap dibangun di daerah Bekasi, Kec. Setu, di Desa Taman Sari. Dan hampir ribuan orang anak-anak Papua difasilitasi untuk diberangkatkan kesana setiap tahunnya.  

Tulisan ini, bukan untuk menjadi sebuah provokasi, yang mau mencoba menggiring opini supaya bangsa kita tidak damai, bukan. Tapi pengen menjadi sebuah ‘pijakan awal berpikir jernih’ untuk bisa melakukan keadilan bagi bangsa ini. Bukankah Bapak Wakil Presiden, Jusuf Kalla, pernah menyampaikan pada acara peringatan hari Konstitusi, tanggal 18 Agustus lalu, tepat dimana ketika kunjungan para Kepala Suku yang sudah mualaf berkunjung ke Istana Bapak. Bapak menyampaikan supaya bangsa kita tidak boleh mengabaikan keadilan dalam mencapai suatu kemakmuran.

Saya mendukung pernyataan bapak itu, untuk menegakkan keadilan dulu, baru bisa tercipta yang namanya kemakmuran bagi bangsa ini. Artinya, ketika Pemerintah sudah memfasilitasi yang satu, jangan abai memberi fasilitas kepada yang lain juga. Terkhusus masalah kasus dua gereja yang ada di Bogor dan di Bekasi sekarang ini. Dimanakah letak kehadiran Pemerintah bangsa ini?? Perlu dipertanyakan. Masak pemerintah pusat bisa dikalahkan oleh otonom seorang kepala daerah. Juga apakah layak seorang pemerintah atau pejabat daerah melanggar undang-undang yang sudah punya kekuatan hukum tetap.

Bagaimana yah nanti pencalonan walikota tersebut, yang dengar-dengar mau mengajukan diri untuk menjadi pemimpin di tingkat provinsi di pilkada mendatang. Sementara prestasinya dan kemauan untuk menegakkan keadilan ditingkat kota tidak ada.

Berharap keadilan dan rasa keadilan itu bisa terjadi di bangsa ini. Saling membangun dan saling mendukung meskipun kita berbeda secara agama. Keadilan itu juga ditunjukkan dengan adanya saling penerimaan satu dengan yang lain. Baik saling menerima pendapat maupun pendirian masing-masing. Tanpa adanya pemaksaan suatu pemahaman yang lain ke orang tertentu. 

Juga keadilan tersebut tecipta jika tidak ada pembeda-bedaan yang dilakukan oleh pemerintahnya. Ketika melakukan satu hal ke yang satu, minimal jangan abai kepada yang lainnya juga. Yang satu didukung dengan bantuan keuangan maupun fasilitas yang kuat, sedang yang satu dibiarkan sekarat hingga tak berdaya lagi. Jangan sampai.

Serta terakhir, keadilan tercipta jika kita taat hukum dan undang-undang yang sedang berlaku. Tidak ada kita, satupun yang mendapatkan hak istimewa dimata hukum. Sebab semua kita sama dimata hukum. Ketika berani menuntut orang untuk dihukum karena suatu kelalaian yang mungkin dibuatnya, tapi ketika kita melakukan kesalahan, malah lari meninggalkan masalah tersebut dan mau meminta pengampunan pula. Dimana nantinya keadilan itu bisa tercipta.

Kiranya Bangsa kita bisa semakin menjadi bangsa yang berkeadilan sekaligus makmur. Harapannya.

Penulis adalah Komunitas PESAT, pemerhati sosial dan pengajar di STT Terpadu Pesat Sibolangit

Kamis, 24 Agustus 2017

Masihkah ‘Aku’ Terindikasi (Tidak) Jujur


Sejak kemarin dan hari ini, 23 & 24 Agustus telah terjadi lagi tangkap tangan oleh KPK terhadap pejabat publik kita. Seakan-akan menandakan tiada akan berakhirnya peristiwa ketidakjujuran di bangsa kita ini. Hampir setiap hari peristiwa tangkap tangan dilakukan oleh KPK dan beritanya selalu menghiasi di seluruh media-media yang ada,baik cetak, online, ataupun televisi. Sebelum kejadian terhadap Dirjen Perhubungan, telah terjadi juga peristiwa tangkap tangan kepada panitera pengadilan di Jakarta. Sampai-sampai kita bosan dengarnya dan menyaksikannya.

Sebenarnya melalui peristiwa itu juga, baik secara langsung atau tidak langsung, kita tentunya belajar bagaimana untuk tidak jujur dan akhirnya melakukan korupsi. Sebab kita, saban hari selalu dicokoli dengan pemberitaan-pemberitaan seperti itu. Dan akhirnya mengeluarkan statement, pemimpin saya aja bisa ‘begitu’ masak saya gak bisa.

Menurut Radhar Panca Dahana, seorang budayawan, yang dimuat pada opini Kompas (1/8), menyampaikan ada tiga praktek ketidakjujuran. Pertama adalah “dusta elektoral”, dimana seharusnya rakyat yang menjadi panglima penentu pemimpin mereka, akhirnya berubah. Para pemimpin tersebut yang ada dimulai sejak pemilihan  sudah merupakan barter jatah kekuasaan dari elite penguasa pemimpin ataupun para elit partai. Sehingga terjadinya atau adanya arisan kekuasaan.

Kedua adalah “dusta regulasional”. Membuat kebijakan-kebijakan atau regulasi-regulasi yang seakan-akan mengedepankan kepentingan rakyat jelata, eh tahunya, malah mengakomodir kepentingan pengusaha, elite, maupun pemerintah yang ada. Ketiga adalah “dusta implementasional”, dimana dusta ini yang paling kasat mata bisa kita saksikan sehari-hari di pelbagai media. Menggunakan kekuasaan, amanah, dan fasilitas untuk bisa memperkaya diri sendiri, maupun orang lain.

Dalam kategori ketiga,”dusta implementasional” ada banyak modus-modus baru yang digunakan untuk bisa menelikung uang rakyat. Seperti peristiwa tangkap tangan hari ini, melalui konferensi pers yang digelar KPK tadi sore (24/8), bahwa pengusaha membuatkan atm fiktif yang nantinya akan diserahkan kepihak Dirjen Perhubungan. Jadi seolah-olah membuka rekening baru atas nama perusahaan, tapi akses penggunaannya bisa dilakukan oleh pihak yang menerima. Bersyukur KPK bisa mengendus peristiwa ini dan langsung mengadakan penindakan.

Dulunya bangsa kita adalah bangsa yang sangat beradab, mengenal dan tahu rasa malu itu bagaimana. Tapi sekarang, ketika sudah ada orang yang ditangkap atas tuduhan korupsi, malah bisa dengan gagahnya berjalan dan sambil tersenyum kepada masyarakat. Menyatakan bahwa ini adalah cobaan baginya. Tapi sebelum tertangkap, menyatakan bahwa ini adalah berkat atas semua jerih payahnya.

Virus ketidakjujuran ini sekarang sudah hampir mengena kepada seluruh elemen masyarakat. Baik muda, tua, anak-anak, bahkan balita sekalipun sudah tahu namanya bohong itu bagaimana. Baik pejabat pusat, daerah, bahkan masyarakat biasa sekalipun sudah pasti pernah melakukan kebohongan. Tapi bagaimana bangsa kita bisa menyikapinya.

Abdurahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gusdur, pernah berkata, : “Indonesia tidak akan hancur karena bencana karena Indonesia tempatnya bencana. Indonesiapun tidak akan hancur karena keberagaman karena Indonesia beragam sejak dulu. Namun Indonesia bisa hancur karena kebejatan moral kaum elite dan keputusasaan kaum elite.”

Dan memang benar yang dikatakan beliau, kita bisa hancur, jika semakin banyak orang yang bejat menghuni segala macam bangku kekuasaan. Dengan kebejatan moralnya, bisa melakukan hal apapun itu, asal perutnya bisa dikenyangkan oleh berbagai macam harta duniawi. Tidak peduli bagaimana rakyat yang dia pimpin, asalkan melihat tenang dan ayem kondisi masyarakat secara semu cukuplah itu. Ketika ada orang yang berani mengungkapkan kebejatannya, dengan segala macam upaya, untuk membungkam orang tersebut, baik dengan cara halus sampai dengan cara kekerasan.

Bersyukur juga, bahwa bangsa kita sudah menerbitkan undang-undang yang bisa menindak korporasi, baik akibat kesalahan yang dilakukan karena unsur sengaja maupun karena tidak sengaja. Dan hal itu termuat pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016. Korporasi bisa ditindak jika melakukan hal berikut. Pertama, jika terjadinya kejahatan itu memberikan manfaat atau keuntungan maupun untuk kepentingan korporasi. Kedua, apabila korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.Ketiga, jika korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan guna mencengah dampak lebih besar setelah tindak pidana terjadi.

Jadi bukan hanya pejabat dari korporasi tersebut yang ditindak, lembaga perusahaan, yayasan ataupun partai, semuanya bisa ditindak dan dilakukan segala proses hukumnya. Seperti yang sudah dilakukan KPK terhadap PT Nusa Konstruksi Enjinering TBK, atas dugaan korupsi proyek pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi tahun 2009-2011.   

Artikel ini sebenarnya kutujukan untuk diriku. Menilai sudah sejauh mana ‘kebejatan’ yang mungkin sudah aku lakukan selama ini. Memang tidak bisa kupungkiri bahwa aku selalu berjalan mulus tanpa adanya kecacatan sana-sini yang mungkin sudah terjadi. Baik secara sadar maupun tidak sadar hal tersebut bisa terjadi. Melakukan praktek-praktek curang dalam kegiatanku sehari-hari. Terutama dalam pelaporan keuangan. Melampirkan nota-nota buatan untuk mengesahkan laporan keuangan tersebut.

Awal niatnya sih baik, seperti menghemat untuk tidak makan diluar ketika ada kegiatan diluar, karena memang ada jatah makan, akhirnya membuat nota makan, sudah makan diluar. Juga bensin, meminta nota kosong kemudian mengisinya tidak sesuai bensin yang kita isikan. Dan banyak kebejatan lainnya yang tidak mungkin kuutarakan disini. Yang sebenarnya, ketika melakukan hal-hal tersebut, merasa tidak pantas disebut sebagai Anak Tuhan, yang notabene bekerja dalam tanda kutip, bidang “pelayanan”.

Meskipun nilainya tampaknya kecil bagi kita, itu justru sama saja dihadapan Tuhan. Sebab tidak ada penilaian bahwa ini itu, dosa besar maupun dosa kecil. Bagaimana seandainya ketika aku dipercayakan kepada tanggung jawab yang lebih besar. Masihkah mampu untuk berkata tidak kepada ketidakjujuran tersebut.

Untuk bisa menuliskan hal inipun, aku harus berhati-hati. Tidak mau menyinggung orang lain dan biarlah diriku yang dikenakan sebagai contoh. Sebab memang pada faktanya, ketika kita bisa menyurvei di sekeliling kita, orang lain-pun sepertinya terlibat seperti yang aku lakukan.

Seperti baru-baru ini juga, ada teman yang mau mengurus surat balik nama atas tanah dan rumah di kantor kepala desa hingga ke camat, ada-ada saja oknum, bahkan dengan terang-terangan meminta sejumlah fee dari surat-surat yang mau  diurus tersebut. Padahal hal tersebut tidak ada dalam peraturan ataupun undang-undang yang berlaku. Bahkan berani meminta sebanyak 20 persen dari nilai tanah dan bangunan tersebut di tingkat camat, 10 persennya lagi ditingkat desa. Belum lagi pengurusan surat-surat tersebut kepihak instansi terkait lainnya.

Padahal Pemerintahan Bapak Jokowi dengan tegas menentang praktek-praktek pungli. Tapi sepertinya belum bisa menyasar ke tahap teknis di tingkat desa maupun kecamatan. Sebab hal tersebut akan sulit nantinya dibuktikan,kecuali kalau pembicaraannya direkam sebagai alat bukti. Untuk melakukan hal ini juga pastinya banyak resiko yang nantinya kita akan hadapi. Baik berupa resiko pengancaman ketika hal tersebut sudah disampaikan maupun resiko akan penganiayaan secara langsung oleh si oknum maupun utusannya.

Tapi untuk membuat baik bangsa kita ini, dibutuhkan yang namanya pengorbanan. Tapi sebelum melakukan pengorbanan, ada baiknya kita sendiripun seharusnya lebih bisa berintropeksi diri dulu. Sebab memang pada faktanya lebih mudah untuk melihat selumbar di mata teman, padahal ‘gajah’ dimata kita sendiri sulit untuk  dilihat. Hal-hal ketidakjujuran meskipun tampaknya kecil dan nilainya kecil, tidak pantas untuk dilakukan oleh kita sebagai penerus anak bangsa.

Kedua, berani mengakui kesalahan yang mungkin pernah kita lakukan dan juga sekaligus berani untuk mempertanggungjawabkannya. Bukan hanya dihadapan sesama kita, dihadapan Tuhan tentunya segala perbuatan tersebut akan kita pertanggungjawabkan. Sekaligus tidak mengulangi lagi kesalahan-kesalahan yang sama tersebut dikemudian hari.

Ketiga, hal yang bisa kita lakukan adalah berani untuk selalu berkata jujur dan sekaligus menyuarakan kebenaran dan kejujuran tersebut dihadapan publik meskipun banyak yang pada akhirnya menentang akan keputusan kita. Meskipun banyaknya tekanan, ancaman, dan bahkan penganiayaan yang mungkin diterima ketika berani menyuarakan kebenaran tersebut, tidak akan pernah takut dan goyah.


Keempat, perlunya ada sistem yang jelas dalam pengorganisasian perusahan ataupun lembaga pelayanan, maupun dipemerintahan sekalipun. Pak Ahok sebelumnya juga dulu sewaktu menjabat sebagai Gubernur di DKI, dengan gencar-gencarnya membuat pelaporan keuangan dengan system e-bugdeting  dan pelaporannya semuanya dilakukan dengan online. Sehingga masyarakat bisa mengawasi seluruh penggunaan dananya mulai dari penganggarannya hingga ke implementasinya bagaimana.

Sistem yang jelas, pengorganisasian yang jelas, alur komunikasi yang jelas, serta pembagian tugas yang jelas, bahkan pelaporan yang terinci dan kalau bisa menggunakan sistem daring, tentunya akan bisa menolong untuk berbuat sesuai dengan tugas dan tanggung jawab kita. 

Diakhir dari tulisanku ini, masihkah “Aku” terindikasi tidak jujur. Biarlah kita menjawab dalam diri kita masing-masing. Dan berharap ini bisa menjadi renungan dan refleksi bagi kta bersama didalam menghadapi banyaknya perubahan dan tantangan yang akan semakin sulit dikemudian hari. In God we can do the Best Thing-Didalam Tuhan kita bisa melakukan hal yang paling baik. 

Penulis adalah komunitas PESAT, Pemerhati Sosial, dan Pengajar di STT Terpadu Pesat Sibolangit

Rabu, 23 Agustus 2017

Sekolah Berasrama-Solusi Pendidikan di Tanah Papua

Pembukaan SMA Gloria Terpadu Mawena oleh Hans Geni Arthanto

Tadi pagi, 23 Agustus mendengarkan Jurnal 9  dari Smart FM. Diberitakan bahwa Kepala Bappenas, Bapak Bambang Brojdonegoro mendorong warga Indonesia yang berada di luar negeri untuk terlibat memajukan pedidikan di provinsi Papua dengan membangun sekolah berpola asrama. Pemaparan ini disampaikan dalam acara Global Summit Indonesia Diaspora di Hotel J.S. Luwansa, pada Senin (21/8).

Menurut data BPS di tahun 2017, bahwa angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua dan Papua Barat, berturut-turut adalah 62,21 dan 58.05. Dan angka ini jauh dibawah rata-rata nasional yang mencapai 70.18. Oleh karena itu Papua membutuhkan inovasi dan terobosan baru dalam dunia pendidikan maupun kesehatannya.

Bappenas meyakini bahwa membangun sekolah berasrama adalah sebuah terobosan baru untuk bisa meningkatkan angka partisipasi sekolah. Mengingat karena letak geografis yang sulit dan kampung-kampung yang tersebar diberbagai wilayah, mengakibatkan pembangunan pendidikan yang baik semakin sulit dikerjakan.

Hal itu juga senada disampaikan oleh Bapak Menteri Pendidikan kita, tahun lalu, 6 Oktober 2016, sewaktu berkunjung ke Merauke.  

“Mudah-mudahan menjadi prioritas tahun 2017 untuk kita akan bangun. Jadi SD, SMP kemudian ada asramanya, termasuk perumahan guru-guru, kalau guru masih bujang kita akan bangun flat untuk bisa tinggal sama-sama dengan masyarakat. Dengan sekolah berasrama, siswa tidak perlu lagi menghabiskan waktu perjalanan lama ke sekolah mereka seperti yang terjadi sekarang. Dengan begitu biar orang tuanya saja yang datang berkunjung ke asrama.” Kata Bapak Muhajir dihadapan Bupati dan Kepala Dinas Pendidikan Merauke.

Bapak Menteri meminta agar Bupati dan Kepala Dinas Pendidikan segera menemukan konsep yang tepat dalam membangun pendidikan pola berasrama dan disegerahkan kepada Kemendikbud.
Beliau juga menjelaskan bahwa tidak ada gunanya membangun sekolah banyak-banyak tapi siswanya hanya sedikit. Mendingan dijadikan satu dengan kapasitas yang besar sehingga lebih efesien dan lebih mudah untuk dikoordinasikan.

Tapi sekarang sudah di tahun 2017, dan sudah memasuki bulan kedua efektif pembelajaran T.A. 2017/2018. Apakah implementasi dari rencana Bapak Mendikbud sudah terealisasi, sepertinya belum terealisasi. Sebab pemerintah masih mengkaji-mengkaji terus permasalahan apa yang utama dari pendidikan yang ada di Papua sekarang. Juga karena kesibukan Kemendikbud dalam mengaktualisasi Program Rencana Full Day School, yang sudah keluar Permen-nya. Mengakibatkan banyak yang pro dan kontra atas kebijakan tersebut.

Juga seperti yang dilakukan oleh Komisi X,anggota DPR-RI sewaktu berkunjung ke Provinsi Papua, mulai dari 29 Juli hingga 2 Agustus 2017 lalu. Mereka menemukan ada enam substansi masalah sektor pendidikan dasar menengah yang harus didalami.

Pertama, terkait pendidikan anak usia dini (PAUD); kedua, berbagai permasalahan teknis yang dihadapi dalam dunia pendidikan dasar dan menengah; ketiga, permasalahan guru dan tenaga kependidikan, termasuk banyaknya kekurangan guru yang terjadi; keempat, Permasalahan pemakaian kurikulum (KTSP atau Kurikulum 2013); Kelima, permasalahan UN (ujian nasional) dengan sistem Berbasis Komputer (UNBK);  keenam, terkait masalah Kartu Indonesia Pintar (KIP), BOS (Bantuan Operasional Sekolah), maupun DAK (Dana Alokasi Khusus) Pendidikan di Papua.

Tapi sepertinya semua kendala permasalahan tersebut sudah terbukti bisa diatasi dengan sekolah berasrama. Dan berdasarkan informasi yang sudah saya dapatkan, sudah ada yayasan yang terbukti bisa menyelesaikan masalah pendidikan tersebut dengan sekolah berbasis asrama. Yakni Yayasan PESAT. Membangun pola pendidikan sekolahnya dengan pola berasrama di Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Mari pemerintah bisa melihat apa yang sudah dilakukan oleh Yayasan ini dalam membangun pendidikan di Papua.

Sekilas informasi Yayasan PESAT

PESAT merupakan singkatan dari Pelayanan Desa Terpadu. Berdiri tepatnya 30 tahun yang lalu, yakni tahun 1987. Didirikan oleh seorang Hamba Tuhan yang visioner, Bapak Bambang Budijanto bersama dengan rekan-rekan yang lain yang punya mimpi untuk membangun bangsa lewat desa. Dan di 30 tahun mendatang, Yayasan PESAT akan ekspan program pelayanan desa-nya ke 10 negara-negara Asia lainnya yang siap untuk bekerjasama.

Pelayanan Pendidikan PESAT hadir di Papua sejak awal tahun 1990-an, hanya dimulai dari pelayanan anak di lorong, lapangan, pasar, jalan dan lingkungan masyarakat. Dan akhirnya dibentuklah pelayanan pendidikan formal sejak usia dini diawal tahun 2000-an yang bernama TK/Playgrup  Ceria Terpadu. Kemudian, tepat  pada tanggal 13 Juni 2016, oleh Bapak Hans Geni Arthanto (CEO PESAT), meresmikan Sekolah Menengah Atas (SMA) Anugerah Gloria Terpadu Wamena di lembah Baliem, Kabupaten Jaya Wijaya, Papua.

SD Tri Esa Terpadu

Tingkat pendidikan dasar yang bernama SD Tri Esa Terpadu yang dirintis 2 tahun setelah playgrup berjalan. Dimana jumlah muridnya di tahun ajaran sekarang, 2017/2018, mencapai 255 orang.  Untuk tingkat  SMP yang bernama SMP Anugerah Gloria Terpadu didirikan sejak tahun 2012 yang lalu.
Ada kesinambungan pendidikan yang diselenggarakan oleh PESAT di Wamena, yakni dimulai dari PAUD hingga ke jenjang SMA. Dan semuanya dilakukan dengan Pendidikan Pola Berasrama. Dimana para guru bisa mengecek secara langsung kondisi dan perkembangan anak sehari-hari. Menolong bukan hanya sisi akademik para murid, juga mengembangkan dan menolong perkembangan karakter maupun kerohanian mereka.

Oleh karena itu, mendukung segala upaya Bapak Menteri Brojonegoro, kepala Bappenas yang mencoba, mencari dukungan atau support dari orang Indonesia yang ada diluar negeri untuk membangun pendidikan yang ada di Papua, dengan pendidikan sekolah berasrama.

Butuh tindakan langsung dan nyata, bukan hanya sekedar wacana-wacana maupun kunjungan-kunjungan kerja yang hanya sekedar jalan-jalan dan menghabiskan anggaran yang ada. Jika tidak bisa langsung massif diterapkan ke seluruh wilayah Papua, mari dimulai dari satu kota saja yang mungkin bisa terjangkau. Dari satu baru ke-dua wilayah, dan akhirnya seluruh anak-anak di Papua bisa mengenyam pendidikan yang lebih baik.

Mari Bapak Menteri, dan seluruh pemerintah yang terkait, melihat orang, atau yayasan yang sudah berhasil menerapkan sistem seperti itu. Jadi tidak perlu lagi ada banyak kajian-kajian yang dalam dan lambat, hanya untuk bisa merealisasikan pendidikan sekolah berasrama. Mari melihat PESAT dan kalau mau bisa datang langsung terjun ke sana untuk bisa mengkroscek. PESAT sudah hampir kurang lebih 16 tahun memulai pendidikan dengan pola berasrama tersebut.

Dan hasilnya, sekarang anak-anak yang mereka didik, rata-rata menjadi anak yang berprestasi dan mampu bersaing dengan pendidikan dari daerah lain yang ada di Indonesia. Masalah UN juga bukan lagi menjadi kendala, sebab seratus persen anaknya bisa lulus tanpa adanya manipulasi-manipulasi yang dilakukan oleh pihak sekolah. Berani tampil dibeberapa event-event lomba dan bahkan bisa menjuarainya.

Menjadi Juarawan pada Lomba tingkat Kabupaten

 Sumber :




4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...