Diri ini sangat
tergugah dengan catatan seorang Ki Suwarjono dalam artikelnya pada kompas
(4/9/2018), betapa pendidikan nasional kita masih rasa kolonial. Dimana tulisan
ini sebenarnya sangat menohok kita sebagai orang yang selalu berkecimpung dalam
dunia pendidikan. Para guru, anak didik dan orang tua, ternyata kita masih
selalu memakai apa yang menjadi peninggalan kolonial bagi kita.
Dimana kurikulum
kita yang sekarang berbasis kompetensi ternyata dasarnya mengacu kepada
taksonomi bloom. Ketiga aspek kompetensi dalam kurikulum kita, baik kognitif,
afektif dan psikomotorik selalu memakai takaran operasionalnya seperti yang
diuraikan dalam taksonomi bloom. Dan kita sepertinya tidak atau belum lepas
dari uraian operasional ataupun takaran pencapaian yang sudah diperoleh oleh
murid-murid kita.
Padahal kita
sebenarnya sudah memiliki pemikir pendidik sekelas Benyamin Samuel Bloom, yakni
Ki Hajar Dewantara. Dimana kompetensi yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara,
mencakup tiga hal yakni, cipta, rasa, dan karsa. Dan dengan pendekatan
pendidikan yang didasarkan kepada tri nga
(ngarti, ngrasa, dan nglakoni). Yaitu sianak diajak untuk mengerti terlebih
dahulu, kemudian merasakan dan akhirnya bisa melakukan.
Dimana pendekatan
pembelajaran yang demikian jauh lebih sesuai dengan sosiologi budaya kita
dibandingkan dengan pengalaman pembelajaran yang sudah diamanatkan dalam K-13
kita yang sekarang, yakni mengamati, menanya, eksperimen, mengolah informasi,
dan mengkomunikasikan. Yang jauh lebih sekedar prosedural dibandingkan dengan
mendapatkan esensi yang sesungguhnya di dalam pelaksanaan sistem pendidikan
kita.
Bahkan sebenarnya
beliau sudah memberikan petunjuk bagi pengembangan pendidikan kita yang bisa
jauh lebih baik. Yakni dengan tiga semboyannya ymang sangat terkenal. “Ing
ngarso sung tulodo”, “Ing madyo mangun karso”, “ Tut wuri handayani”. Yang
artinya secara berurutan, di depan guru menjadi teladan atau contoh, di tengah
guru sebagai pembimbing, di belakang guru sebagai motivator.
Ketika ketiga
pendekatan tersebut dilakukan oleh seorang guru, si anak bisa melihat contoh
langsung dari si guru. Kemudian si anak
bisa merasakan bagaimana bimbingan demi bimbingan, supaya si anak bisa
melakukan bersama dengan guru. Dan akhirnya ketika si anak sudah bisa melakukannya
sendiri, si guru tinggal melepaskannya sehingga mandiri. Tugas guru selanjutnya
pasti tinggal memberikan motivasi saja.
Maka proses
pembelajaran yang demikian jauh lebih sesuai dengan kultural bangsa kita.
Bahkan perubahan si anak jauh lebih berkembang ketimbang dengan tahapan
prosedural yang sangat saintik yang telah kita terapkan selama ini yang kembali
muasalnya selalu mengarah ke tahapan taksonomy bloom.
Selanjutnya tahapan
pencapaian kompetensi pendidikan seperti si anak bisa ber-karsa alias punya
kehendak sendiri, atas apa yang akan dilakukannya. Kemudian punya rasa sehingga
bisa merasakan tahapan pencapaian yang sedang dikerjakannya yang sesuai dengan
minat dan bakatnya, sehingga akhirnya bisa mencipta.
Tulisan ini juga bukan
bermaksud untuk anti terhadap penerapan taksonomy Bloom, tapi karena konteks
Benyamin Bloom di dalam menemukan dan merumuskan apa yang dia temukan, tentu berdasarkan
keseharian pengamatannya di dalam meneliti dan melihat langsung konteks
lingkungannya, yakni kebudayaan barat. Yang tentu kebudayaan maupun sosiologi
ketimuran tentu berbeda dengan apa yang dimiliki oleh orang barat.
Mengapa kita tidak
mengembangkan apa yang sudah kita miliki saat ini. Apa yang sudah digagas oleh
pemikir pendidik dan pendahulu kita sebenarnya jauh lebih bermartabat dan tentu
berdasarkan kehidupan dan lingkungan kita sehari-hari.
Mengapa kita harus
lebih banyak berinvestasi untuk sesuatu yang bukan merupakan lahir dari
kekayaan bangsa kita, dan lebih banyak berinvestasi untuk pengembangan teori
luar yang belum tentu cocok dengan kita?
Apa Tindakan Kita Selanjutnya?
Kita itu sebenarnya
sangat kaya. Bukan hanya kaya dengan kekayaan alamnya, tapi kita juga sangat
kaya dengan budaya yang begitu beragamnya. Tentunya pasti mengandung kearifan
lokal yang begitu kaya muatannya dengan filosofi pemikiran para nenek moyang
kita.Mengapa kita tidak berinvestasi untuk menggali kekayaan kebudayaan kita
tersebut?
Mengapresiasi
langkah kemendikbud kita yang sekarang ini. Yang telah mencoba dan memerintahkan
setiap pemerintah daerah untuk bisa menyusun kajian yang mendalam akan
kebudayaan lokal dari masing-masing daerah. Meskipun belum seluruh daerah bisa
menyelesaikan kajian kebudayaan lokal tersebut untuk diserahkan ke kemendikbud.
Tapi langkah ini
tentu akan menjadi sebuah dasar atau pondasi bagi kita untuk bisa meningkatkan
mutu pendidikan kita. Kita sebagai pendidik, penggiat pendidikan ataupun
sebagai peneliti dan tentunya juga pemerintah harus berpartisipasi aktif di
dalam melakukan pengembangan ini. Dengan melakukan penelitian yang lebih lanjut
maka bisa dipastikan kualitas dari pendidikan kita akan berbasis kekayaan lokal
kita sendiri.
Mari kita segera
berbenah untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan kita yang sekarang
ternyata nilai ataupun karakter kebangsaan kita seakan-akan luntur. Dimana kita
begitu mudahnya terpecah. Ditambah lagi paham ekstrim yang sedang digeliatkan
oleh orang-orang tertentu untuk memasukkan paham mereka sehingga menjauhkan
kita dari rasa kesatuan dan kecintaan kepada bangsa Indonesia yang hebat ini.
Maka langkah ini
harus menjadi sebuah keharusan bagi kita di dalam menyelsaikan permasalahan
pendidikan yang sudah di depan mata kita.
Penulis adalah
penggiat sosial dan pemerhati pendidikan serta pengajar di STAK Terpadu PESAT.