Rabu, 26 Februari 2020

Belajar Merdeka

Kompas 25/2/2020
Oleh :
Doni Koesoema A
Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan Periode 2019-2023

Merdeka Belajar adalah jargon Mendikbud Nadiem Makarim untuk mentransformasi pendidikan nasional. Sayangnya, jalan terjal perubahan tidak selalu semulus
yang diharapkan. Sebelum merdeka belajar, guru perlu belajar merdeka terlebih dahulu.

Dalam beberapa kali pertemuan, Nadiem selalu mengatakan, pengalaman perubahan
bisa dipastikan 99 persen merupakan pengalamantidak enak dan tidak nyaman. Maka, transformasi pendidikan yang dia
mulai pasti akan menuai kontroversi, penolakan, penentangan, dan menimbulkan semacam suasana kacau dan galau. Sangat tidak mudah mengubah mental para guru yang sudah terlalu lama tertindas. Diajak maju, malah inginnya ditindas. Begitulah kira-kira Nadiem menggambarkan situasi guru dalam masa transisi transformasi disrupsi pada saat jargon Merdeka Belajar digemakan.

Kepercayaan guru Merdeka Belajar asumsi utamanya adalah pemberian kepercayaan kepada guru. Persis di sinilah Nadiem perlu membuka wawasannya secara lebih luas. Para guru sebenarnya bukan takut pada kemerdekaan yang diberikan, tetapi sistem,
kebijakan, dan regulasi pendidikan selama ini alih-alih memberikan kepercayaan, justru menggerogoti dimensi fundamental pendidikan yang harusnya diberikan oleh negara kepada guru, yaitu kepercayaan. Tanpa kepercayaan kepada guru, pendidikan yang baik tidak akan mungkin terjadi. Tanpa kepercayaan, kreativitas dan
inovasi sulit terlahir.

Nadiem ingin meretas ini semua dengan jargon Merdeka Belajar. Hal ini diawali dengan kebijakan menghapuskan Ujian
Sekolah Berstandar Nasional (USBN) yang sekarang dikembalikan pada satuan pendidikan. Nadiem juga menghapus kebijakan Ujian Nasional (UN) yang selama ini telah menjadi kuk yang menindas leher para guru dan peserta didik. Apakah dua kebijakan ini sudah cukup mengembalikan kepercayaan guru? Ternyata tidak. Guru masih belum percaya bila diberi kebebasan dan kepercayaan. Hati mereka belum siap menerima perubahan yang jadi dasar bagi lahirnya inovasi dan kreasi.

Belajar merdeka adalah sebuah disposisi hati dan sikap untuk menghayati kebebasan dan kemerdekaan. Dengan disposisi ini, individu siap jadi individu yang mampu dipercaya.

Kepercayaan adalah spirit sebuah proses pendidikan. Tanpa kepercayaan, sia-sia semua usaha membentuk manusia. Karena dari kepercayaan demi kepercayaan seperti inilah individu belajar bertanggung ja-
wab.

Fenomena gagal memahami kemerdekaan belajar dapat kita lihat dari banyaknya pertanyaan yang dialamatkan ke Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) tentang dihapuskannya USBN lewat Permendikbud No 43 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ujian yang Diselenggarakan Satuan Pendidikan dan Ujian Nasional. Permendikbud yang menghapus USBN—meskipun sudah jelas
dari pasal-pasal yang ada bahwa ujian diselenggarakan oleh satuan pendidikan, yang berarti otonomi ada di sekolah dan guru—tetap saja melahirkan banyak pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan oleh sekolah dan guru sehingga Kemdikbud perlu mengirimkan Surat Edaran (SE) No 1 Tahun 2020 untuk mengklarifikasi persoalan seputar kebijakan Merdeka Belajar.

Fenomena lain adalah ketika Nadiem mengeluarkan SE tentang Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang memberikan kemerdekaan pada guru untuk mendesain persiapan mengajar cukup hanya satu halaman. Di media sosial
lantas beredar berbagai model RPP satu halaman, yang isinya ternyata sama saja dengan RPP panjang versi lama. Versi pendek hanya dipadat-padatkan semua unsur jadi satu halaman.Guru gagal memahami spirit dibalik RPP satu halaman. Guru gagal merdeka!

Belajar memaknai kemerdekaan adalah hal fundamental bagi lahirnya inovasi dan kreativitas yang kokoh dan otentik. Ketika para pelaku pendidikan memahami apa arti kemerdekaan bagi dirinya, barulah dia dapat meletakkan kemerdekaan ini dalam konteks pemelajaran. Tanpa mengalami dan memahami kemerdekaan, Merdeka Belajar akan diterjemahkan sebagai belajar sesuka-sukanya, semau-maunya. Ini eranya merdeka belajar, Bung!

Kultur teknis

Menghayati kebebasan tidaklah mudah, terutama bila individu sudah lama berada di bawah kungkungan dan belenggu rantai ketidakmerdekaan. Salah satu kultur yang selama ini membelenggu dan membuat para pelaku pendidikan seolah terpenjara sehingga gagal melahirkan kemerdekaan adalah budaya kultur teknis yang selama ini telah menjadi cara bertindak dalam mengelola pendidikan.

Kultur teknis merupakan sebuah sikap yang selalu bertanya tentang hal-hal praktis
semata terutama tentang ”bagaimana”-nya sebuah proses pendidikan (Albertus, 2015:17).

Sikap selalu menuju ke hal-hal praktis ini menjerumuskan pendidik dan guru menjadi semacam robot yang bekerja berdasarkan petunjuk teknis atau prosedur operasi standar yang merupakan ciri khas mesin.

Kultur teknis membahayakan dunia pendidikan karena guru bukanlah mesin. Ia bukanlah robot. Mesin dan robot tidak dapat mendidik siswa karena mereka tidak memiliki kebebasan dan kesadaran. Guru adalah manusia yang memiliki kebebasan dan kesadaran, dan justru karena memiliki kebebasan dan kesadaran inilah mereka mampu menjadi pendidik nilai dan pembentuk karakter bagi para peserta didik.

Kultur teknis membuat kinerja guru yang pada hakikatnya kinerja kreatif dan otonom menjadi kinerja mekanis dan robotik. Guru merasa baru bisa berjalan ketika ada petunjuk teknis, prosedur operasi standar, atau bimbingan teknis, yang semuanya telah ditetapkan di luar otonomi dan kewenangan guru. Dengan alat ini, guru tinggal menjalani, tanpa perlu pikir panjang. Tanpa adanya tuntutan prosedur ini,ia tak mampu bergerak, atau mengambil inisiatif. Bisa dibayangkan betapa bingungnya guru memaknai jargon Merdeka Belajar ketika mereka sendiri pun
masih belajar apa artinya jadi merdeka. Kemerdekaan memang menakutkan bagi mereka yang tak mampu menghayatinya.

Dalam konteks pengembangan guru, tentu persoalannya tak sederhana yang kita bayangkan. Seolah-olah, begitu ada jargon, otomatis semua berjalan layaknya angin segar perubahan. Padahal, sebaliknya, kemerdekaan itu begitu menyiksa. Mengapa?

Bagi yang belum pernah merasakan kemerdekaan sebagai guru, akan ada banyak pertanyaan yang muncul pastilah, apakah yang aku lakukan sudah benar? Kalau benar, di mana pedomannya untuk memastikan bahwa yang aku lakukan benar? Bagaimana bila kepala sekolah menegurku seperti biasanya selama ini? Kalau kepala sekolah tidak menegur, bagaimana dengan pengawas? Apakah pengawas tak akan menegurku? Apakah aku tak melanggar peraturan yang berlaku? Dan, masih banyak pertanyaan lagi yang menunjukkan kegalauan guru.

Transformasi ekosistem

Dari sini semakin jelas bahwa jargon Merdeka Belajar tak hidup di alam hampa. Ia baru bermakna dalam konteks karena para pelaku menafsirkannya sesuai dengan kebutuhan dan konteks hidupnya. Merdeka Belajar tak akan efektif tanpa transformasi keseluruhan dalam ekosistem pendidikan nasional yang melibatkan berbagai macam pemangku kepentingan. Karena itu, beberapa hal perlu dilakukan Nadiem sege-
ra.

Pertama, bagi beberapa guru, perubahan drastis itu menyakitkan. Maka, Nadiem perlu membangun jembatan yang menghubungkan antara kemerdekaan dan keterbatasan. Guru yang memiliki kemampuan sangat terbatas akan sangat frustrasi dengan besarnya kemerdekaan yang diberikan. Hal seperti ini sesuatu yang normal dan wajar. Bagi mereka, tetap dibutuhkan panduan-panduan kecil agar langkah perubahan mereka semakin terarah.

Kedua, ekosistem pendidikan berupa keseluruhan sistem yang terintegrasi dalam sistem pembelajaran, pengawasan, evaluasi, dan penilaian harus segera didesain dan disosialisasikan agar publik dapat mendukung arah perubahan yang
diinginkan Nadiem. Asesmen Kompetensi Minimal dan pengganti UN sampai sekarang masih jadi misteri bagi publik.

Ketiga, prinsip subsidiaritas perlu diterapkan. Prinsip ini berbicara tentang kewenangan. Apa yang bisa dan mampu di-
lakukan pada level lebih rendah tak perlu diintervensi oleh kekuasaan di atasnya. Ini berarti, bagi sekolah-sekolah dan para
guru yang sudah merdeka, pintu inovasi dan kreativitas harus dibuka. Jangan sampai sekolah justru mendapatkan pemaksaan baru akibat jargon Merdeka
Belajar. Kemampuan Nadiem mengorkestrasi pemda jadi penentu keberhasilan inovasi dan kreasi pendidikan di daerah.

Merdeka Belajar, meskipun sebuah jargon, ia hidup dalam konteks. Konteks inilah yang dihidupi para guru dalam mengekspresikan kebebasan, kemerdekaan, tanggung jawab,
L inovasi, dan kreasinya. Jargon Merdeka Belajar hanya akan jadi sekadar jargon saat ia gagal mempersiapkan ruang-ruang
bagi pemelajaran kemerdekaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...