Jumat, 21 Februari 2020

Rapor Merah Pendidikan

Kompas.id

Oleh Hafid Abbas
(Guru Besar FIP Universitas Negeri Jakarta; Profesor Tamu di Tsai Lecture Series, Harvard University 2006)
Kompas, 20/2/2020

Sungguh mengkhawatirkan. Dalam beberapa tahun terakhir terlihat tanda-tanda yang amat berbahaya bagi masa depan peradaban negeri ini, yakni kecenderungan-kecenderungan yang saling bertentangan dalam pengelolaan pendidikan nasional.

Pertama adalah paradoks kecenderungan semakin besarnya anggaran pendidikan di satu sisi dan semakin merosotnya mutu pendidikan kita di sisi lain. Sebagai contoh, pada APBN 2018, alokasi anggaran pendidikan mencapai Rp 444 triliun dan pada 2020 angka ini meningkat ke Rp 508
triliun. Di sisi lain, ranking PISA Indonesia turun dari urutan ke-65 (2015) menjadi ke-72 (2018) di antara 77 negara karena skor kemampuan membaca, matematika, dan sains anak-anak Indonesia terus menurun.

Data lain, Bank Dunia melaporkan,
kualitas pendidikan Indonesia masih
terendah di lingkup ASEAN, 55 persen
anak usia 15 tahun secara fungsional
buta huruf, dibandingkan Vietnam yang
kurang dari 10 persen (CNN, 7/6/2018).
Bahkan, berdasarkan tabel liga global
yang diterbitkan firma pendidikan Pearson (2012), sistem pendidikan Indonesia dinilai terburuk di dunia, dan yang terbaik Finlandia dan Korea Selatan.
Kedua, paradoks anggaran sertifikasi
guru yang terus meningkat, tetapi dam-
paknya pada peningkatan mutu pen-
didikan nasionalternyata belum terlihat.

Pada APBN 2017, sebagai contoh, anggarannya mencapai Rp 75,2 triliun, dan
pada tahun berikutnya naik ke angka Rp
79,6 triliun. Namun, publikasi Bank Dunia, ”Spending More or Spending Better:
Improving Education Financing in Indonesia” (2013), menunjukkan tidak terdapat dampak program sertifikasi guru
terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Yang berubah adalah perbaikan kesejahteraan guru yang ditandai dengan menurunnya jumlah guru yang kerja
rangkap secara drastis dari 33 persen
sebelum sertifikasi ke 7 persen sesudah
sertifikasi (halaman 73).

Ketiga adalah paradoks pengangkatan
sekitar 100.000 guru setiap tahun, tetapi
jumlah guru sudah amat surplus menurut standar internasional. Dengan sekitar 50 juta jumlah siswa pendidikan dasar dan menengah dengan 4 juta guru (Kemdikbud,20/12/2019), berarti setiap
guru hanya mengajar 12-13 siswa. Sementara rata-rata rasio internasional
sebanyak 20-21 siswa per guru. Jepang rasionya 27-28 siswa per guru (UNESCO
2017). Dengan menggunakan standar
internasional, Indonesia kelihatannya
sudah kelebihan sekitar 1,6 juta guru.

Selamatkan pendidikan nasional

Kecenderungan-kecenderungan yang
amat berbahaya ini mengingatkan saya
pada analogi Charles Handy dalam bukunya, The Age of Unreason (1995), yang
bercerita tentang katak yang dimasukkan dalam panci yang bersuhu normal.
Api dinyalakan dan panci itu dipanasi.
Pada awalnya, katak itu tak diganggu, ia kelihatan cukup puas dan rupanya lingkungan barunya cukup menyenangkan baginya. Lambat laun ketika suhu pun menaik mendekati titik didih, katak menunjukkan perubahan perilaku yang makin lama makin tidak tenang, tetapi dengan tercapainya derajat air mendidih, katak itu ikut terebus.

Eksperimen ini memberikan pelajaran
kepada kita suatu lonceng peringatan
karena tak mustahil kita sebagai bangsa
pada suatu hari kelak akan menyesal
selamanya apabila kita gagal menyelamatkan pendidikan nasional kita hari ini. Tentu tak ada jalan pintas (no shortcut) untuk segera keluar dari keterpurukan pendidikan kita hari ini. Namun, kelihatannya, induk masalahnya
berkisar di dua hal pokok ini.

Pertama adalah tidak diberlakukan
standardisasi pendidikan dengan seluruh aspeknya secara sungguh-sungguh.
Sebagai ilustrasi, beberapa waktu lalu,
saya berkunjung ke satu sekolah dasar di Bandung Barat. Sekolah ini memiliki 60
siswa, sebagian besar putri. Luas bangunan dan halaman sekolah terlihat tak
lebih dari 200 meter persegi. Ruang
belajar siswa kelas 1 dan kelas 2 hanya
disekat dengan dinding tripleks, sempit,
dan jika mereka mendapat pelajaran
secara bersamaan, suasananya akan ter-
ganggu. Untuk kelas 3 dan kelas 4,
tempatnya di ruang tamu rumah kepala sekolah yang berjarak hanya sekitar 30
meter dari sekolah dengan suasana belajar seperti kelas 1 dan 2. Adapun ruang
belajar kelas 5 dan 6 belum tersedia
karena sekolah ini baru berumur empat
tahun. Di sekolah ini tak terlihat ada
ruang guru dan perpustakaan, bahkan
tak ada halaman memadai yang memungkinkan anak bisa bermain.

Keadaan sekolah yang saya amati ini mengingatkan saya pada data yang
disampaikan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Mohammad Nuh (2012)
bahwa 88,8 persen sekolah di Indonesia,
mulai dari SD hingga SMA/SMK, belum
melewati mutu standar pelayanan minimal, 10,15 persen sudah memenuhi,
dan hanya 0,65 persen sekolah yang
dinilai bertaraf internasional.

Sekadar perbandingan, meski Singapura negaranya amat kecil, keadaan sekolah-sekolahnya umumnya punya halaman luas, bangunannya standar, lengkap dengan lapangan bola ataupun lapangan basket. Jendela ruang-ruang kelasnya berukuran besar-besar dan dirancang sedemikian rupa agar menghadap ke lapangan atau taman. Di depan kelas, koridornya juga lebar, ada taman untuk pelajaran sains, ruang multimedia, komputer, ruang dokter, psikolog, perpustakaan, kantin,
dan aula pertemuan. Di setiap kelas ada loker untuk masing-masing anak, jadi buku-buku pelajaran bisa disimpan di sana
jika tidak ingin buku-buku itu dibawa
pulang.

Keadaan di jenjang pendidikan tinggi
kelihatannya juga tak jauh berbeda dengan keadaan di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Di antara 4.715 institusi pendidikan tinggi di seluruh Tanah Air, ternyata hanya 96 yang mendapat akreditasi A (Kemristekdikti, 2019). Sebagai ilustrasi, ada satu universitas di kawasan Menteng, Jakarta, yang gedungnya sempit, hanya dua ruko yang disatukan, lingkungannya dipadati pedagang kaki lima. Ketika mampir di kampus ini, saya hanya menjumpai satu pegawai yang menangani semua urusan kampus. Ternyata universitas ini hanya
menampung mahasiswa kelas malam
yang pulang kerja. Tidak terkesan universitas ini memenuhi standar yang berorientasi pada mutu.
Di sinilah urgensi kehadiran pimpinan Kemdikbud untuk segera membina dan menertibkan sekolah-sekolah ini agar memenuhi standar. Sebaik kebijakan apa pun yang telah dan akan dicanangkan oleh Menteri Nadiem, jika tidak membenahi semua standar (kompetensi lulusan, isi, proses, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian) yang diperlukan, akan sulit diharapkan membuahkan hasil yang optimal. Bagaimana mungkin anak dapat menikmati suasana ”Merdeka Belajar” dan
”Kampus Merdeka” sesuai harapan
Menteri jika lingkungan belajarnya jauh
di bawah persyaratan minimal.

Pendidikan dan politik praktis

Kedua, sejak lebih satu dekade terakhir terdapat pergeseran arah kebijakan pengelolaan pendidikan secara keseluruhan, dari pendekatan teknis pro-
fesional ke kepentingan politik praktis,pencitraan, dan uji coba. Keadaan yang paling nyata terjadi di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, hingga tingkat sekolah sebagai unit birokrasi pendidikan terbawah. Bahkan, terkesan urusan pendidikan telah direduksi para elite di pusat dan daerah menjadi ”urusan kuitansi”. Dengan otonomi daerah, bupati/wali kota terpilih dengan bebas menempatkan orang-orang dekatnya yang telah dinilai berjasa atas kemenangannya di pilkada untuk mengisi
semua pos pendidikan. Ada daerah yang mempromosikan seseorang yang
mengurus urusan pasar ke urusan pendidikan, ada pula yang berasal dari urusan pemakaman ke dinas pendidikan.

Masuknya kepentingan politik praktis
ke ranah pendidikan mengingkari Konvensi UNESCO dan ILO (1966) yang merekomendasikan agar jabatan apa saja yang terkait urusan pendidikan
haruslah diprioritaskan pada urutan
pertama kepada guru yang sudah berpengalaman dan mengerti persoalan
pendidikan (alinea 43). Semestinya, semua posisi di urusan pendidikan, seperti
pengawas, kepala dinas, direktur, termasuk menteri pendidikan, staf khusus
atau jabatan apa saja yang terkait urusan
pendidikan, haruslah sesuai dengan rekomendasi dua badan PBB itu. Seperti
halnya di bidang kesehatan, semestinya
semua jabatan yang terkait urusan kesehatan, termasuk menteri kesehatan,
diprioritaskan pada mereka yang berpendidikan kedokteran dan yang berpengalaman di urusan kesehatan.

Semoga, dalam waktu dekat, negara
sungguh-sungguh hadir untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan sungguh-sungguh membebaskan dunia pendidikan dari permainan politik praktis
dengan sungguh-sungguh mengarahkan
semua kebijakan pendidikan untuk me-
ningkatkan standar pendidikan demi ke-
selamatan hari depan kita bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...