Kamis, 28 Mei 2020

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19



(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36)

Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastikan dalam kehidupan kita selalu dipenuhi dengan sebuah atau bahkan lebih dari satu ancaman terjadi dalam hidupnya. Dan dari ancaman tersebut kita terkadang dibuat seakan untuk menyerah saja dalam hidup ini. Dengarkan perkataan-perkataan yang keluar dari mulut si pembuat ancaman tersebut.

Hal ini pun sering kali kita lihat ada di media-media sosial kita. Ketika seseorang yang tidak disukai alias karena kerap memberikan celotehan, kritik yang tajam kepada orang-orang tertentu. Lantas karena perilaku kritikannya itu yang terkadang menyudutkannya, alhasil dengan terang-terangan iapun mengeluarkan ancaman secara spontan yang ingin menghabisi orang yang kerap menyindir mereka. Diposting dalam media sosialnya bahwa ia ingin terang-terang menyikat si  orang itu. 

Orang yang menyindir tersebutpun justru tidak merasa kecut dan takut apalagi gentar dengan perkataan ancaman tersebut. Bahkan dengan berani ia menertakan kembali ancaman-ancaman tersebut sekaligus ingin menunjukkan bahwa dia tidak takut dengan ancaman yang ada itu. 

Tapi bagaimana dengan konsep ancaman yang datang dalam sebuah bangsa atau negara? Tentu akan sangat beda dengan ancaman yang datang ke masing-masing individu seperti yang kerap kita lihat saat ini di media sosial tadi. 

Ancaman yang datang ke sebuah bangsa jauh lebih besar dampaknya atau bahayanya jika dibandingkan dengan ancaman yang datang ke tiap-tiap orang. Sebab bicara bangsa bicara tentang kehidupan atau nyawa dari pengisi atau orang-orang yang ada di bangsa itu. Semua nyawa di bangsa itu dipertaruhkan dengan ancaman yang keluar dari perkataan-perkataan yang datang tersebut.

Seperti yang pernah terjadi di bangsa Israel khususnya Bangsa Yehuda , semasa di pemerintahan Raja Hizkia. Dimana nabi Yesaya  hadir di tengah bangsa-bangsa itu. Jika kita lirik di Yesaya 1 ayat 1 tertulis bahwa Yesaya anaknya Amos hidup dalam masa 4 raja Yehuda, yakni Uzia, Yotam, Ahas dan terakhir Hizkia. Jadi kisah ancaman ini terjadi di masa raja terakhir dimana Yesaya hidup.

Uniknya lagi kisah ancaman ini, khusus dalam kitab Yesaya yang ditulis oleh Yesaya sendiri, hanya bagian ini yang merupakan kisah atau pengalaman yang dituliskan dalam kitabnya. Dari 66 Pasal yang ada, 4 pasalnya yakni di pasal 36-39, khusus mengisahkan tentang hidup raja Hizkia dan pengalamannya. Sementara 62 pasal yang lainnya, berisi tentang perkataan Tuhan langsung, baik berupa nubuatan, maupun janji-janji Tuhan bagi bangsa Israel maupun bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia. 

Kembali ke kisah Hizkia. Di empat pasal yang ada sangat menarik dan sangat mendalam makna yang akan boleh kita dapatkan. Ini adalah bagian pertama yang boleh saya tuliskan dan akan ada 3 bagian lagi. Lewat pembacaan firman Tuhan di pagi hari Rabu (27/5) menemukan rhema atau perkataan yang sangat pas terjadi dalam kehidupan kita juga. 

Yakni sebuah ancaman-ancaman yang kerap keluar dan kerap kita dengarkan dalam kehidupan kita. Bagaimana Hizkia dengan diwakili oleh 3 pembesarnya, Elyakim bin Hilkia (kepala Istana), Sebna (panitera negara) dan Yoah bin Asaf (bendahara negara). Dan jika kita kontekskan dalam sistem pemerintahan kita, ketiga orang ini adalah, Kepala Kantor Staf Kepresidenan yang dipimpin oleh Bapak Moeldoko, Menteri Sekretaris negara (Bapak Pratikno) dan Menteri Keuangan (Ibu Sri Mulyani).

Jadi ketiga orang ini mendengarkan secara langsung perkataan Raja Asyur (Sanherib) yang diwakili langsung oleh Juru Minuman agungnya yang namanya tidak tertulis. Apa bunyi ancaman yang ia keluarkan? Setidaknya ada 4 hal atau bagian yang boleh kita pelajari dari ancaman-ancaman tersebut.
Pertama, ancaman yang mematahkan harapan kita (ayat 4-6). Mematahkan bukan hanya tidak akan ada yang menolong kita dari sisi bangsa yang bisa menolong, bahkan menyatakan percuma untuk berharap kepada Tuhan atau kepada allah-allah asing. Sebab semua allah-allah asing itu mereka (bangsa Asyur) telah habis dibinasakan. “Dimanakah para allah negeri Hamat dan Arpad? Dimanakah para allah negeri  Sefarwaim? Apakah mereka telah melepaskan Samaria dari tanganku? (Ayat 19). 

Kedua, ancaman yang memanipulasi kita yakni menyatakan sesuatu yang bisa membuat kita goyah. Ayat 10, adakah di luar kehendak Tuhan aku maju melawan negeri ini untuk memusnahkannya? Tuhan telah berfiman kepadaku: Majulah menyerang negeri itu dan musnahkanlah itu!” Kemudian di ayat 7, menyatakan sedangkan Hizkia sendiri telah menjauhkan bukit-bukit pengorbananNya serta mezbah-mezbahNya, karena Allah seperti itu tidak sanggup menolong. 

Tapi benarkah kedatangannya atas perintah Tuhan? Benarkah Asyur datang untuk membinasakan bangsa Yehuda, seperti bangsa-bangsa lain yang sudah mereka hancurkan?
Ketiga, ancaman yang memojokkan dan melemahkan kita. (Ayat  11-12). Dimana saat ketiga perwakilan bangsa Yehuda itu meminta supaya juru minum agung itu bicara dengan bahasa Aram, dia langsung mengatakan perkataan sarkas yang menohok hati seluruh bangsa itu. Bukankah bangsa Yehuda telah memakan tahinya dan meminum kencingnya sendiri. 

Keempat, ancaman dengan solusi palsu (ayat 16). Jangan dengarkan Hizkia, sebab beginilah kata raja Asyur : Adakanlah perjanjian penyerahan dengan aku dan datanglah ke luar kepada ku, maka setiap orang dari padamu akan makan dari pohon anggurnya dan pohon aranya serta minum dari sumurnya, Ayat 17 sampai aku datang dan membawa kamu ke suatu negeri seperti negerimu, suatu negeri yang bergandum dan berair anggur, suatu negeri yang berorti dan berkebeun anggur. 

Empat aspek ancaman tersebut, akan serta merta langsung meruntuhkan hati kita. Jika kita tidak kuat, tentu seluruh bangsa Israel akan langsung rebah dan jatuh. Tapi uniknya sikap Raja Hizkia terhadap ancaman-ancaman yang datang itu, cukup dengan berdiam (ayat 21). “Jangan kamu menjawab dia!”.  Kemudian pergilah kepala istana, panitera negara dan bendahara negara itu pulang dengan mengoyakkan pakaian mereka datang kehadapan raja. 

Jadi untuk solusi sementara terhadap empat ancaman yang datang itu, sebelum masuk ke pembahasan selanjutnya, adalah cukup dengan beridam, tidak usah menjawab atau meladeni perkataan tersebut.
Bagaimana dengan konteks kekinian dengan situasi covid 19 yang sedang terjadi saat ini? Apakah covid 19 ini benar-benar menjadi ancaman bagi kita? Jika kita sendiri mengkategorikannya menjadi sebuah ancaman, tentu 4 aspek tersebut serta merta berlaku bagi kita. Covid akan mematahkan harapan kita, covid akan memanipulasi kita, covid akan memojokkan dan melemahkan kita, dan juga covid akan membuat kita bertindak gegabah. 

Tapi sikap yang benar adalah memandang covid bukan sebagai ancaman, tapi sebagai sebuah peluang atau kesempatan bagi kita  untuk bisa berbenah, untuk bisa hidup dengan konsep yang barusan dikeluarkan oleh pemerintah, yakni “the new normal”. Hidup berdamai dengan pandemi ini, tapi kita tidak mengabaikan pola-pola hidup yang bisa mencegahnya. Kemudian beraktivitas, seperti bekerja, bersekolah dan beribadah dengan pola hidup ‘New Normal’. Sampai vaksinnya bisa ketemu dan akhirnya kita bisa kembali seperti hidup yang semula, persis sebelum covid ada. 

Penulis adalah pemerhati masalah sosial kemasyarakatan dan pelayan di PESAT

Sabtu, 29 Februari 2020

Covid-19 dan Memilih Sebaru, Sang Pulau Pribadi?


 
Keberhasilan pemerintah untuk mengevakuasi para suspect virus korona yang oleh WHO menamakan virus tersebut dengan Covid-19, langsung dari Tiongkok kemarin dalam misi perdananya patut diapresi oleh kita semua. Mulai dari perencanaan seperti pemilihan tempat, hingga tim yang akan menjemput semuanya harus terkoordinasi dengan sangat baik sekali. Para petugas yang terlibat-pun semuanya harus benar-benar menjalakan SOP untuk memberikan layanan yang terbaik. Mulai dari TNI, Polri, BNPB, Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah harus matang-matang saat membuat keputusan. 

Kini misi observasi yang kedua bagi dua kapal pesiar yang terkena virus corona, dimana dalam dua kapal tersebut ada puluhan hingga ratusan warga negara Indonesia yang menjadi awak kapal pesiar tersebut. Yakni kapal pesiar World Dream sebanyak 188 jiwa sementara di Diamond Princes WNI ada sebanyak 68 orang.

Teknis penjemputannya seperti yang dimuat dalam situs Kemenkopmk.go.id (29/2/2020) terhadap dua krue ABK atau anak buah kapal dimasing-masing kapal pesiar tersebut-pun berbeda. WNI yang ada di Diamond Princes dijemput dengan kapal KRI Dr Suharso dan mereka sudah tiba hari ini, Sabtu (29/2/2020) siang sekitar pukul 13.00 WIB.

Sementara yang ada di kapal pesiar World Dream rencananya akan diungsikan dengan menggunakan pesawat. Dan akan segera cepat-cepat diungsikan ke pulau Sebaru. Adapun teknis penjemputan menggunakan pesawat kepada para awak ABK dari World Dream tentu akan mendarat di bandara besar yang ada di DKI Jakarta, sebagai pulau terdekat. Sebab akses pendaratan pesawat langsung ke Pulau Sebaru kecil tidak ada. Yang ada hanya pendaratan via heli di pulau Pantara, Kepulauan Seribu.
Sangat beda saat proses evakuasi waktu di Natuna lalu, dimana pesawat memang langsung ke pusat observasi di Lanud TNI AU. Pesawat tiba langsung dapatkan siraman gas disinfektan kepada para WNI yang sedang turun dari pesawat yang sudah dibooking oleh pemerintah.   

Mengapa Pulau Sebaru?


Pulau Sebaru kecil-pun telak menjadi perhatian kita bersama pasca ditetapkan pemerintah sebagai pusat observasi. Sebab dalam kalkulasi pemerintah tentu memperhatikan rakyat penghuni pulau tersebut. Memilih Sebaru karena dampak resikonya kemungkinannya jauh lebih kecil dan juga jauh lebih mudah untuk ditangani.

Berkaca dari pengalaman di Natuna kemarin sempat warga-pun menolak. Maka pemilihan pulau kosong menjadi pilihan tepat dan terbaik bagi penyalamatan warga Indonesia yang ter-suspect korona juga merupakan pelayanan terbaik bagi 260 juga warga Indonesia. Sebab jika terindikasi mereka positif terkena virus korona, maka proses untuk karantina pulau tersebut jauh lebih mudah dibandingkan dengan saat di Natuna kemarin. Tapi seandainya saat observasi di Natuna kemarin positif ada corona, maka tentu itu menjadi pintu masuk korona di Indonesia.

Mengulik Pulau Sebaru-pun sangat menarik sekali. Pasalnya mempertanyakan bagaimana kesiapan pulau tersebut bisa menerima WNI tersuspect korona? Bagaimana persiapan untuk segala macam fasilitasnnya, air, listrik, pelayanan kesehatan, hingga makanan yang akan mereka konsumsi, sementara pulaunya ternyata kosong? Tentu pemerintah tidak secepat China di dalam membangun fasilitas rumah sakit yang hanya dalam waktu hitungan hari.

Ternyata fasilitasnya sangat lengkap disana.Bahkan dinyatakan jauh lebih baik dari fasilitas sewaktu di Natuna. Dan bukan kebetulan saja fasilitas tersebut disiapkan. Dimana awalnya pulau tersebut sebagai pusat rehabilitasi para korban drugs atau pemakai narkoba. Dibangun persis di zaman pemerintahan Pak SBY di tahun 2008 lalu. Bersama-sama dengan BNN maupun sang pemilik pulau tersebut, yakni Tomy Winata, yang merupakan pemilik grup Artha Graha.

Pulau yang dimiliki secara privat tersebut oleh Tomy Winata. Menurut infonya bukan hanya Pulau Sebaru kecil, Pulau Pantara yang jaraknya sekitar 10 menit lewat laut dari Pulau Sebaru, juga merupakan kepunyaan beliau. Dimana oleh sang pemilik menjadikan pulau-pulau tersebut juga sebagai tempat training atau pusat pelatihan bagi karyawan Artha Graha disamping tempat sebagai objek wisata privat maupun sebagai tempat pusat rehabilitasi.

Dan pertanyaannya ada berapa banyak lagikah pulau-pulau lainnya yang mungkin dimiliki baik oleh sang pengusaha tersebut, maupun oleh para milioner asal Indonesia? Membeli pulau-pulau kosong sebagai kawasan untuk kepentingannya sendiri ataupun untuk pengembangan usahanya.

Jika kita melihat data dari Kementerian Koordinasi Kemaritiman dan Investasi yang dipimpin oleh Bapak Luhut Panjaitan, total pulau di Indonesia di tahun 2019 mencapai 17.491 pulau. Oeh data PBB baru terverifikasi sebanyak 16.671 pulau. Sementara secara administrasi khusus Kepulauan Seribu merupakan bagian dari DKI Jakarta yang kini punya pemerintahan kabupaten di dalamnya. Meskipun dikatakan pulau seribu total pulau-pulaunya hanya mencapai 342 pulau saja.

Mempertanyakan Pulau Pribadi?

Faktor kepemilikan secara pribadi tersebut sangat jelas terungkap Bapak Winata yang selalu didampingi oleh para bodyguard kekar, menyatakan bahwa pemakaian pulau tersebut tidak ada deal-deal untuk tujuan komersial bagi pemerintah. Artinya free secara pemakaian tempat di Pulau Sebaru kecil tersebut? Kemudian Beliau juga merasa senang dan mengucapkan terima kasih kepada pemerintah karena telah diberikan kesempatan berkontribusi bagi Indonesia.

Sehingga berdasarkan pernyataannya tersebut menimbulkan banyak tafsiran dalam kepemilikan pulau-pulau kecil tersebut. Dimana oleh UU kita, dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ini, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Sehingga pertanyaannya, bentuk kepemilikan yang dinyatakan oleh sang pengusaha raksasa tersebut dalam bentuk apa? Apakah total sebagai hak milik atau hanya sebagai hak pakai atau hak guna usaha?

Bagaimanakah kejelasan terhadap status-status kepemilikan pulau-pulau yang lain yang ada di Indonesia? Bagaimanakah isu tentang penjualan pulau ke asing beberapa waktu yang lalu yang sempat terdengar? Adakah banyak warga super kaya Indonesia  juga mengikuti jejak sang pemilik grup Artha Graha tersebut baik di Kepulauan Seribu maupun di pulau-pulau yang lain? Dan negara dalam hal penempatan WNI yang tersuspek korona dari dua kapal pesiar tersebut, mungkinkah status pemerintah sebagai peminjam?    

Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan pendidikan, juga sebagi pelayan di Yayasan PESAT


Jumat, 28 Februari 2020

Konsep Literasi dalam Merdeka Belajar

Kompas.id (15/2/2020)

Tati D Wardi
PhD dalam Literasi dan Sastra Anak Ohio State University; Peneliti SMRC; Dosen UIN Jakarta

Salah satu gebrakan Nadiem Makarim sebagai Mendikbud adalah Merdeka Belajar. Program ini menonjolkan ”literasi baca” sebagai fokus pengembangan sumber daya manusia Indonesia.

Konsep literasi baca di sini mengacu pada laporan PISA (Programme for International Assessment) sebagai ukuran tingkat literasi siswa. Sebelumnya, PISA memang menjadi rujukan kebijakan pendidikan kita, hanya tidak secara resmi.

Kebijakan Merdeka Belajar secara eksplisit mencantumkan PISA sebagai tolok ukur resmi sehingga menjadikan konsepsi literasi baca PISA sebagai acuan utama. Bagaimana bentuk konkret kebijakan pendidikan literasi baca dengan goal PISA?

Secara terminologi, literasi baca adalah kegiatan yang melibatkan keterampilan kognisi dan linguistik untuk tujuan tertentu. Ketika berhadapan dengan teks, seseorang akan menjalani rangkaian proses membaca dari memahami, menggunakan, mengevaluasi, hingga merefleksikan teks.
Proses akan berjalan otomatis bagi siswa yang terampil (high literacy). Bagi yang tidak, mereka akan terantuk di tahapan krusial membaca, yakni kemampuan evaluasi dan refleksi. Krusial karena untuk bisa mumpuni dalam dua kemampuan tersebut dibutuhkan proses pembelajaran terstruktur.

Terakhir, puncak literasi baca adalah ketika siswa suka pada kegiatan baca itu sendiri. Nilai kebaikan (value) dari kegiatan baca adalah siswa tahu kebutuhan apa yang bisa dipenuhi dengan kegiatan membaca (reading purpose): mencari informasi, hiburan, dan lain-lain.

Konsep literasi baca menumbuhkan potensi siswa untuk aktif berpartisipasi dan bersumbangsih di pelbagai bidang termasuk sosial ekonomi.

Literasi dan keterbatasan PISA memakai tiga komponen utama literasi baca untuk
menyusun pertanyaan tes, yakni pembaca, teks, dan konteks bacaan. Seperti tertulis di PISA 2018 Assessment and Literacy Framework, pertanyaan yang diajukan PISA berkisar pada upaya mencari tahu keterampilan siswa dalam mengolah ragam format teks dan tingkat kesulitannya (text complexity).

Juga keterampilan menavigasi pelbagai konteks bacaan, termasuk menelisik faktor pengalaman dan motivasi baca. Namun, ada kesan PISA lebih mengutamakan bacaan yang bersifat nonfiksi. Ini tecermin dalam pertanyaan terlampir di PISA 2018 yang mayoritas teks berjenis informasi/ nonfiksi. Seakan ada peminggiran peran penting teks fiksi untuk keterampilan baca siswa.

Peminggiran teks fiksi patut disayangkan. Peneliti Inggris, Jerrim dan Moss, baru-baru ini menelisik data PISA untuk melihat kaitan bacaan fiksi dengan keterampilan literasi baca remaja dari 35 negara maju. Ternyata tingkat skor PISA remaja yang membaca fiksi lebih tinggi dibandingkan yang tidak.

Perbedaan ini sangat mencolok terutama ketika dibandingkan skor PISA dan kaitannya dengan konsumsi teks dari genre dan format lain, seperti nonfiksi, majalah, komik, dan surat kabar. Kesukaan membaca fiksi berefek positif pada keterampilan literasi baca karena buku fiksi merupakan jenis tulisan yang melibatkan jalan cerita, narasi tokoh dan perspektif yang tidak tunggal, serta format tulisan panjang.

Pembaca teks fiksi membutuhkan kemampuan konsentrasi dan masuk dalam cerita (reading engagement) untuk bisa menikmati karya fiksi. Hal itu tak terjadi pada buku nonfiksi. Isu lain terkait literasi baca PISA adalah kecenderungan untuk lebih mengkhususkan diri pada wilayah kajian literasi baca (reading research), terbatas pada bidang kognisi dan psikologi saja. Hal ini tidak memadai karena akan gagap dalam menjelaskan perilaku literasi siswa dengan latar belakang sosiokultural ekonomi beragam.

Pada titik inilah, literasi baca dengan goal PISA perlu dilengkapi pendekatan lain, seperti etnografis dan teori kritis. Misalnya, studi etnografis Shirley Brice Heath yang mengamati literasi komunitas hitam di bagian Selatan Amerika, dalam buku klasik Ways with Words.

Juga pendekatan kritis semacam Paulo Freire (critical pedagogy) yang berguna untuk melihat bekal pengetahuan (funds of knowledge) yang siswa bawa ke sekolah. Untuk Indonesia yang multikultur, pendekatan etnografi dan kritis perlu agar penerapan literasi baca dengan goal PISA
ini jadi bermakna.

Siapkah guru Indonesia? Keberhasilan literasi baca mengandaikan persiapan guru
di perguruan tinggi. Belajar dari penelitian beberapa negara dengan tingkat literasi baca dan ekonomi tinggi, kita tahu bahwa negara tersebut sangat serius mempersiapkan guru literasi
baca yang kompeten.

Reading Research Handbook membahas tren struktur program literasi baca di fakultas keguruan. Semua calon guru harus mengambil mata kuliah wajib terkait literasi baca. Untuk calon guru tingkat dasar, kuliah literasi baca difokuskan pada fondasi baca (learn to read) dan mengaitkannya pada
bahasa tulisan (reading and writing connection) termasuk asesmen siswa. Mata kuliah buku anak juga penting untuk tingkat ini.

Sementara bagi calon guru tingkat menengah ke atas, mata kuliah literasi baca berfokus pada read to learn, yakni keterampilan baca diarahkan untuk memperluas pengetahuan akan ragam genre bacaan dan tulisan, dan mengaitkannya ke subyek pelajaran (content areas).

Pakar pendidikan guru dari Universitas Michigan State, Lynn Paine, dalam ceramah di Kemendikbud beberapa waktu lalu, mengingatkan, berbicara masalah kualitas guru, kita harus lebih dulu melihat kondisi dan kualitas dosen yang mengajar guru (teacher educator) dan lembaganya, seperti fakultas keguruan dan lembaga pelatihan guru (teacher education). Itulah yang mesti dimiliki fakultas keguruan Indonesia untuk mempersiapkan struktur dan spesifikasi guru literasi baca.

Rabu, 26 Februari 2020

Belajar Merdeka

Kompas 25/2/2020
Oleh :
Doni Koesoema A
Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan Periode 2019-2023

Merdeka Belajar adalah jargon Mendikbud Nadiem Makarim untuk mentransformasi pendidikan nasional. Sayangnya, jalan terjal perubahan tidak selalu semulus
yang diharapkan. Sebelum merdeka belajar, guru perlu belajar merdeka terlebih dahulu.

Dalam beberapa kali pertemuan, Nadiem selalu mengatakan, pengalaman perubahan
bisa dipastikan 99 persen merupakan pengalamantidak enak dan tidak nyaman. Maka, transformasi pendidikan yang dia
mulai pasti akan menuai kontroversi, penolakan, penentangan, dan menimbulkan semacam suasana kacau dan galau. Sangat tidak mudah mengubah mental para guru yang sudah terlalu lama tertindas. Diajak maju, malah inginnya ditindas. Begitulah kira-kira Nadiem menggambarkan situasi guru dalam masa transisi transformasi disrupsi pada saat jargon Merdeka Belajar digemakan.

Kepercayaan guru Merdeka Belajar asumsi utamanya adalah pemberian kepercayaan kepada guru. Persis di sinilah Nadiem perlu membuka wawasannya secara lebih luas. Para guru sebenarnya bukan takut pada kemerdekaan yang diberikan, tetapi sistem,
kebijakan, dan regulasi pendidikan selama ini alih-alih memberikan kepercayaan, justru menggerogoti dimensi fundamental pendidikan yang harusnya diberikan oleh negara kepada guru, yaitu kepercayaan. Tanpa kepercayaan kepada guru, pendidikan yang baik tidak akan mungkin terjadi. Tanpa kepercayaan, kreativitas dan
inovasi sulit terlahir.

Nadiem ingin meretas ini semua dengan jargon Merdeka Belajar. Hal ini diawali dengan kebijakan menghapuskan Ujian
Sekolah Berstandar Nasional (USBN) yang sekarang dikembalikan pada satuan pendidikan. Nadiem juga menghapus kebijakan Ujian Nasional (UN) yang selama ini telah menjadi kuk yang menindas leher para guru dan peserta didik. Apakah dua kebijakan ini sudah cukup mengembalikan kepercayaan guru? Ternyata tidak. Guru masih belum percaya bila diberi kebebasan dan kepercayaan. Hati mereka belum siap menerima perubahan yang jadi dasar bagi lahirnya inovasi dan kreasi.

Belajar merdeka adalah sebuah disposisi hati dan sikap untuk menghayati kebebasan dan kemerdekaan. Dengan disposisi ini, individu siap jadi individu yang mampu dipercaya.

Kepercayaan adalah spirit sebuah proses pendidikan. Tanpa kepercayaan, sia-sia semua usaha membentuk manusia. Karena dari kepercayaan demi kepercayaan seperti inilah individu belajar bertanggung ja-
wab.

Fenomena gagal memahami kemerdekaan belajar dapat kita lihat dari banyaknya pertanyaan yang dialamatkan ke Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) tentang dihapuskannya USBN lewat Permendikbud No 43 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ujian yang Diselenggarakan Satuan Pendidikan dan Ujian Nasional. Permendikbud yang menghapus USBN—meskipun sudah jelas
dari pasal-pasal yang ada bahwa ujian diselenggarakan oleh satuan pendidikan, yang berarti otonomi ada di sekolah dan guru—tetap saja melahirkan banyak pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan oleh sekolah dan guru sehingga Kemdikbud perlu mengirimkan Surat Edaran (SE) No 1 Tahun 2020 untuk mengklarifikasi persoalan seputar kebijakan Merdeka Belajar.

Fenomena lain adalah ketika Nadiem mengeluarkan SE tentang Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang memberikan kemerdekaan pada guru untuk mendesain persiapan mengajar cukup hanya satu halaman. Di media sosial
lantas beredar berbagai model RPP satu halaman, yang isinya ternyata sama saja dengan RPP panjang versi lama. Versi pendek hanya dipadat-padatkan semua unsur jadi satu halaman.Guru gagal memahami spirit dibalik RPP satu halaman. Guru gagal merdeka!

Belajar memaknai kemerdekaan adalah hal fundamental bagi lahirnya inovasi dan kreativitas yang kokoh dan otentik. Ketika para pelaku pendidikan memahami apa arti kemerdekaan bagi dirinya, barulah dia dapat meletakkan kemerdekaan ini dalam konteks pemelajaran. Tanpa mengalami dan memahami kemerdekaan, Merdeka Belajar akan diterjemahkan sebagai belajar sesuka-sukanya, semau-maunya. Ini eranya merdeka belajar, Bung!

Kultur teknis

Menghayati kebebasan tidaklah mudah, terutama bila individu sudah lama berada di bawah kungkungan dan belenggu rantai ketidakmerdekaan. Salah satu kultur yang selama ini membelenggu dan membuat para pelaku pendidikan seolah terpenjara sehingga gagal melahirkan kemerdekaan adalah budaya kultur teknis yang selama ini telah menjadi cara bertindak dalam mengelola pendidikan.

Kultur teknis merupakan sebuah sikap yang selalu bertanya tentang hal-hal praktis
semata terutama tentang ”bagaimana”-nya sebuah proses pendidikan (Albertus, 2015:17).

Sikap selalu menuju ke hal-hal praktis ini menjerumuskan pendidik dan guru menjadi semacam robot yang bekerja berdasarkan petunjuk teknis atau prosedur operasi standar yang merupakan ciri khas mesin.

Kultur teknis membahayakan dunia pendidikan karena guru bukanlah mesin. Ia bukanlah robot. Mesin dan robot tidak dapat mendidik siswa karena mereka tidak memiliki kebebasan dan kesadaran. Guru adalah manusia yang memiliki kebebasan dan kesadaran, dan justru karena memiliki kebebasan dan kesadaran inilah mereka mampu menjadi pendidik nilai dan pembentuk karakter bagi para peserta didik.

Kultur teknis membuat kinerja guru yang pada hakikatnya kinerja kreatif dan otonom menjadi kinerja mekanis dan robotik. Guru merasa baru bisa berjalan ketika ada petunjuk teknis, prosedur operasi standar, atau bimbingan teknis, yang semuanya telah ditetapkan di luar otonomi dan kewenangan guru. Dengan alat ini, guru tinggal menjalani, tanpa perlu pikir panjang. Tanpa adanya tuntutan prosedur ini,ia tak mampu bergerak, atau mengambil inisiatif. Bisa dibayangkan betapa bingungnya guru memaknai jargon Merdeka Belajar ketika mereka sendiri pun
masih belajar apa artinya jadi merdeka. Kemerdekaan memang menakutkan bagi mereka yang tak mampu menghayatinya.

Dalam konteks pengembangan guru, tentu persoalannya tak sederhana yang kita bayangkan. Seolah-olah, begitu ada jargon, otomatis semua berjalan layaknya angin segar perubahan. Padahal, sebaliknya, kemerdekaan itu begitu menyiksa. Mengapa?

Bagi yang belum pernah merasakan kemerdekaan sebagai guru, akan ada banyak pertanyaan yang muncul pastilah, apakah yang aku lakukan sudah benar? Kalau benar, di mana pedomannya untuk memastikan bahwa yang aku lakukan benar? Bagaimana bila kepala sekolah menegurku seperti biasanya selama ini? Kalau kepala sekolah tidak menegur, bagaimana dengan pengawas? Apakah pengawas tak akan menegurku? Apakah aku tak melanggar peraturan yang berlaku? Dan, masih banyak pertanyaan lagi yang menunjukkan kegalauan guru.

Transformasi ekosistem

Dari sini semakin jelas bahwa jargon Merdeka Belajar tak hidup di alam hampa. Ia baru bermakna dalam konteks karena para pelaku menafsirkannya sesuai dengan kebutuhan dan konteks hidupnya. Merdeka Belajar tak akan efektif tanpa transformasi keseluruhan dalam ekosistem pendidikan nasional yang melibatkan berbagai macam pemangku kepentingan. Karena itu, beberapa hal perlu dilakukan Nadiem sege-
ra.

Pertama, bagi beberapa guru, perubahan drastis itu menyakitkan. Maka, Nadiem perlu membangun jembatan yang menghubungkan antara kemerdekaan dan keterbatasan. Guru yang memiliki kemampuan sangat terbatas akan sangat frustrasi dengan besarnya kemerdekaan yang diberikan. Hal seperti ini sesuatu yang normal dan wajar. Bagi mereka, tetap dibutuhkan panduan-panduan kecil agar langkah perubahan mereka semakin terarah.

Kedua, ekosistem pendidikan berupa keseluruhan sistem yang terintegrasi dalam sistem pembelajaran, pengawasan, evaluasi, dan penilaian harus segera didesain dan disosialisasikan agar publik dapat mendukung arah perubahan yang
diinginkan Nadiem. Asesmen Kompetensi Minimal dan pengganti UN sampai sekarang masih jadi misteri bagi publik.

Ketiga, prinsip subsidiaritas perlu diterapkan. Prinsip ini berbicara tentang kewenangan. Apa yang bisa dan mampu di-
lakukan pada level lebih rendah tak perlu diintervensi oleh kekuasaan di atasnya. Ini berarti, bagi sekolah-sekolah dan para
guru yang sudah merdeka, pintu inovasi dan kreativitas harus dibuka. Jangan sampai sekolah justru mendapatkan pemaksaan baru akibat jargon Merdeka
Belajar. Kemampuan Nadiem mengorkestrasi pemda jadi penentu keberhasilan inovasi dan kreasi pendidikan di daerah.

Merdeka Belajar, meskipun sebuah jargon, ia hidup dalam konteks. Konteks inilah yang dihidupi para guru dalam mengekspresikan kebebasan, kemerdekaan, tanggung jawab,
L inovasi, dan kreasinya. Jargon Merdeka Belajar hanya akan jadi sekadar jargon saat ia gagal mempersiapkan ruang-ruang
bagi pemelajaran kemerdekaan.

Minggu, 23 Februari 2020

Asap-asap Itu Telah Menghilang

Cerpen by Rizqi Turama

Lebih dari dua puluh tahun lalu, di tengah sesak napas karena gas air mata, Basau jeri melihat kepala temannya bocor dihantam pentungan oleh petugas. Sang teman sempat bingung karena ada sesuatu yang menetes. Lalu mengerang dalam takut sekaligus sakit setelah sadar bahwa yang menetes berwarna merah dan berasal dari
kepalanya sendiri.

Wajah kesakitan serta teriak meminta am-
pun itu masih terekam dengan jelas di kepala Basau. Tersemai dengan sendirinya bersama setiap tetesan darah yang jatuh.
Saat itu semua keberanian yang dipupuk sejak berminggu-minggu sebelumnya perla-
han melemah. Lalu runtuh seutuhnya saat sang teman terus digebuk dan ditendang meskipun ia tak melawan sama sekali. Atau justru karena ia tak melawan?

Massa mulai berpencar. Tercerai-berai tak karuan arah. Sebagian merangsek maju. Melemparkan segala batu dan benda-benda lain ke arah petugas. Sebagian sisanya berlari mencari tempat sembunyi. Sempat
ada rasa bingung di hati Basau: menolong teman yang digebuki atau ikut yang lain untuk berlari. Basau tak tahu. Satu hal
yang ia tahu ketika itu: bahaya mengancam. Petugas-petugas yang lain menunjuk-nunjuk ke arahnya.

Sebisa mungkin Basau berlari. Sekencang-kencangnya. Beberapa kali ia terpeleset dan
terjerembab. Beruntung para aparat tertahan oleh banyaknya orang yang lintang pukang. Pelipis kiri Basau berdarah, kakinya luka, danrusuknya mungkin patah karena bertabraka dan terinjak-injak, tapi nasibnya lebih baik. Ia bisa selamat dan menjauh dari pusat kerusuhan.

Sebulan setelah kejadian tersebut, Basau mendapat kabar bahwa temannya di barisan depan menghilang, mungkin diculik. Sementara, petugas masih mencari teman-teman terdekatnya serta orang lain yang dicurigai. Tahu bahwa dirinya masuk dalam radar, Basau meninggalkan ibu kota. Pindah ke pulau seberang.

Bertahun-tahun setelahnya, Basau masih tinggal di tempat persembunyian. Di sebuah desa yang benar-benar jauh dari mana-mana, berbaur dan menjadi
bagian warga transmigran. Dalam masa-masa sulit, sering kali Basau menyesali diri. Menganggap bahwa kata-kata ayahnya
dulu benar belaka. Tapi darah muda mengguyurnya dengan amarah, membalas dengan berkata bahwa ayah terlalu naif
serta pengecut dan tak mau peduli pada nasib bangsa.

Memang pada akhirnya Basau mulai kerasan. Di tempatnya sembunyi ada banyak pohon. Udara sejuk. Waktu bisa
dinikmati dengan hanya bernapas. Betul. Ia tidak berlebihan. Karena bernapas di sana,
terutama saat matahari baru akan terbit, memberikan rasa lega yang luar biasa. Tak pernah bisa ia dapatkansaat dulu masih
tinggal di ibu kota. Bukan hanya itu, ia kemudian menikahi seorang gadis dan mendapatkan seorang anak. Sebuah penghiburan yang tak terbayangkan
menyenangkan.

Hanya saja, di momen-momen tertentu, misalnya ketika ia menganggap kunang-kunang di tepi hutan sawah serupa dengan lampu-lampu di jalan raya yang dulu akrab dengannya, Basau tak bisa tidak ingat dengan kehidupan lama. Tentu, selama
bertahun-tahun itu, ada keinginan Basau untuk kembali ke kota asalnya, tapi semua harus ditekan. Ia tak yakin teman-temannya masih di tempat yang sama. Jika pun ia bertemu dengan satu saja teman semasa masih muda dulu, ia tak bisa
membayangkan dirinya harus mengaku sebagai seorang yang begitu saja meninggalkan sesuatu yang pernah mereka sebut sebagai perjuangan para pemuda.

Tidak. Ia tak akan sanggup menceritakan kekalahannya. Kekalahannya di masa lalu
membuat Basau menutup rapat-rapat segala cerita yang terkait, bahkan dengan anak dan istri sendiri. Istrinya bisa mengerti. Tak banyak menuntut dan bertanya. Sebab mungkin ada luka yang masih menganga. Tapi tidak dengan sang anak. Ia tak pernah puas dengan hanya
mendapatkan jawaban berupa sebuah nama kota tempat ayahnya berasal. Ia ingin tahu lebih dari itu. Keingintahuan yang
tumbuh bersama dirinya. Dari hari ke hari. Dari tahun ke tahun. Hingga akhirnya menerbitkan sesuatu yang mendekati obsesi.

Basau sendiri menandai tumbuhnya obsesi sang anak muncul di saat yang sama dengan terbangunnya sebuah pabrik yang berjarak delapan kilometer dari rumahnya. Ia juga mendapati ada beberapa persama-
an antara anaknya dengan pabrik itu. Misalnya dalam hal keras kepala. Warga desa pernah melakukan protes ke berbagai pihak terkait, tapi rupanya bangunan itu tetap berdiri juga. Anak Basau sendiri
rupanya tak mau kalah. Selama proses pembangunan pabrik, ia berdiri di depan pagar proyek. Tak hendak beranjak. Sesuatu yang kemudian diikuti oleh warga lain dan mendapatkan sorotan.

Pembangunan pabrik sempat terhenti, tapi hanya sebentar sebab mereka telah mengantongi izin resmi. Sejak kejadian itu, anak Basau menemukan bahwa ada
hal yang tidak disukai dari ayahnya. Sebabnya jelas, Basau tak pernah mau ikut melakukan unjuk rasa dan hal yang sejenis. Bagi anak Basau, itu memalukan, naif, dan pengecut.

Saat sang anak beranjak remaja, Basau menemukan bahwa pemuda itu mulai gemar mengebulkan asap dari mulutnya: kesamaan kedua dengan pabrik tersebut. Bahkan, saat pihak pabrik kemudian melakukan pembakaran lahan untuk memperluas daerah perkebunan yang ada di bawah nama mereka–asap pembakaran begitu pekat–anak Basau tetap merasa perlu membeli batangan tembakau untuk
menambah variasi aroma asap.

Basau sendiri tidak melarang anaknya mengisap asap. Sebab ia dulu juga begitu. Ia berhenti sebab aroma tembakau mengingatkannya pada seorang teman yang menghilang diculik aparat. Dulu, temannya itulah satu-satunya orang yang
mampu mengimbangi Basau dalam hal mengisap dan mengebulkan asap. Hanya saja, asap yang dikebulkan oleh pabrik serta pembakaran lahan itu sudah berlebihan.

”Tak perlu kau tambahi lagi. Asap dari pabrik sudah cukup,” ucap Basau pada anaknya di suatu pagi.
“Kita selalu merasa cukup, Pak. Tapi pabrik itu tidak pernah. Aku cuma membiasakan
diri dengan asap. Lagi pula, asapku ini adalah asap perlawanan terhadap asap mereka.”

Basau tersenyum. Anaknya kurang ajar. Sama seperti dia di masa muda. Di hari anaknya pergi ke kota untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, Basau mendapati kenyataan baru. Ia kehilangan udara pagi yang begitu menyejukkan dan
menyenangkan sejak kedatangan pabrik. Ia juga kehilangan anaknya yang pergi ke kota tempat ia dulu berasal.

Anak itu, mungkin sama seperti pabrik, begitu obsesif. Anaknya obsesif membuka
masa lalu sang ayah. Pabrik di desa obsesif membuka lahan baru. Saat musim pembakaran lahan dan napas semakin sesak, Basau mendapatkan telepon
dari anaknya di kota.

”Aku sudah tahu ayah dulu tukang demo.” Kalimat itu dilontarkan sebagai pembuka
yang kemudian dilanjutkan dengan, ”Tenang, Yah. Nama ayah tidak busuk sebagai seorang pelarian seperti yang
ayah khawatirkan.” Basau hanya menjawabnya dengan terbatuk. Batuknya lebih keras saat sang anak melanjutkan, ”Teman ayah, ia juga lari sebagai buronan dan tidak diculik oleh aparat seperti kabar yang beredar.

Anaknya sekarang jadi temanku. Kami sama-sama sering maju aksi. Seperti kalian di masa muda.” Di saat itu, ketimbang pe-
nasaran dengan nasib temannya, Basau lebih ingin menceramahi anaknya. Menga-
takan bahwa ia harus menghindari kesalahan-kesalahannya di masa muda. Tapi ia tahu, hal itu hanya akan disangkal oleh si anak. Seperti ia dulu menyangkal ayahnya.

”Besok kami akan aksi lagi. Menuntut adanya aturan tentang pembakaran lahan oleh pabrik. Aku tahu asap di sana
sudah semakin parah. Batuk ayah juga makin payah.” Anak Basau mematikan
sambungan telepon.

Telepon berdering, tapi tak kunjung diangkat. Anak Basau terlalu sibuk. Matanya perih karena gas air mata. Tak hanya itu, ia merasa takut sekaligus sakit ketika sadar bahwa ada sesuatu yang menetes dari kepalanya. Sementara itu, di tempat lain, air menetes dari langit. Jatuh menghantam bumi. Satu per satu dalam ritme yang begitu cepat. Basau memegang
telepon genggam. Nada tunggu tak kunjung sampai pada ujung penantian.

Basau begitu ingin memberikan kabar pada anaknya. Bahwa hujan telah turun dengan begitu lebat. Setidaknya dalam dua jam terakhir. Meluruhkan asap-asap yang beberapa minggu terakhir tampak begitu berkuasa, menjadi seperti tanpa daya. Membuat udara sore jauh lebih bersahabat.

Di antara nada tunggu yang semakin membuat jemu, Basau tahu telah terjadi sesuatu. Televisi di rumah mengabarkan kerusuhan yang terjadi saat mahasiswa berunjuk rasa di ibu kota. Asap telah semakin tipis. Bahkan nyaris menghilang,
tapi dadanya justru terasa bertambah sesak. Matanya perih. Perih sekali. Ingatannya melayang pada kejadian dua puluh tahun lalu.

Rizqi Turama, lahir di Palembang, 4 April 1990. Dosen di Universitas Sriwijaya. Per-
nah mengikuti lokakarya cerpen Kompas tahun 2016. Salah satu cerpenis pilihan Kompas tahun 2018. Aktif di Sanggar EKS dan Komunitas Kota Kata Palembang.

Gambar ilustrasi by Joko Suharbowo

Jumat, 21 Februari 2020

Tantangan Merdeka Belajar

Kompas.id (21/2/2020)

Oleh Panut Mulyono
Rektor Universitas Gajah Mada


Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim telah menetapkan Empat Pokok Kebijakan Pendidikan ”Merdeka Belajar” (11/12/2019).

Empat kebijakan meliputi Ujian Sekolah Berstandar Nasional, Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru Zonasi. Khusus pendidikan tinggi, pada 24 Januari 2020 Mendikbud meluncurkan kebijakan Kampus Merdeka yang tertuang dalam lima permendikbud.

Menerjemahkan Permendikbud No 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi menjadi topik menarik untuk menemukan langkah implementasinya. Perguruan tinggi (PT) wajib memberikan hak bagi mahasiswa untuk sukarela boleh mengambil ataupun tidak satuan kredit semester (SKS) di luar kampusnya sebanyak dua semester atau setara 40 SKS. Mahasiswa juga dapat mengambil SKS di prodi lain di kampusnya sebanyak satu semester dari total semester yangharus ditempuh.

Kebijakan Kampus Merdeka memberikan ruang gerak seluas-luasnya bagi PT mengoptimalkan potensi dan karakteristik keunggulan akademiknya untuk dapat diaksesmahasiswa lintasPT. Maka inovasi, terobosan kreatif, dan penguatan bidang ilmu strategis akan menjadi modal untuk mengimplementasikan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka ini.

Pendidikan di PT dirancang untuk meningkatkan kualifikasi dan keahlian SDM dalam mengimbangi pesatnya perkembangan industri, yang digambarkan sebagai kebutuhan melakukan frog leap bahkan giant leap. Pendidikan tinggi dapat berperan sebagai arena awal belajar bekerja untuk memfasilitasi the emerging skills, emerging jobs, hingga the emerging problem solving. Maka, orientasi pendidikan tinggi membutuhkan perubahan fundamental, terutama kurikulum yang fleksibel bagi mahasiswa.

Kurikulum dirancang untuk menyediakan pendidikan yang mampu menjadi pemantik mahasiswa berkembang cepat dan tepat. Kurikulum harus memberikan ruang bagi mahasiswa memilih dan mengembangkan potensi dan kompetensi lewat berbagai ”menu” yang disajikan.

Revolusi industri generasi keempat (4.0) memiliki ciri pemanfaatan teknologi cerdas sebagai dasar pengembangan industri (smartisation). Integrasi antara cyberphysical system dan internet of things telah menghasilkan integrasi koneksi antara manusia, barang, dan mesin untuk menghasilkan barang dan jasa yang bersifat personal. Munculnya ekosistem baru ini telah mendorong transformasi dari konsep rumah, sekolah, pabrik, dan industri besar yang tadinya berdiri sendiri-sendiri menjadi konsep saling terkoneksi satu dengan lainnya oleh internet dan menjadi sebuah kesatuan sistem terintegrasi. Revolusi ini telah mengubah tuntutan perkembangan pendidikan untuk menyesuaikan diri dengan revolusi industri, maka muncullah Pendidikan 4.0 (Education 4.0).

Pendidikan 4.0 adalah sistem pendidikan yang mampu menghubungkan manusia, barang, dan mesin untuk menghasilkan model pembelajaran baru yang bersifat personal (personalised learning). Munculnya ekosistem baru di pendidikan ini telah mendorong perubahan strategi pendidikan di PT yang harus mampu menyediakan ekosistem dan model pembelajaran yang lebih terbuka, dinamis, saling terhubung lintas bidang, dan memberikan ruang seluas-luasnya bagi mahasiswa berekspresi, kreatif, dan bersinergi dalam menemukan inovasi dan pengetahuan baru.

Relaksasi kurikulum Kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka dapat diterjemahkan sebagai dorongan untuk melakukan relaksasi kurikulum guna memberikan ruang kepada mahasiswa dalam memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi tambahan, di luar kompetensi utama yang telah dirancang dalam kurikulum program studi. Kesempatan ini dapat difasilitasi dengan memberikan ruang pilihan mata kuliah lintas disiplin dan paparan kompetensi global sebagai wujud dari Merdeka Belajar.

Mata kuliah lintas disiplin dikembangkan melalui dua jalur, yaitu mata kuliah eksisting dalam kurikulum program studi yang dikembangkan dengan materi bermuatan pengetahuan lintas disiplin; dan mendorong munculnya berbagai mata kuliah baru yang dirancang oleh kolaborasi dosen lintas program studi, lintas departemen, lintas fakultas, hingga lintas perguruan tinggi.

Mahasiswa dapat melakukan ”belanja” mata kuliah lintas disiplin sesuai minat dan kebutuhan pengembangan kompetensinya. Proses ”belanja kompetensi” melalui mata kuliah lintas disiplin tersebut harus atashasil diskusi dan konsultasi antara mahasiswa dan dosen pembimbing akademik (DPA). Maka, peran DPA dalam proses pendampingan ini jadi sangat penting dan strategis.

Kebijakan Mendikbud juga dapat diimplementasikan dengan mendorong kurikulum memberikan ruang hingga maksimal 40 persen untuk mahasiswa memperoleh muatan pengetahuan, ke-
terampilan, dan kompetensi terkait: pengabdian kepada masyarakat; literasi data, literasi teknologi, literasi kewirausahaan, literasi kemanusiaan, literasi kesehatan; pengetahuan lintas disiplin; kompetensi global, kecakapan berpikir kritis dan pemecahan masalah, kecakapan berkomunikasi, kecakapan kreativitas dan inovasi, kecakapan kolaborasi; soft skills; kolaborasi keilmuan terkait science, technology, engineering, and mathematics (STEM) dan humanities, arts, and social sciences (HASS); dan pembangunan berkelanjutan (SDG’s). Muatan itu dapat diintegrasikan dalam mata kuliah wajib dan/atau mata kuliah pilihan, dan/atau kegiatan kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakuri-
kuler.

Muatan lintas disiplin yang disajikan sebagai mata kuliah dapat dilaksanakan lintas prodi, lintas fakultas/sekolah, lintas kluster, dan lintasPTdi dalam atau di luar negeri yang pelaksanaannya melibatkan alumni, praktisi, dan/atau para profesional sebagai dosen tamu.

Mekanisme penyelenggaraan mata kuliah lintas disiplin itu berpotensi memberikan peluang mahasiswa mewujudkan model pembelajaran berbasis personal. Saat ini, berbagai PT telah memiliki
learning management system (LMS) untuk mendukung proses pembelajaran dalam jaringan (daring). LMS yang dikembangkan itu menjadi pendukung proses integrasi antar-PT, termasuk yang dikembangkan Kemendikbud melalui SPADA dan ICE Institute. Bahkan, beberapa universitas besar telah mengembangkan LMS yang dirancang untuk mendukung pembelajaran melalui massive open online courses (MOOCs).

Pengembangan LMS memiliki beberapa kemanfaatan, antara lain memperluas akses konten pembelajaran, menjamin dan menyetarakan mutu konten, meningkatkan performa PT, meningkatkan
peluang kerja sama antar-PT, mengatasi keterbatasan SDM, fasilitas dan teknologi di PT mitra, mengembangkan proses transfer kredit dan transfer mata kuliah, media diseminasi pengetahuan ke masyarakat luas. Bagi mahasiswa, mengikuti pembelajaran daring akan bermanfaat untuk memperluas akses pendidikan yang lebih baik, membangun jejaring antarmahasiswa, meningkatkan rasa percaya diri, dan memperluas digital experiences dan digital horizon.

Pengelolaan atmosfer akademik dalam pembelajaran harus selalu mengikuti berbagai kebutuhan kekinian sebagai upaya meningkatkan keterikatan (engagement) dengan para mahasiswa post-millennial. Implementasi metode pembelajaran yang mengombinasikan tatap muka di kelas dengan tatap muka daring atau blended learning dapat menjadi alternatif metode pembelajaran
kekinian. Berbagai aplikasi pembelajaran interaktif daring yang tersedia bisa jadi pilihan menarik dalam implementasi blended learning. Pembelajaran daring bisa jadi salah satu strategi untuk menjawab kebutuhan akses pendidikan yang murah dan bermutu, berkontribusi dalam pemerataan kualitas pendidikan, dan memberikan peluang pembelajar sepanjang hayat (long life learning).

Kerja praktik dan pemagangan. Munculnya kebutuhan kompetensi global dan keterampilan khusus yang selalu berubah juga menuntut kurikulum pendidikan tinggi bersifat dinamis dan adaptif. Materi kompetensi global memiliki tujuan untuk menginspirasi dan memfasilitasi proses perolehan
pengalaman agar memiliki keterampilan dan kompetensi: berpikir kritis dan kreatif; adaptif dalam keberagaman; berkolaborasi; berkomunikasi lisan dan tertulis; penguasaan literasi informasi, media, dan teknologi; memproyeksikan diri di bidang keilmuan/profesional yang dipilih; membuat keputusan strategis; menumbuhkembangkan kepemimpinan dan sikap yang beretika; dan berpikir
kritis dan pemecahan masalah yang berjiwa kewirausahaan sosial.

PT dapat mendorong perolehan pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi itu melalui kerja praktik dan pemagangan dengan bobot 4-20 SKS yang diselenggarakan 1-6 bulan dengan melibatkan alumni, praktisi, dan profesional sebagai dosen pendamping. Guna meningkatkan ketepatan pencapaian
kompetensinya, silabus pelaksanaan program harus disusun bersama oleh pihak departemen/fakultas/sekolah dan pihak industri/usaha/profesional. Melalui kerja praktik, mahasiswa mendapatkan dapat manfaat tambahan, seperti penguatan keilmuan dan keterampilan, pengalaman kerja, kerja sama dalam tim lintas disiplin, kemampuan berkomunikasi, adaptasi dan interaksi, implementasi ilmu, kemampuan menempatkan diri dalam profesionalisme, dan peluang dapat pekerjaan sesuai.

Melalui program magang yang terstruktur, mahasiswa diharapkan dapat menghadapi tantangan untuk berkompetisi, mempertahankan dan mencapai posisi strategis di sebuah organisasi atau institusi, serta menerapkan pengetahuan dan profesionalisme di bidangnya dalam lingkungan kerja. Beberapa skema magang yang dapat dikembangkan antara lain magang untuk peningkatan keahlian; magang untuk terlibat dalam penelitian; magang untuk mendukung penyelesaian skripsi/tugas akhir; magang di perusahaan/ institusi dalam dan luar negeri, hingga model multiple internship yang menggabungkan beberapa model magang dalam satu periode waktu.

Banyak PT telah menerapkan program pembelajaran bersama masyarakat yang dikemas dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN). KKN dirancang dan diarahkan untuk meningkatkan empati dan kepedulian mahasiswa, melaksanakan terapan iptek secara teamwork dan interdisipliner, menanamkan nilai kepribadian (nasionalisme, jiwa Pancasila, keuletan, etos kerja dan tanggung jawab, kemandirian, kepemimpinan dan kewirausahaan), meningkatkan daya saing
nasional, menanamkan jiwa peneliti (eksploratif dan analisis, mendorong learning community dan learning society).

Mahasiswa KKN bersama masyarakat diharapkan mampu mengidentifikasi permasalahan di masyarakat dan mencari penyelesaiannya dengan memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya yang dimiliki (iptek, SDM, SDA).

Diharapkan masyarakat mampu berswadaya, berswakelola, dan berswadana dalam pembangunan dan selanjutnya memiliki kemandirian dalam memenuhi kebutuhan hidup atau membangun masyarakat secara berkelanjutan.

Program KKN juga penting didesain untuk mendorong tumbuh dan berkembangnyakerja sama berbagai pihak terkait sehingga bisa diwujudkan dalam pemecahan masalah yang komprehensif dan efisien lewat pendekatan integratif interdisipliner. Melalui KKN, dapat dibangun keterpaduan berbagai aspek, meliputi ekonomi, sosial budaya dan ekologi (lingkungan), dan dirancang secara terstruktur sehingga punya makna strategis bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, KKN akan memfasilitasi penemuan/pengembangan pengetahuan dan teknologi baru, menjadi wujud nyata pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan bagi civitas akademika dan masyarakat, dan sekaligus merupakan pengabdian perguruan tinggi dan mitra kerja yang lain kepada masyarakat.

Peluang dan tantangan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka penting direspons sebagai sebuah kesempatan untuk mengembangkan inovasi dan kreativitas dalam pengelolaan perguruan tinggi.

Rapor Merah Pendidikan

Kompas.id

Oleh Hafid Abbas
(Guru Besar FIP Universitas Negeri Jakarta; Profesor Tamu di Tsai Lecture Series, Harvard University 2006)
Kompas, 20/2/2020

Sungguh mengkhawatirkan. Dalam beberapa tahun terakhir terlihat tanda-tanda yang amat berbahaya bagi masa depan peradaban negeri ini, yakni kecenderungan-kecenderungan yang saling bertentangan dalam pengelolaan pendidikan nasional.

Pertama adalah paradoks kecenderungan semakin besarnya anggaran pendidikan di satu sisi dan semakin merosotnya mutu pendidikan kita di sisi lain. Sebagai contoh, pada APBN 2018, alokasi anggaran pendidikan mencapai Rp 444 triliun dan pada 2020 angka ini meningkat ke Rp 508
triliun. Di sisi lain, ranking PISA Indonesia turun dari urutan ke-65 (2015) menjadi ke-72 (2018) di antara 77 negara karena skor kemampuan membaca, matematika, dan sains anak-anak Indonesia terus menurun.

Data lain, Bank Dunia melaporkan,
kualitas pendidikan Indonesia masih
terendah di lingkup ASEAN, 55 persen
anak usia 15 tahun secara fungsional
buta huruf, dibandingkan Vietnam yang
kurang dari 10 persen (CNN, 7/6/2018).
Bahkan, berdasarkan tabel liga global
yang diterbitkan firma pendidikan Pearson (2012), sistem pendidikan Indonesia dinilai terburuk di dunia, dan yang terbaik Finlandia dan Korea Selatan.
Kedua, paradoks anggaran sertifikasi
guru yang terus meningkat, tetapi dam-
paknya pada peningkatan mutu pen-
didikan nasionalternyata belum terlihat.

Pada APBN 2017, sebagai contoh, anggarannya mencapai Rp 75,2 triliun, dan
pada tahun berikutnya naik ke angka Rp
79,6 triliun. Namun, publikasi Bank Dunia, ”Spending More or Spending Better:
Improving Education Financing in Indonesia” (2013), menunjukkan tidak terdapat dampak program sertifikasi guru
terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Yang berubah adalah perbaikan kesejahteraan guru yang ditandai dengan menurunnya jumlah guru yang kerja
rangkap secara drastis dari 33 persen
sebelum sertifikasi ke 7 persen sesudah
sertifikasi (halaman 73).

Ketiga adalah paradoks pengangkatan
sekitar 100.000 guru setiap tahun, tetapi
jumlah guru sudah amat surplus menurut standar internasional. Dengan sekitar 50 juta jumlah siswa pendidikan dasar dan menengah dengan 4 juta guru (Kemdikbud,20/12/2019), berarti setiap
guru hanya mengajar 12-13 siswa. Sementara rata-rata rasio internasional
sebanyak 20-21 siswa per guru. Jepang rasionya 27-28 siswa per guru (UNESCO
2017). Dengan menggunakan standar
internasional, Indonesia kelihatannya
sudah kelebihan sekitar 1,6 juta guru.

Selamatkan pendidikan nasional

Kecenderungan-kecenderungan yang
amat berbahaya ini mengingatkan saya
pada analogi Charles Handy dalam bukunya, The Age of Unreason (1995), yang
bercerita tentang katak yang dimasukkan dalam panci yang bersuhu normal.
Api dinyalakan dan panci itu dipanasi.
Pada awalnya, katak itu tak diganggu, ia kelihatan cukup puas dan rupanya lingkungan barunya cukup menyenangkan baginya. Lambat laun ketika suhu pun menaik mendekati titik didih, katak menunjukkan perubahan perilaku yang makin lama makin tidak tenang, tetapi dengan tercapainya derajat air mendidih, katak itu ikut terebus.

Eksperimen ini memberikan pelajaran
kepada kita suatu lonceng peringatan
karena tak mustahil kita sebagai bangsa
pada suatu hari kelak akan menyesal
selamanya apabila kita gagal menyelamatkan pendidikan nasional kita hari ini. Tentu tak ada jalan pintas (no shortcut) untuk segera keluar dari keterpurukan pendidikan kita hari ini. Namun, kelihatannya, induk masalahnya
berkisar di dua hal pokok ini.

Pertama adalah tidak diberlakukan
standardisasi pendidikan dengan seluruh aspeknya secara sungguh-sungguh.
Sebagai ilustrasi, beberapa waktu lalu,
saya berkunjung ke satu sekolah dasar di Bandung Barat. Sekolah ini memiliki 60
siswa, sebagian besar putri. Luas bangunan dan halaman sekolah terlihat tak
lebih dari 200 meter persegi. Ruang
belajar siswa kelas 1 dan kelas 2 hanya
disekat dengan dinding tripleks, sempit,
dan jika mereka mendapat pelajaran
secara bersamaan, suasananya akan ter-
ganggu. Untuk kelas 3 dan kelas 4,
tempatnya di ruang tamu rumah kepala sekolah yang berjarak hanya sekitar 30
meter dari sekolah dengan suasana belajar seperti kelas 1 dan 2. Adapun ruang
belajar kelas 5 dan 6 belum tersedia
karena sekolah ini baru berumur empat
tahun. Di sekolah ini tak terlihat ada
ruang guru dan perpustakaan, bahkan
tak ada halaman memadai yang memungkinkan anak bisa bermain.

Keadaan sekolah yang saya amati ini mengingatkan saya pada data yang
disampaikan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Mohammad Nuh (2012)
bahwa 88,8 persen sekolah di Indonesia,
mulai dari SD hingga SMA/SMK, belum
melewati mutu standar pelayanan minimal, 10,15 persen sudah memenuhi,
dan hanya 0,65 persen sekolah yang
dinilai bertaraf internasional.

Sekadar perbandingan, meski Singapura negaranya amat kecil, keadaan sekolah-sekolahnya umumnya punya halaman luas, bangunannya standar, lengkap dengan lapangan bola ataupun lapangan basket. Jendela ruang-ruang kelasnya berukuran besar-besar dan dirancang sedemikian rupa agar menghadap ke lapangan atau taman. Di depan kelas, koridornya juga lebar, ada taman untuk pelajaran sains, ruang multimedia, komputer, ruang dokter, psikolog, perpustakaan, kantin,
dan aula pertemuan. Di setiap kelas ada loker untuk masing-masing anak, jadi buku-buku pelajaran bisa disimpan di sana
jika tidak ingin buku-buku itu dibawa
pulang.

Keadaan di jenjang pendidikan tinggi
kelihatannya juga tak jauh berbeda dengan keadaan di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Di antara 4.715 institusi pendidikan tinggi di seluruh Tanah Air, ternyata hanya 96 yang mendapat akreditasi A (Kemristekdikti, 2019). Sebagai ilustrasi, ada satu universitas di kawasan Menteng, Jakarta, yang gedungnya sempit, hanya dua ruko yang disatukan, lingkungannya dipadati pedagang kaki lima. Ketika mampir di kampus ini, saya hanya menjumpai satu pegawai yang menangani semua urusan kampus. Ternyata universitas ini hanya
menampung mahasiswa kelas malam
yang pulang kerja. Tidak terkesan universitas ini memenuhi standar yang berorientasi pada mutu.
Di sinilah urgensi kehadiran pimpinan Kemdikbud untuk segera membina dan menertibkan sekolah-sekolah ini agar memenuhi standar. Sebaik kebijakan apa pun yang telah dan akan dicanangkan oleh Menteri Nadiem, jika tidak membenahi semua standar (kompetensi lulusan, isi, proses, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian) yang diperlukan, akan sulit diharapkan membuahkan hasil yang optimal. Bagaimana mungkin anak dapat menikmati suasana ”Merdeka Belajar” dan
”Kampus Merdeka” sesuai harapan
Menteri jika lingkungan belajarnya jauh
di bawah persyaratan minimal.

Pendidikan dan politik praktis

Kedua, sejak lebih satu dekade terakhir terdapat pergeseran arah kebijakan pengelolaan pendidikan secara keseluruhan, dari pendekatan teknis pro-
fesional ke kepentingan politik praktis,pencitraan, dan uji coba. Keadaan yang paling nyata terjadi di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, hingga tingkat sekolah sebagai unit birokrasi pendidikan terbawah. Bahkan, terkesan urusan pendidikan telah direduksi para elite di pusat dan daerah menjadi ”urusan kuitansi”. Dengan otonomi daerah, bupati/wali kota terpilih dengan bebas menempatkan orang-orang dekatnya yang telah dinilai berjasa atas kemenangannya di pilkada untuk mengisi
semua pos pendidikan. Ada daerah yang mempromosikan seseorang yang
mengurus urusan pasar ke urusan pendidikan, ada pula yang berasal dari urusan pemakaman ke dinas pendidikan.

Masuknya kepentingan politik praktis
ke ranah pendidikan mengingkari Konvensi UNESCO dan ILO (1966) yang merekomendasikan agar jabatan apa saja yang terkait urusan pendidikan
haruslah diprioritaskan pada urutan
pertama kepada guru yang sudah berpengalaman dan mengerti persoalan
pendidikan (alinea 43). Semestinya, semua posisi di urusan pendidikan, seperti
pengawas, kepala dinas, direktur, termasuk menteri pendidikan, staf khusus
atau jabatan apa saja yang terkait urusan
pendidikan, haruslah sesuai dengan rekomendasi dua badan PBB itu. Seperti
halnya di bidang kesehatan, semestinya
semua jabatan yang terkait urusan kesehatan, termasuk menteri kesehatan,
diprioritaskan pada mereka yang berpendidikan kedokteran dan yang berpengalaman di urusan kesehatan.

Semoga, dalam waktu dekat, negara
sungguh-sungguh hadir untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan sungguh-sungguh membebaskan dunia pendidikan dari permainan politik praktis
dengan sungguh-sungguh mengarahkan
semua kebijakan pendidikan untuk me-
ningkatkan standar pendidikan demi ke-
selamatan hari depan kita bersama.

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...