Senin, 30 April 2018

Swa-Inner Healing, Belajar Dari Pengalaman Daud, Untuk Kebaikan Diri dan Bangsa




Topik ini sebenarnya masih baru kubahas secara pribadi. Disamping pembahasannya juga pernah kubaca. Hanya karena aku kan mengisi untuk pembentukan karakter (PK) bagi mahasiwa yang selalu diadakan setiap hari Senin, maka diriku langsung bergumul dengan hal ini.

Minta hikmat Tuhan pada saat-saat melaksanakan puasa bersama dengan rekan-rekanku yang lain. Akhirnya diriku ketemu dengan nats tentang Daud yang akhirnya pernah berdosa. Bahkan dosa yang satu melahirkan dosa yang berikutnya.

Tentu tidak mudah bagi seorang Daud seorang raja yang besar dan terhormat di Israel, didalam mencoba memulilhkan dirinya. Bayangkan saja, ketika dia akhirnya menodai istri dari hambanya atau prajuritnya sendiri, dan akhirnya hamil. Kemudian berusaha untuk menutup-nutupi peristiwa itu, sampai akhirnya tiba pada rencana dan melakukan pembunuhan terhadap suami dari istri yang dinodai itu.

Dan tentunya bukanlah suatu hal yang kebetulan, bila kasus Daud ini dimuat di dalam Alkitab. Sebab memang Alkitab tidak melulu berisi hal-hal yang baik, hal-hal kesuksesan, bahkan mengenai kegagalan dan kejatuhan seorang anak manusia, hingga dosa yang tampaknya memalukan-pun hal itu ternyata dimuat juga.


Kemudian diriku tiba pada perikop saat dirinya (Daud) tampak melakukan pengakuan dosa. Di dalam Mazmur 51 jelas tercatat bahwa dirinya begitu gamblangnya bercerita kepada Tuhan Allahnya melalui doa dan mazmur.Bahkan hal ini menjadi sebuah lagu biduan yang terus menerus diajarkan dan dilagukan oleh Bangsa Israel.

Hal-hal inilah yang menjadi pon yang kusampaikan didalam melakukan swa-inner healing atau pemulihan batin.

Sebelum masuk ke poin-poin tersebut, mengapa begitu pentingnya bagi  kita di dalam proses penyembuhan luka-luka batin? Ataupun mungkin tak harus sampai terjadi luka batin. Mengapa kita harus perlu membershkan sampah-sampah pikiran yang terkadang selalu datang dalam kehidupan kita sehari-hari?

Yang pasti proses membuang sampah itu harus selalu dan bahkan setiap hari kita lakukan. Sebab kalau tidak, tentunya hal-hal itu akan semakin memperberat langkah-langkah hidup kita kedepannya. 

Sama seperti HP yang ternyata ada aplikasi auto pembersihan sampah di dalamnya. Dimana ketika memorinya sudah penuh dengan sampah, maka secara otomatis HP-nya memberi tanda ke kita untuk segera menghapus sampah itu.

Sampai tangan kita tidak mengklik tanda pembuangan sampah itu, bisa dipastikan sampah itu akan semakin menumpuk dan tentunya akan semakin memperberat proses jalannya HP itu kita pergunakan. Perlu jari-jari kita untuk segera mengklik dan selesai sudahlah masalah sampah itu.

Sama juga dengan kehidupan kita. Sampai tangan kita membuka, membaca dan merenungkan lembaran-lembaran perkataan Tuhan tersebut di dalam kitab-Nya, maka secara auto juga sampah-sampah yang membebani kita akan berkurang dan hilang. Jadi diperluan tindakan untuk bisa mengakses hal itu.

Di dalam Mazmur 51 tersebut, ternyata ada sejumlah poin-poin penting untuk kita di dalam melakukan proses swa-inner healing/swa-pemulihan batin.

Pertama, perlu untuk mengetahui dan mengakui bagaimana cara Tuhan bekerja dan memulihkan. Dimana dalam tahapan ini, ada empat langkah yang boleh kita lakukan. Yakni mengakui bahwa segala putusan maupun penghukuman yang akan didatangkannya itu adil bagi kita. Kemudian karena Tuhan itu kudus dan suci, maka sekecil apapun dosa kita, Tuhan tidak bisa melihatnya. Maka tak heran Daud berkata di ayat 11-nya, sembunyikanlah wajah-Mu terhadap dosaku.

Mengetahui apa yang dikenannya. Yakni Tuhan berkenan dengan kebenaran akan kebenaran di dalam hati. Serta Tuhan berkenan kepada korban yang benar (ay.21). Dimana korban yang benar/sembelihan  itu adalah jiwa yang hancur, hati yang patah dan remuk (ay.1 9). Sebab prinsip Allah adalah bahwa suatu dosa bisa ditahirkan kembali jika ada korban penghapus dosa yang dipersembahkan atau dicurahkan. Dan itu biasanya adalah domba, sapi, ataupun burung (untuk orang miskin).


Meskipun dosa kita memang sudah ditebus oleh Yesus (Isa Almasih) dengan darahnya sendiri, tidak menutup kemungkinana bahwa kita akan berhenti berbuat dosa. Makanya perlu jiwa yang hancur, hati yang patah dan remuk untuk datang kembali kepada Tuhan Allah kita. Dan itulah yang berkenan kepaanya.

Kedua, melakuan doa permohonan yang benar dan berkenan dihadapan-Nya secara langsung, supaya kita  bisa dipulihkan kembali. Dan hal yang perlu kita minta adalah, meminta supaya Tuhan mengajari/berbicara secara langsung di hati terdalam kita. Kemudian minta hati/batin yang dibaharui kembali (ay.12). Minta roh yang teguh, serta meminta kegirangan atau sukacita kita bisa kembali dipulihkan. Dan terakhir ketika melakukan dosa seperti Daud yang sampai menghilangkan nyawa, perlu meminta untuk melepaskan hutang darah (ay.16).

Selasa, 24 April 2018

Menuai Generasi Tangguh (Studi Kasus Terhadap Pola Eli dan Samuel)



Anak-anak yang dimiliki suatu bangsa akan menjadi penentu jadi apakah bangsa ini kedepannya. Apakah menjaidi bangsa yang besar karena memiliki generasi yang tangguh dan tentunya takut akan Tuhan? Atau hanya menjadi bangsa yang biasa-biasa saja tanpa memiliki harapan yang besar.

Ternyata hal itu bisa kita upayakan ketika kita bisa menuai generasi tangguh dalam keluarga kita masing-masing. Berikut hal boleh kita pelajari bersama dari kehidupan Eli dan Samuel bersama dengan anak-anaknya.

Banyak harapan baik yang pastinya akan selalu disampaikan oleh tiap orang tua kepada anaknya.Dengan harapan tersebut bisa terealisasi dalam hidup masing-masing anak tersebut.

Kemudian melihat pola hidup sang Ayah yang begitu sangat dihormati, takut akan Tuhan, bahkan menjadi orang nomor satu di Israel yakni menjadi hakim, tentu bisa dipastkan bahwa anak-anaknya akan tetap hidup dalam teladan baik ayahnya. Tapi kenyataannya berbeda.

Ada dua figur ayah dalam pembacaan firman kali ini di 1 Samuel , yakni figur Eli dan figur Samuel. Dimana masing-masing dari kedua figur tersebut gagal menjalankan fungsinya sebagai ayah. Yaitu fungsi untuk meletakkan karakter yang baik kepada anak-anak mereka.

Sebenarnya dari generasi Eli ke generasi Samuel ada 3 generasi. Apakah kegagalan Samuel dalam menjalankan fungsinya sebagai ayah tertransfer dari sikap Eli dalam memperlakukan anak-anaknya? Kok bisa anak-anak yang demikian yang seharusnya bisa meneruskan pelayanan sang Ayah tapi akhirnya ditolak oleh Tuhan dan juga oleh bangsa Israel sendiri.

Di dalam nats 1 Samuel 3, jelas bahwa masa-masa kecil Samuel ada dalam lingkungan keluarga Eli. Dimana Samuel sejak lepas susu dari Ibunya, ibunya akhirnya menyerahkan Samuel di hadapan Tuhan dan hidup dalam suasana keluarga Eli.

Tentunya Samuel kecil selalu melihat hidup dari anak-anak Eli yang setiap hari selalu curang dalam persembahan bangsa Israel yang setiap hari dipersembahkan oleh bangsa Israel. Dimana Hofni dan Pinehas, anak-anak Eli, yang selalu memandang dengan loba dan tidak menghormati sama sekali persembahan kepada Tuhan.

Apakah karena setiap hari Samuel kecil yang selalu menyaksikan sikap Hofni dan Pinehas yang curang dan tidak mencerminkan penghormatan kepada Tuhan dan juga sikap dari sang Ayah (Eli) yang tidak pernah menegor anak-anaknya, akhirnya secara tidak sengaja gaya kehidupan yang demikian akhirnya diteruskan oleh Samuel dewasa?

Padahal Tuhan berjanji kepada orang-orang yang diangkat-Nya, untuk menjadi imam kepercayaan-Nya, adalah orang yang hidup dan bertindak sesuai hati-Nya dan jiwa-Nya (heart and mind). Kepadanya Tuhan berjanji akan membangunkan baginya keturunan yang teguh setia. (1 Samuel 2:35).

Dan ayat tersebut ditujukan kepada Samuel sendiri. Ketika ada seorang Abdi Allah yang diutus Allah untuk menyatakan bahwa keluarga Eli akan berakhir dengan tragis. Eli dan kedua anaknya akan mati seketika. Keturunannya yang seharusnya bisa hidup selamanya dihadapan Tuhan, sekarang malah ditolak oleh Tuhan sendiri.

Apakah janji Tuhan itu gagal teralisasi? ketika nyatanya bahwa anak-anak Samuel pun terindikasi bukanlah orang-orang yang hidup sama seperti ayahnya sendiri. Mencerminkan karakter yang sama yang ditunjukkan baik oleh anak-anak Eli sendiri maupun anak-anak Samuel. Yakni kehidupan dari anak-anak mereka yang selalu mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan (1 Samuel 8:3).

Sehingga oleh masyarakat dan bangsa Israel akhirnya menolak anak-anak Samuel, Yoel dan Abia, untuk dijadikan hakim berikutnya oleh Samuel tua, papanya. Kemudian hal tersebut ternyata menjadi awal cikal bakal dari bangsa Israel untuk meminta seorang raja yang bisa memerintahkan bangsa Israel di kemudian hari.    

Anak-anak Eli ditolak Tuhan, sedangkan anak-anak Samuel ditolak oleh bangsa Israel. Karena memang kehidupan dan karakter dari masing-masing penerus tersebut tidak dan bahkan bertolak belakang dengan ayah mereka masing-masing.

Kenapa hal demikian bisa terjadi dalam kehidupan anak-anak mereka, yang merupakan generasi penerus mereka sendiri?

Mengkroscek kehidupan Eli sendiri.  Ternyata ayahnya pernah menegor kehidupan bejat dari anak-anaknya. Tetapi ternyata perkataan ayahnya tidaklah didengarkan oleh anak-anaknya, sebab ternyata Tuhan hendak mematikan mereka. (1 Sam 2:25).

Kemudian Eli yang sudah sangat tua tersebut, memiliki tubuh yang tambun, dan matanya yang hampir buta. Dengan kondisi yang demikian seakan-akan tidak berdaya untuk menegor anak-anaknya? Padahal tidak karena memang Eli sendirilah yang ternyata lebih menghormati anak-anaknya dibandingkan Tuhan.

Mengkroscek kehidupan Samuel. Samuel adalah seorang yang taat sejak masa kecilnya hingga pada masa tuanya. Bahkan tidak pernah meminta sepeserpun dari hasil pelayanan yang Samuel lakukan kepada bangsa Israel.

Apakah karena tidak pernah memanfaatkan sedikitpun sehingga anak-anaknya memandang hal tersebut menjadi semacam kesempatan bagi mereka dalam memanfaatkan pelayanan dari ayah mereka? Tapi apakah hal tersebut  tidak diketahui oleh Samuel sendiri. Dan ketika tiba saat untuk mengangkat anaknya menjadi hakim, akhirnya terkuak bahwa anak-anaknya tidak hidup seperti ayahnya hidup.

Dengan melihat kehidupan keluarga Eli maupun keluarga Samuel, apa yang boleh kita pelajari dan sikapi? Mungkin ada banyak pembelajaran yang bisa kita ambil dari peristiwa ini.

Mungkin hal pertama yang bisa kita pelajari adalah bahwa kebiasaan itu ternyata menular. Kebiasaan yang baik akan menghasilkan yang baik, demikian juga halnya kebiasaan yang buruk menghasilkan yang buruk.

Meskipun hal-hal jelek tersebut tidak langsung terjadi kepada Samuel, ternyata terjadi kepada kehidupan anak-anaknya.

Selanjutnya, teladan yang baik yang dicerminkan orang tua, tidak serta merta hal tersebut akan terjadi kepada anak-anak kita. Perlu pembiasaan yang baik dan terus menerus dilakukan oleh orang tua kepada si anak. Sehingga tiba saatnya si anak mengambil keputusan untuk mengikuti teladan baik dari si ayah. Dan hal tersebut terjadi bukan karena paksaan.

Kebiasaan jelek sewaktu kecil yang sering disaksikan dan dialami, hendaknya hal tersebut segera bisa kita bereskan. Sebab kalau tidak, entah disengaja ataupun tidak, kebiasaan jelek tersebut bisa saja terjadi kepada anak-anak kita.

Perhatikan, evaluasi dan bereskan dengan segera. Sehingga kita boleh menuai generasi-generasi tangguh yang akan bisa membuat perubahan bagi bangsa ini.
   

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...