![]() |
Tulisanku Terbit di Harian Analisa 17 Januari 2020 |
Bapak Presiden Jokowi beberapa
waktu yang lalu telah menyatakan bahwa Danau Toba adalah satu dari sepuluh Bali
baru yang akan ditargetkan oleh pemerintah pusat siap untuk dikerjakan. Bahkan
di akhir tahun 2020 Danau Toba sebagai Bali baru sudah akan di-launching. Dimana untuk penyiapan Danau
Toba sebagai objek wisatawan meskipun bukan kelas super premium seperti Labuan Bajo, Manggarai Barat, sudah
betul-betul matang disiapkan oleh pemerintah.
Salah satunya akses jalan
langsung jalan tol yang akan bisa menembus kawasan Danau Toba dari Medan.
Dimana sudah betul-betul memangkas waktu perjalanan dari Medan ke sana setelah
Medan-Tebing Tinggi sudah selesai dua tahun lalu. Kini tinggal meneruskan rute
Tebing Tinggi ke kawasan Bali baru tersebut. Dan pengerjaannya ditarget selesai
di tahun 2020 ini.
Tentu permasalahannya bukan hanya
terletak kepada pembangunan infrastruktur yang baik saja, pemerintah juga harus
menyiapkan banyak unsur lainnya, yang menarik para wisatawan untuk datang. Seperti
budaya khas, makanan khasnya hingga produk cenderamata khas yang harus dipersiapkan.
Terkhusus untuk penyelenggaraan
event-event budaya seperti halnya Festival Danau Toba (FDT) yang pelaksanaannya
ternyata sudah puluhan tahun. Berdasarkan data dari situs Kemenpar jelas
disebut bahwa Festival Danau Toba sudah ada sejak di tahun 1980. Dimana namanya
waktu itu masih disebut dengan Pesta Danau Toba.
Itu berarti pelaksanaan Festival
Danau Toba sudah berjalan atau sudah ada sejak 40 tahun yang lalu. Tapi
pertanyaannya evaluasi tentang pengadaan event tahunan ini benarkah sudah
berdampak bagi peningkatan kemakmuran warga Sumatera Utara itu sendiri? Apakah
selalu sama acara demi acara yang digelar tanpa adanya kejutan-kejutan
tersendiri setiap tahunnya yang mungkin harus dipertontonkan kepada para
pengunjung?
Kemudian jelas dalam web kemenpar
tersebut bahwa Festival Danau Toba merupakan event yang menggabungkan 3 unsur
sekaligus, yakni budaya, pariwisata dan olahraga. Artinya memang tidak melulu
hanya tertuju kepada pengembangan pariwisatanya. Festival danau toba juga
sangat berperan di dalam peningkatan dua bidang lain, yakni memajukan sekaligus
melestarikan budaya-budaya yang ada di Sumatera Utara juga prestasi olah raga
kita.
Artinya jika di tahun 2020 ini,
Bapak Gubernur Sumatera Utara mengaminkan rencana dari Kepala Dinas Pemprovsu,
Ria Telaumbanua yakni meniadakan Festival Danau Toba tersebut, bukankah telah
mengabaikan dua unsur lain selain unsur pariwisata tersebut?
Bahkan Bapak Edy juga menyebutkan
FDT tersebut kurang bermanfaat. Karena berkaca pada pengalaman di tahun lalu,
2019, perhelatan festival tersebut ternyata tidak berjalan sukses. Festival
Danau Toba yang direncanakan diadakan selama 4 hari pada 9-12 Desember lalu ternyata sepi
pengunjung.
Tapi pertanyanyaannya untuk
pengalaman kegagalan pelaksananaan event akbar tersebut, sudahkan dilakukan
evaluasi? Kenapa hal tersebut sampai bisa terjadi?
Tentu kegagalan tersebut tidak
terlepas dari kasus besar yang sedang menimpa warga Sumut, yakni wabah babi
yang menyebabkan banyaknya babi-babi warga yang mati mendadak. Akhirnya dikubur
massal. Kemudian terjadinya hampir merata di seluruh kabupaten dan kota yang
mengelilingi Danau Toba tersebut. Banyaknya babi yang mati telah membuat
ekonomi warga Sumut turun drastis.
Kedua, pelaksanaan FDT sangat
berdekatan dengan acara momen sakral orang-orang nasrani. Mengakibatkan tidak
bisa lagi konsentrasi baik untuk menyiapkan kebutuhan yang sangat besar baik
natalan maupun tahun baruan, apalagi untuk sekedar menyaksikan perhelatan
festival tersebut.
Akibatnya kebutuhan akan baju
baru, kue-kue untuk panganan, dan lainnya, warga Sumut lebih dominan untuk
menahan dulu. Seperti yang dialami oleh salah satu rekan saya, seorang penjual kue-kue kering. Dia bersama penjual
kue-kue musiman tersebut mengaku sangat mengeluh di akhir tahun lalu. Pendapatannya
merosot tajam, jualannya tak laku, akhirnya banting harga berharap modal bisa
balik.
Untuk alasan yang kedua tersebut
di atas, Kadis Pariwisata Pemprovsu hendak berencana menukar jadwal Festival
Danau Toba tersebut jatuh pada liburan anak sekolah pada bulan-bulan Juni
setiap tahunnya. Maka untuk penyiapan festival tersebut yang menurutnya sangat
singkat, yakni berkisar kurang lebih 6 bulan kedepan, dipandang tidak efektif
untuk penyelenggaraan FDT di tahun ini.
Oleh karena itu Gubernur dan
seluruh jajarannya sepakat ambil keputusan meniadakan Festival Danau Toba di
tahun 2020 dan akan kembali diadakan di tahun 2021. Rencana tersebutpun
menimbulkan banyak polemik dan kritikan dari warga Sumut. Salah satunya Togu
Simorangkir, pegiat literasi dari Yayasan Alusi Tao Toba, seperti yang dilansir
oleh Tribunnews.com (10/1/2020), menyatakan sangat menyayangkan keputusan
tersebut.
Pasalnya saat dirinya menginisiasi
festival babi waktu lalu tak butuh waktu yang lama dan biaya yang besar. Tapi
dampak dari festival yang ia buat pada Oktober 2019 lalu ternyata langsung
diliput banyak pihak, bukan hanya media dari dalam negeri, media luar negeri
juga sampai datang untuk meliput acara tersebut.
Festival tersebut memang
disamping sebagai model penolakan terhadap rencana wisata halal di Danau Toba,
juga di dalamnnya dikemas dengan acara literasi pengelolaan dan manajemen
ternak babi yang baik. Festival tersebut juga berdampak pada peningkatan warga
Muara, karena ternak mereka bisa dipastikan dibeli untuk pemenuhan rangkaian
acara demi acara yang digelar waktu lalu.
Kemudian kembali lagi kepada
pertanyaan judul di atas, haruskah meniadakan festival danau toba? Jika
ternyata dampaknya untuk tahun lalu tidak begitu berdampak, apakah memang
persiapan sudah betul-betul matang dikerjakan baik oleh pemerintah maupun
panitia? Sudahkah mengajak seluruh stakeholder yang ada dan tentu bukan hanya
mengajak pihak pemerintah yang ada di daerah-daerah yang ada di bawahnya, juga
seluruh budayawan, tokoh masyarakat dari berbagai daerah apakah sudah
dilibatkan kembali?
Sudahkah duduk bersama di dalam
membahas, apakah yang harus dibuat, kegiatannya apa-apa saja yang harus
dikerjakan? Atau mungkin tidak persiapan lagi karena berkaca pada
pengalaman-pengalaman dulu yang mungkin sudah biasa dikerjakan sehingga tak
perlu melakukan banyak persiapan lagi?
Bisa disimpulkan untuk peniadaan festival
danau toba ini adalah sebuah keputusan yang telalu cepat untuk diambil. Sebab
sesungguhnya ada banyak inovasi atau jalan keluar untuk meningkatkan jumlah
wisatawan datang ke Sumatera Utara. Dan jika festival danau toba ini
betul-betul dimatangkan acaranya tentu ini adalah bagian dari upaya kita
mengenalkan Danau Toba sebagai salah satu Bali baru yang akan bersinar dan maju
pesat. Dan jika sudah maju bukankah akan menambah perekonomian masyarakat
setempat?
Kemudian khusus untuk peningkatan
prestasi olah raga kita lewat festival danau toba, kenapa tidak membuat
pertandingan berjenjang dan dibuat kerjasamanya dengan pekan olah raga daerah
(porda) ataupun porwil? Bahkan untuk pekan olah raga di tingkat pelajar maupun
mahasiswa di tingkat Sumut tentunya akan bisa di-link-kan dengan FDT.
Dimana jika betul-betul ada
kerjasama yang matang antara dinas pariwisata dan dinas olah raga pemrprovsu
bukankah akan sangat meramaikan festival ini? Bahkan FDT bisa sebagai wadah
atau ajang yang siap untuk mengangkat prestasi-prestasi olah raga terbaik di
Sumatera Utara?
Penulis adalah pemerhati masalah
sosial dan staf pelayan di Yayasan PESAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar