Kamis, 22 Juni 2017

Sepeda Buat Arini



Sumber Gambar : sepedakeren.blogspot.co.id


       Siang itu aku berjalan menyusuri jalan-jalan di kampung Sumbul ini. Mencoba mencari disetiap jalan-jalan tersebut inci demi inci, ternyata tidaklah kutemukan. Hari itu meskipun hari siang tapi kondisinya sangat berkabut. Seolah-olah awan sedang menaungiku dan menyelimuti suasana hatiku yang sedang risau saat ini. Matahari malu-malu menunjukkan mukanya, dan udara kian terasa semakin menembus baju kemejaku yang mulai tampak lusuh. Sebab sejak tadi pagi aku langsung pergi mencari amplop yang telah diberikan kepadaku kemarin oleh seorang teman.
       Pertemuan kami kemarin mungkin suatu keajaiban. Sebab kami ternyata sudah hampir dua puluh tahun belum ketemu. Sejak kami menamatkan studi kami di bangku SMA dulu di Kota Suka Maju, Enno, temanku ini, sudah pergi melanjutkan studinya ke luar negeri. Dan sekarang dia sudah kembali bersama dengan suami dan kedua anaknya, Tiin dan Niin. Mereka kebetulan melewati kampung Sumbul, dan mobil mereka sedang keadaan pecah ban.
       “Eh, sepertinya saya pernah melihat kamu, Gor. Apakah kamu Tigor...mmm Tigor Parulian temanku waktu SMA Negeri 17 di Suka Maju?” kata Enno dengan penuh sidik.
      Aku yang sedang serius membuka ban mobil mereka yang sedang kempes, kemudian aku berdiri dan segera mencoba mengingat-ingat kembali muka yang mungkin pernah kutemui dulu. Dengan seksama kuperhatikan Ibu tersebut yang sedang berdiri pas di depanku, memakai kacamata dan baju gaun yang tampak mewah serta harum tersebut, “Ia, Bu..nama saya memang Tigor..tapi bukan Tigor Parulian melainkan Tigor Parsangap.” Kataku menjelaskan.
      “Ia betul, aku lupa Tigor Parsangap” kata Enno menimpali.
      “Oh, kamu ternyata No, maaf aku hampir lupa, dan hampir tidak mengenalimu lagi, maaf yah...No..sekali lagi. Kamu tampak berbeda kulihat.” Kataku.
       “Perkenalkan ini, suamiku, Andi, dan kedua anakku, Tiin dan Niin.”
       “Halo, senang berjumpa dengan kalian, maaf yah tanganku agak kotor, kubersihkan dulu sebentar”, kemudian aku menyalami mereka satu per satu.”Gimana kabarnya, tampak semakin sukses yah, memang tadi kalian baru dari mana dan mau kemana?” tanyaku dengan semangat.
      “Ini..sebenarnya kami tadi mau ke Puncak jalan-jalan, terus ini sudah mau pulang ke Suka Maju, eh..gak tahu ternyata tiba-tiba mobil kami mulai oleng, kemudian suamiku berkata, waduh ban kita bocor ni Mi. Kita harus berhenti memperbaikinya dulu. Eh tau taunya dirimu ternyata yang punya bengkel ini” Kata Enno menjelaskan.”Ternyata kita sudah lama yah gak ketemuan.”
       Kemudian, tiba-tiba datang istriku. “Perkenalkan, ini istriku, Tia namanya.” Akhirnya mereka bersalaman. “Hon..tolong ambilkan minum buat mereka dulu”
      “Gak usah repot-repot, Bu” kata Andi membalas.
      “Gak pa pa kok Bro, santai aja”, kataku.
      Kemudian istriku langsung masuk kedalam dan membawakan minum serta snack ringan seadanya. Akhirnya istriku balik lagi ke dalam membantu anakku yang sedang belajar mengerjakan PR-nya. Akupun langsung menyelesaikan tugasku untuk menambal bannya yang sedang bocor.
      “Sudah selesai.” Kataku dengan sigap setelah aku sudah memasang kembali bannya ke mobil.
      “Berapa  Gor?” kata Enno.
      “Gak usah, No, gak pa pa, Kamu kan teman lamaku, hari ini aku lagi senang sebab sudah bisa ketemu teman lama, bisa reunian disaat seperti ini.” kataku kepada mereka.
      Kemudian dengan sigap Enno, memasukkan sesuatu ke dalam saku bajuku. “Ini ada berkat, tak gak seberapa, semoga bisa berkenan menerimanya”. Merekapun siap-siap untuk melanjutkan perjanalannya lagi.
       Thanks ya No, thanks yang Bro, hati-hati di jalan yah” kataku ketika mereka sudah mau jalan.
       Itulah peristiwa kemarin yang tak terduga. Bisa ketemu dengan teman lama sewaktu SMA dulu. Setelah menerima amplopnya, aku meninggalkan bengkelku langsung pergi ke rumah Jujun, sahabatku, yang waktu itu sedang sakit keras. Dia sudah hampir dua bulan tidak bekerja lagi, dan sepertinya Bos-nya akan memecat dia. Kemudian dia cerita.
     “Gor, aku sangat sedih hari ini. Kamu tahu kenapa. Dua hari lagi, Arini akan ulang tahun. Sejak sepuluh bulan yang lalu aku, sudah menyisihkan rupiah demi rupiah yang aku terima dari bosku. Tapi, ternyata keadaannya beda sekarang. Semua impianku untuk bisa membeli sepeda, harus segera sirna. Uangnya sudah terpakai buat pengobatanku. Aku kayaknya menjadi orang tua yang gagal yah.” Kata Jujun dengan sangat sedih.
      “Semangat yah, kamu pasti sembuh kok. Tiada yang mustahil bagi Tuhan, semuanya akan baik-baik saja. Berdoa aja dan selalu perkatakan dalam dirimu, aku sembuh..aku sembuh..aku pasti sembuh.. perkatakan setiap hari. Sehingga ketika kamu memperkatakan hal itu, mungkin imanmu akan muncul, dan lahirlah keajaiban. Kalau melihat dirimu sekarang, tampaknya kamu sudah menyerah. Jangan putus harapan, Bro Jun. Tuhan akan memberi yang terbaik buatmu, juga buat istri dan anak-anakmu.” Kataku mencoba menghibur sahabatku ini.
      Sebenarnya, ketika aku mendengar curhat rekanku ini, kata hati kecilku berbicara, “ayo kamukan baru dapat amplop itu, kasih aja..ayo kasih aja. Mungkin dia lebih membutuhkan dibanding dirimu”. “Gak bisa, aku gak bisa” kataku dalam hati. Terjadi pertikaian yang sangat hebat dalam alam pikiranku. “Jun..aku ke kamar mandi sebentar yah.” Kataku kepada sahabatku ini.
      Sampai di kamar mandi, kucoba membuka ampp kawan tadi. Ternyata kutemukan uang merah seharga seratus ribuan, semua sebanyak sepuluh lembar. Wau..aku terkejut. Totalnya ada satu juta. ‘Terima kasih Tuhan, atas berkatmu ini,”kataku refleks bersyukur kepada Tuhan. Kemudian suara temanku Jun, yang tadi ketika aku berada di kamarnya, muncul lagi “Ayo berikan..ayo berikan, sahabatmu ini lebih membutuhkan dibanding dirimu”. “Tidak, beberapa hari yang lalu Cici anakku meminta supaya dibelikan sepeda baru buatnya. Kemudian aku berjanji akan membelikan sepeda, jikalau Cici bisa mendapatkan juara di kelas.”kataku kembali kepada diriku.
      Kemudian aku jumpai lagi sahabatku itu yang sedang terbaring. Dan aku juga langsung pamitan kepadanya setelah menghabiskan kopi yang telah Novi, istrinya,  suguhkan kepadaku. Aku buru-buru pulang ke rumahku. Karena hari sudah semakin gelap dan tampaknya mau turun hujan, dengan kencang dan berhati-hati kubawakan motorku.
       Sesampainya dirumah, aku langsung mandi untuk menyegarkan diriku, sebab di jalan mau pulang tadi diriku terkena hujan. Aku lupa dengan Amplop pemberian sahabatku, Enno, dan berpikir bahwa amplop tersebut masih ada di saku kemejaku.
       Selesai makan malam, Aku bertanya kepada anakku “Ci, seandainya ada orang yang lebih membutuhkan dibandingkan Cici, apakah Cici rela untuk memberikannya kepada orang tersebut?”
       “Tergantung Pah” kata Cici membalasku.
       “Tergantung apanya.” Tanyaku menyelidik.
       “Tergantung Cicilah..kalau Cici lagi baik hati, ya Cici beri..tapi kalau Cici lagi jahat, mana mau  Cici beri..Ogah.” Bebarapa saat kemudian, “Eh..he..he..Bercanda kok Pah. Pasti kalau memang dia ternyata memang lebih membutuhkan dibanding Cici, pasti Cici-kan beri kepadanya.” Kata Cici menjelaskan dengan gamblang kepadaku, sambil melihat senyumnya yang tulus kepadaku.
       “Terima kasih ya, sayang Papa. Sebenarnya, tadi siang Papa mendapatkan berkat dari Tante Enno, sahabat Papa dulu waktu SMA. Tante tersebut langsung tiba-tiba memberikan sebuah amplop putih ke saku Papa. Kemudian setelah Papa buka amplopnya, ada uang satu juta di dalamnya. Papa berencana mau membelikan kamu sepeda dengan uang itu. Kemarinkan Cici pernah ngomong ke Papa untuk belikan sepeda. Papa mau wujudkan keinginannya Cici, dan nanti kalau sudah dapat juara di kelas, baru Papa berikan.”
     “Kemudian, tadi, teman Papa, Om Jujun, dia sedang sakit hari ini, cerita ke Papa, bahwa dua hari lagi, Arini,  temanmu akan ulang tahun. Dia pengen sekali dibelikan sepeda. Om Jujun, ternyata sudah lama mengumpulkan uang untuk bisa membelikan sepeda. Eh, ternyata uangnya habis dibuat untuk beli obat. Jadi gagal deh, tuk beli Sepeda buat Arini.” Kataku dengan jelas ke Cici.
      “Terus, Papa mau tanya, apakah Cici rela untuk memberikan berkat yang dari Tante Enno tadi ke Arini?” tanyaku kepada anakku.
     Dengan sikap yang lugunya, dia berkata, “Gak pa pa kok, Pah. Cici rela kok mau berbagi buat Arini. Lagipula, dia kan sahabatnya Cici juga. Cici mau beri hadiah spesial buat ulang tahunnya dua hari lagi. Cici mau berikan sepeda buatnya.”
     “Terima kasih ya sayang, anak Papa ini, baik hati ternyata..mmmm..Papa bangga punya putri cantik seperti Cici, terus baik hati lagi.” Kataku menggoda anakku.
      Akhirnya kamipun tidur, dan esoknya aku terbangun. Mencoba melihat saku kemejaku yang kukenakan kemarin. Alangkah terkejutnya, aku..amplopnya tidak ada. Kemudian aku mencari di seluruh sudut-sudut rumahku, ternyata tidak kutemukan. Akhirnya aku keluar rumah untuk mencari-cari amplop tersebut. Kucoba mengingat-ingat kemana saja aku kemarin.
     Kemudian aku berjalan perlahan-lahan, menyusuri jalan-jalan di kampungku. Hasilnya nihil. Tidak kutemukan lagi amplop tersebut. Aku akhirnya memutuskan untuk pulang dengan rasa agak kecewa ke rumah. Tapi ditengah jalan, ternyata Novi, istrinya Jujun memperhatikanku yang sedang berputar-putar di jalanan desa Sumbul ini.
     Kemudian dia bertanya,”Bapak Tigor sedang cari apa?”
     “Oh, ini Bu Novi, sebenarnya aku sedang mencari-cari amplop putih kecil.Di dalamnya ada uang satu juta rupiah. Aku sudah bingung ini, mau cari kemana lagi.” kataku menjelaskan kepadanya.”Sudah dari tadi pagi sampai sekarang aku mencari-cari tapi tidak ketemu.
     “Oh, amplop putih kecil itu yah..Pak. Pas kebetulan ini, kemarinkan Bapak singgah kerumah saya, kemudian saya melihat di kamar mandi, ada amplop putih kecil, saya cek ternyata ada uangnya. Saya berpikir-pikir ini uang siapa yah. Sebab kemarin juga banyak tamu yang datang menjenguk Bapak. Saya bingung. Kemudian saya keliling-keliling kampung, coba tanya-tanya teman-teman Bapak yang datang kemarin. Satupun tidak ada yang merasa kehilangan. Kemudian saya perhatikan Bapak yang sedang bingung. Saya jumpai, eh..ternyata..Bapak yang kehilangan. Ini dia pak uangnya.” Kata Novi kepadaku sambil menyerahkan amplop tersebut.
     “Memang betul, kemarin aku sempat ke kamar mandi orang Ibu. Aku gak sadar mungkin terjatuh disana.”Terima kasih yah Bu Novi. Kataku kepadanya.
      Pulang sekolah, anakku Cici sudah sampai di rumah. Kemudian kubawa dia ke kota untuk membelikan sepeda untuk Arini. Dia memilih-milih kemudian dia merasa cocok dan senang dengan sepeda pilihannya, yang berwarna pink, ada tempat bagasinya di depan, lampu-lampunya tampak sangat cantik, juga tidak terlalu tinggi serta tempat duduknya yang sangat nyaman serta ada bangku untuk boncengannya.
     Tiba dihari ulang tahunnya Arini, kamipun pergi ke rumahnya. Menyerahkan hadiah kecil dari Cici kepada Arini. Aku melihat ternyata anakku, Cici sangat bersukacita melihat senyum merekah yang terpancar dari bibirnya Arini. “Terima kasih yah Ci, kamu sangat baik sekali, kamu memang sahabatku yang sejati.”
     Malam itu, merupakan malam yang terindah yang kurasakan bersama dengan anakku Cici,  Arini, anak sahabatku Jujun. Meskipun dalam keadaan sakit tapi tidak pernah menyerah dan terus berpengharapan bahwa sakitnya akan sembut. Dan malam itu juga, aku berkata dalam hatiku, “Nak, Papa pasti menepati janji papa kepadamu. Papa akan semakin bekerja keras untuk mengumpulkan sedikit demi sedikit berkat yang Papa terima. Doakan Papa yah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...