Jumat, 21 Februari 2020

Haruskah Meniadakan Festival Danau Toba?


Tulisanku Terbit di Harian Analisa 17 Januari 2020



Bapak Presiden Jokowi beberapa waktu yang lalu telah menyatakan bahwa Danau Toba adalah satu dari sepuluh Bali baru yang akan ditargetkan oleh pemerintah pusat siap untuk dikerjakan. Bahkan di akhir tahun 2020 Danau Toba sebagai Bali baru sudah akan di-launching. Dimana untuk penyiapan Danau Toba sebagai objek wisatawan meskipun bukan kelas super premium seperti  Labuan Bajo, Manggarai Barat, sudah betul-betul matang disiapkan oleh pemerintah.

Salah satunya akses jalan langsung jalan tol yang akan bisa menembus kawasan Danau Toba dari Medan. Dimana sudah betul-betul memangkas waktu perjalanan dari Medan ke sana setelah Medan-Tebing Tinggi sudah selesai dua tahun lalu. Kini tinggal meneruskan rute Tebing Tinggi ke kawasan Bali baru tersebut. Dan pengerjaannya ditarget selesai di tahun 2020 ini.

Tentu permasalahannya bukan hanya terletak kepada pembangunan infrastruktur yang baik saja, pemerintah juga harus menyiapkan banyak unsur lainnya, yang menarik para wisatawan untuk datang. Seperti budaya khas, makanan khasnya hingga produk cenderamata khas yang harus dipersiapkan.

Terkhusus untuk penyelenggaraan event-event budaya seperti halnya Festival Danau Toba (FDT) yang pelaksanaannya ternyata sudah puluhan tahun. Berdasarkan data dari situs Kemenpar jelas disebut bahwa Festival Danau Toba sudah ada sejak di tahun 1980. Dimana namanya waktu itu masih disebut dengan Pesta Danau Toba.

Itu berarti pelaksanaan Festival Danau Toba sudah berjalan atau sudah ada sejak 40 tahun yang lalu. Tapi pertanyaannya evaluasi tentang pengadaan event tahunan ini benarkah sudah berdampak bagi peningkatan kemakmuran warga Sumatera Utara itu sendiri? Apakah selalu sama acara demi acara yang digelar tanpa adanya kejutan-kejutan tersendiri setiap tahunnya yang mungkin harus dipertontonkan kepada para pengunjung?

Kemudian jelas dalam web kemenpar tersebut bahwa Festival Danau Toba merupakan event yang menggabungkan 3 unsur sekaligus, yakni budaya, pariwisata dan olahraga. Artinya memang tidak melulu hanya tertuju kepada pengembangan pariwisatanya. Festival danau toba juga sangat berperan di dalam peningkatan dua bidang lain, yakni memajukan sekaligus melestarikan budaya-budaya yang ada di Sumatera Utara juga prestasi olah raga kita.

Artinya jika di tahun 2020 ini, Bapak Gubernur Sumatera Utara mengaminkan rencana dari Kepala Dinas Pemprovsu, Ria Telaumbanua yakni meniadakan Festival Danau Toba tersebut, bukankah telah mengabaikan dua unsur lain selain unsur pariwisata tersebut?

Bahkan Bapak Edy juga menyebutkan FDT tersebut kurang bermanfaat. Karena berkaca pada pengalaman di tahun lalu, 2019, perhelatan festival tersebut ternyata tidak berjalan sukses. Festival Danau Toba yang direncanakan diadakan selama 4 hari  pada 9-12 Desember lalu ternyata sepi pengunjung.

Tapi pertanyanyaannya untuk pengalaman kegagalan pelaksananaan event akbar tersebut, sudahkan dilakukan evaluasi? Kenapa hal tersebut sampai bisa terjadi?

Tentu kegagalan tersebut tidak terlepas dari kasus besar yang sedang menimpa warga Sumut, yakni wabah babi yang menyebabkan banyaknya babi-babi warga yang mati mendadak. Akhirnya dikubur massal. Kemudian terjadinya hampir merata di seluruh kabupaten dan kota yang mengelilingi Danau Toba tersebut. Banyaknya babi yang mati telah membuat ekonomi warga Sumut turun drastis.

Kedua, pelaksanaan FDT sangat berdekatan dengan acara momen sakral orang-orang nasrani. Mengakibatkan tidak bisa lagi konsentrasi baik untuk menyiapkan kebutuhan yang sangat besar baik natalan maupun tahun baruan, apalagi untuk sekedar menyaksikan perhelatan festival tersebut.

Akibatnya kebutuhan akan baju baru, kue-kue untuk panganan, dan lainnya, warga Sumut lebih dominan untuk menahan dulu. Seperti yang dialami oleh salah satu rekan saya, seorang  penjual kue-kue kering. Dia bersama penjual kue-kue musiman tersebut mengaku sangat mengeluh di akhir tahun lalu. Pendapatannya merosot tajam, jualannya tak laku, akhirnya banting harga berharap modal bisa balik.

Untuk alasan yang kedua tersebut di atas, Kadis Pariwisata Pemprovsu hendak berencana menukar jadwal Festival Danau Toba tersebut jatuh pada liburan anak sekolah pada bulan-bulan Juni setiap tahunnya. Maka untuk penyiapan festival tersebut yang menurutnya sangat singkat, yakni berkisar kurang lebih 6 bulan kedepan, dipandang tidak efektif untuk penyelenggaraan FDT di tahun ini.

Oleh karena itu Gubernur dan seluruh jajarannya sepakat ambil keputusan meniadakan Festival Danau Toba di tahun 2020 dan akan kembali diadakan di tahun 2021. Rencana tersebutpun menimbulkan banyak polemik dan kritikan dari warga Sumut. Salah satunya Togu Simorangkir, pegiat literasi dari Yayasan Alusi Tao Toba, seperti yang dilansir oleh Tribunnews.com (10/1/2020), menyatakan sangat menyayangkan keputusan tersebut.

Pasalnya saat dirinya menginisiasi festival babi waktu lalu tak butuh waktu yang lama dan biaya yang besar. Tapi dampak dari festival yang ia buat pada Oktober 2019 lalu ternyata langsung diliput banyak pihak, bukan hanya media dari dalam negeri, media luar negeri juga sampai datang untuk meliput acara tersebut.

Festival tersebut memang disamping sebagai model penolakan terhadap rencana wisata halal di Danau Toba, juga di dalamnnya dikemas dengan acara literasi pengelolaan dan manajemen ternak babi yang baik. Festival tersebut juga berdampak pada peningkatan warga Muara, karena ternak mereka bisa dipastikan dibeli untuk pemenuhan rangkaian acara demi acara yang digelar waktu lalu.
Kemudian kembali lagi kepada pertanyaan judul di atas, haruskah meniadakan festival danau toba? Jika ternyata dampaknya untuk tahun lalu tidak begitu berdampak, apakah memang persiapan sudah betul-betul matang dikerjakan baik oleh pemerintah maupun panitia? Sudahkah mengajak seluruh stakeholder yang ada dan tentu bukan hanya mengajak pihak pemerintah yang ada di daerah-daerah yang ada di bawahnya, juga seluruh budayawan, tokoh masyarakat dari berbagai daerah apakah sudah dilibatkan kembali?

Sudahkah duduk bersama di dalam membahas, apakah yang harus dibuat, kegiatannya apa-apa saja yang harus dikerjakan? Atau mungkin tidak persiapan lagi karena berkaca pada pengalaman-pengalaman dulu yang mungkin sudah biasa dikerjakan sehingga tak perlu melakukan banyak persiapan lagi? 

Bisa disimpulkan untuk peniadaan festival danau toba ini adalah sebuah keputusan yang telalu cepat untuk diambil. Sebab sesungguhnya ada banyak inovasi atau jalan keluar untuk meningkatkan jumlah wisatawan datang ke Sumatera Utara. Dan jika festival danau toba ini betul-betul dimatangkan acaranya tentu ini adalah bagian dari upaya kita mengenalkan Danau Toba sebagai salah satu Bali baru yang akan bersinar dan maju pesat. Dan jika sudah maju bukankah akan menambah perekonomian masyarakat setempat?

Kemudian khusus untuk peningkatan prestasi olah raga kita lewat festival danau toba, kenapa tidak membuat pertandingan berjenjang dan dibuat kerjasamanya dengan pekan olah raga daerah (porda) ataupun porwil? Bahkan untuk pekan olah raga di tingkat pelajar maupun mahasiswa di tingkat Sumut tentunya akan bisa di-link-kan dengan FDT.

Dimana jika betul-betul ada kerjasama yang matang antara dinas pariwisata dan dinas olah raga pemrprovsu bukankah akan sangat meramaikan festival ini? Bahkan FDT bisa sebagai wadah atau ajang yang siap untuk mengangkat prestasi-prestasi olah raga terbaik di Sumatera Utara?
 
Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan staf pelayan di Yayasan PESAT  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...