Minggu, 09 September 2018

Menggali Pendidikan yang Berbasis Kekayaan Indonesia


 
Diri ini sangat tergugah dengan catatan seorang Ki Suwarjono dalam artikelnya pada kompas (4/9/2018), betapa pendidikan nasional kita masih rasa kolonial. Dimana tulisan ini sebenarnya sangat menohok kita sebagai orang yang selalu berkecimpung dalam dunia pendidikan. Para guru, anak didik dan orang tua, ternyata kita masih selalu memakai apa yang menjadi peninggalan kolonial bagi kita.

Dimana kurikulum kita yang sekarang berbasis kompetensi ternyata dasarnya mengacu kepada taksonomi bloom. Ketiga aspek kompetensi dalam kurikulum kita, baik kognitif, afektif dan psikomotorik selalu memakai takaran operasionalnya seperti yang diuraikan dalam taksonomi bloom. Dan kita sepertinya tidak atau belum lepas dari uraian operasional ataupun takaran pencapaian yang sudah diperoleh oleh murid-murid kita.

Padahal kita sebenarnya sudah memiliki pemikir pendidik sekelas Benyamin Samuel Bloom, yakni Ki Hajar Dewantara. Dimana kompetensi yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara, mencakup tiga hal yakni, cipta, rasa, dan karsa. Dan dengan pendekatan pendidikan yang didasarkan kepada tri nga (ngarti, ngrasa, dan nglakoni). Yaitu sianak diajak untuk mengerti terlebih dahulu, kemudian merasakan dan akhirnya bisa melakukan.

Dimana pendekatan pembelajaran yang demikian jauh lebih sesuai dengan sosiologi budaya kita dibandingkan dengan pengalaman pembelajaran yang sudah diamanatkan dalam K-13 kita yang sekarang, yakni mengamati, menanya, eksperimen, mengolah informasi, dan mengkomunikasikan. Yang jauh lebih sekedar prosedural dibandingkan dengan mendapatkan esensi yang sesungguhnya di dalam pelaksanaan sistem pendidikan kita.

Bahkan sebenarnya beliau sudah memberikan petunjuk bagi pengembangan pendidikan kita yang bisa jauh lebih baik. Yakni dengan tiga semboyannya ymang sangat terkenal. “Ing ngarso sung tulodo”, “Ing madyo mangun karso”, “ Tut wuri handayani”. Yang artinya secara berurutan, di depan guru menjadi teladan atau contoh, di tengah guru sebagai pembimbing, di belakang guru sebagai motivator.

Ketika ketiga pendekatan tersebut dilakukan oleh seorang guru, si anak bisa melihat contoh langsung dari si guru. Kemudian si anak  bisa merasakan bagaimana bimbingan demi bimbingan, supaya si anak bisa melakukan bersama dengan guru. Dan akhirnya ketika si anak sudah bisa melakukannya sendiri, si guru tinggal melepaskannya sehingga mandiri. Tugas guru selanjutnya pasti tinggal memberikan motivasi saja.

Maka proses pembelajaran yang demikian jauh lebih sesuai dengan kultural bangsa kita. Bahkan perubahan si anak jauh lebih berkembang ketimbang dengan tahapan prosedural yang sangat saintik yang telah kita terapkan selama ini yang kembali muasalnya selalu mengarah ke tahapan taksonomy bloom.

Selanjutnya tahapan pencapaian kompetensi pendidikan seperti si anak bisa ber-karsa alias punya kehendak sendiri, atas apa yang akan dilakukannya. Kemudian punya rasa sehingga bisa merasakan tahapan pencapaian yang sedang dikerjakannya yang sesuai dengan minat dan bakatnya, sehingga akhirnya bisa mencipta.

Tulisan ini juga bukan bermaksud untuk anti terhadap penerapan taksonomy Bloom, tapi karena konteks Benyamin Bloom di dalam menemukan dan merumuskan apa yang dia temukan, tentu berdasarkan keseharian pengamatannya di dalam meneliti dan melihat langsung konteks lingkungannya, yakni kebudayaan barat. Yang tentu kebudayaan maupun sosiologi ketimuran tentu berbeda dengan apa yang dimiliki oleh orang barat.

Mengapa kita tidak mengembangkan apa yang sudah kita miliki saat ini. Apa yang sudah digagas oleh pemikir pendidik dan pendahulu kita sebenarnya jauh lebih bermartabat dan tentu berdasarkan kehidupan dan lingkungan kita sehari-hari.

Mengapa kita harus lebih banyak berinvestasi untuk sesuatu yang bukan merupakan lahir dari kekayaan bangsa kita, dan lebih banyak berinvestasi untuk pengembangan teori luar yang belum tentu cocok dengan kita?

Apa Tindakan Kita Selanjutnya?

Kita itu sebenarnya sangat kaya. Bukan hanya kaya dengan kekayaan alamnya, tapi kita juga sangat kaya dengan budaya yang begitu beragamnya. Tentunya pasti mengandung kearifan lokal yang begitu kaya muatannya dengan filosofi pemikiran para nenek moyang kita.Mengapa kita tidak berinvestasi untuk menggali kekayaan kebudayaan kita tersebut?

Mengapresiasi langkah kemendikbud kita yang sekarang ini. Yang telah mencoba dan memerintahkan setiap pemerintah daerah untuk bisa menyusun kajian yang mendalam akan kebudayaan lokal dari masing-masing daerah. Meskipun belum seluruh daerah bisa menyelesaikan kajian kebudayaan lokal tersebut untuk diserahkan ke kemendikbud.

Tapi langkah ini tentu akan menjadi sebuah dasar atau pondasi bagi kita untuk bisa meningkatkan mutu pendidikan kita. Kita sebagai pendidik, penggiat pendidikan ataupun sebagai peneliti dan tentunya juga pemerintah harus berpartisipasi aktif di dalam melakukan pengembangan ini. Dengan melakukan penelitian yang lebih lanjut maka bisa dipastikan kualitas dari pendidikan kita akan berbasis kekayaan lokal kita sendiri.

Mari kita segera berbenah untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan kita yang sekarang ternyata nilai ataupun karakter kebangsaan kita seakan-akan luntur. Dimana kita begitu mudahnya terpecah. Ditambah lagi paham ekstrim yang sedang digeliatkan oleh orang-orang tertentu untuk memasukkan paham mereka sehingga menjauhkan kita dari rasa kesatuan dan kecintaan kepada bangsa Indonesia yang hebat ini.

Maka langkah ini harus menjadi sebuah keharusan bagi kita di dalam menyelsaikan permasalahan pendidikan yang sudah di depan mata kita.

Penulis adalah penggiat sosial dan pemerhati pendidikan serta pengajar di STAK Terpadu PESAT.
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...