Ternyata segala sesuatu kita
punyai di dunia. Dan ketika segala sesuatu kita punyai, maka masihkah kita
pantas untuk bermegah atau menyombongkan diri? Hal itu tertulis jelas di dalam
surat Paulus Pertama ke Jemaat di Korintus pasal 3 ayat 21-23.
Karena itu jangalah ada orang yang memegahkan dirinya atas manusia,
sebab segala sesuatu adala milikmu. Baik Paulus, Apolos,maupun Kefas, baik
dunia, hidup maupun mati, baik waktu sekarang, maupun waktu yang akan datang.
Semuanya kamu punya.
Tetapi satu yang penting,
disamping apa yang kita punyai, ternyata kita adalah milik Kristus dan Kristus
adalah milik Allah. Kemudian jelas dikatakan bahwa kita adalah ladangnya Allah,
bangunannya Allah, baitnya Allah sebab
Roh-nya Allah diam di dalam kita. Dan
itu-pun berdasarkan Firman Allah yang sudah tertulis, :
Aku akan diam bersama-sama dengan
mereka dan hidup di tengah-tengah mereka,
dan Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku (Im
26:12, Yeh 37:27, 1 Kor 3:16, 6:19, 2 Kor 6:16).
Tapi bagaimana Kerajaan Allah
bisa hadir di dunia? Jika kita sebagai kawan sekerjanya Allah dan status kita
memang demikian, ternyata kita bukan orang yang dapat dipercayai dan bukan
hanya sekedar orang yang dapat dipercaya?
Sebab ternyata makna dua sebutan
ini menjadi sangat beda hanya karena ada akhiran-‘i’ dibelakangnya. Dimana
maknanya jika hanya sekedar dipercaya,
intensitasnya mungkin hanya sekali. Sedangkan jika ada akhiran-i dibelakangnya,
maknanya bisa berulang, berkali-kali dan ada suatu perasaan yang begitu sangat
yakinnya pasti dimiliki oleh orang tersebut dan sangat teruji.
Berharap supaya pemandangan orang
ke kita yakni sebagai hamba-hamba Kristus, dimana Allah bisa terus
mempercayakan kita rahasia-rahasia-Nya Allah. Dan ujungnya-ujungnya kita
akhirnya betul dikenal sebagai orang-orang yang dapat dipercayai.
Ternyata berdasarkan pemahamannya
Paulus yang sudah dicerahkan dengan kuasa Kristus, mendapatkan sebuah
pengertian bahwa sangatlah berbeda fungsi dan tanggung jawabnya diantara
statusnya sebagai pendidik, sebagai anak dan sebagai bapa.
Dimana kita bisa banyak atau
punya beribu-ribu pendidik di dalam Kristus. Tetapi hanya satu saja status
sebagai seorang bapa yang kita punyai pada masing-masing kita. Yakni seorang
bapa, dimana kita boleh pertama sekali dikenalkan kepada Injil, sehingga kita
akhirnya bisa percaya kepada sang dasar yang paling utama di dalam kehidupan
kita, yaitu Kristus, Yesus.
Dan kita sebagai rekan sekerjanya
Allah punya dua kesempatan untuk membangun di atas dasar yang benar tersebut,
yaitu Kristus. Apakah kita membangun dasar iman tersebut dengan emas, perak dan
batu permata? Atau malah membangunnya dengan kayu, rumput kering atau jerami?
Jika ternyata kita lebih memilih
membangun dasar bangunan tersebut, dimana kita sejatinya adalah bangunannya
Allah ataupun ladangnya Allah, dengan kayu, rumput kering dan jerami, maka
sesungguhnya kita sedang mempersiapkan sebuah kerugian besar di masa ketika
Tuhan akan menguji pekerjaan kita tersebut.
Tapi jika kita lebih memilih
membangunnya dengan emas, perak ataupun batu permata, maka seperti apa kata
Firman, kita akan mendapatkan upah yang besar, atas kesetiaan kita tersebut. Sebab
emas, perak ataupun batu permata tahan terhadap pemanggangan api. Sedangkan
kayu, apalagi rumput kering dan jerami tentu akan langsung terbakar.
Kemudian sebagai penanam, penyiang, ataupun penyiram, ternyata
kita punya kedudukan yang sama di mata-Nya. Yang bisa membedakan kita, apakah
pekerjaan kita akan terbakar atau tidak? Dan Tuhan betul akan menguji semua pekerjaan
kita tersebut lewat api.
Menjadi pendidik, anak atau bapa?
Ketiga hal ini sama-sama penting
di dalam menghadirkan kerajaan Allah di dunia ini. Dan juga bukan bermaksud
membandingkan dan menempatkan posisi yang satu lebih tinggi dari yang lain.Tapi
lebih untuk memilih dan menekankan bahwa sungguh jauh lebih berharga untuk
menjadi seorang bapa.
Sebab kita menjadi satu-satunya
bapa di dunia yang akan tetap disebut dan diakui oleh Allah Bapa di surga atas
anak-anak yang kita hasilkan lewat injil yang kita sampaikan kepadanya. Dimana
dia akhirnya berubah dan memilih Yesus sebagai Tuhan dan juru selamatnya.
Bukankah tertulis bahwa Injil
adalah kekuatan Allah untuk menyelamatkan dunia? Dan Injil menjadi satu-satunya
jalan bagi dunia ini untuk bisa menghadirkan Kerajaan Allah nyata adanya di
dunia ini.
Peran kedua yang juga sungguh
merupakan kesempatan berharga, ketika kita bisa berperan sebagai seorang anak. Dimana ketika Paulus sudah mencoba menanamkan Injil tersebut
tertanam bagi jemaat di Korintus, dia tidak serta merta meninggalkan jemaat
tersebut sendirian.
Paulus sebagai bapa, segera
mengirimkan anak-nya, Timotius. Anaknya yang kekasih dan setia di dalam Tuhan.
Anak yang sudah dimuridkan dan melihat bagaimana Paulus di dalam melayani satu
jemaat ke jemaat yang lain atau satu daerah ke daerah lain.
Dimana tetap menekankan unsur
keteladanan di dalam kehidupan pelayanannya untuk bisa menolong orang lain
bertumbuh dan akhirnya benar menjadi ladang-nya Allah, benar menjadi
bangunan-nya Allah. Tentu Timotius sudah melihat bagaimana Paulus, bapa-nya itu
kelaparan, kehausan, dipukuli. Ketika di maki malah memberkati, ketika dianiaya
malah sabar, ketika difitnah malah menjawab dengan ramah.
Bahkan berani menyatakan bahwa
kesempatannya sebagai seorang rasul, bukan merupakan posisi yang terhormat di
hadapan-nya Allah malah berada di tempat yang paling rendah. Kemudian
menyamakan dirinya hanya sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati. Dan
hanya menjadi tontotan dunia, manusia dan malaikat.
Hal itu dilakukan untuk bisa
mengingatkan orang-orang Korintus bahwa untuk menjadi percaya kepada Kristus,
bukan untuk sekedar gagah-gagahan, bukan untuk sekedar sombong-sombongan, bukan
untuk sekedar membeda-bedakan, kamu dari golongan ini,kamu dari golongan itu.
Sebab akhirnya memang pecah jemaatnya Korintus, ada yang merasa dirinya
golongan Apolos dan ada yang merasa dirinya golongan Paulus.
Dengan teladan yang dilihat dari
sang bapa, ada sama si anak, tentu setiap pernyataan firman akan lebih cepat
dihidupi, lebih cepat masuknya, daripada hanya sekedar diketahui, dan akhirnya
didiamkan begitu saja, tanpa adanya buah.
Menjadi Pendidik di dalam Kristus. Peran ini tentu bisa masuk dalam tahapan
penyiraman, ataupun penyiangan suatu ladang-nya Kristus yaitu kita atau
jemaat-Nya. Peran ini baik adanya, tapi setidaknya ketika kita sudah
mendapatkan status sebagai seorang pendidik di dalam Kristus, kenapa tidak
meningkatkan peran kita yang lebih besar dan mungkin lebih terhormat lagi,
ketika kita bisa mengambil bagian untuk menjadi seorang anak, dan bahkan
menjadi seorang bapa?
Penulis adalah pelayan desa dalam
komunitas pesat, pemerhati masalah sosial, politik. pendidikan dan karakter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar