Kamis, 20 Juli 2017

Dimanakah Keberanian Seorang Novanto sekarang??




Bapak Setya Novanto, Ketua DPR RI (2014-2019)

Melihat, menonton secara live Mata Najwa kemarin, saya dapat suatu pelajaran yang lumayan berharga untuk dilewatkan begitu saja. Mencoba membandingkan antara norma etika maupun hukum. Seakan-akan bahwa dengan kekuatan hukum tetap atau inkrah-lah bahwa status seorang dalam sebuah jabatan bisa ditarik atau dialihkan ke yang lain.

Padahal melihat kasus kebelakang, ternyata bukan hanya satu dua kasus yang melibatkan bapak Setya Novanto ini. Ada begitu banyak kasus yang terjadi dan ternyata beliau selalu ada tercantum dan dilibat-libatkan. Meskipun status hukumnya sepertinya sulit untuk ditegakkan.

Entah apa kekuatan maupun power dari Bapak ini, seakan-akan hukum kita bertekuklutut dibawahnya. Mungkin pembawaannya yang tenang dan kalem, dan tidak pernah menunjukkan muka yang panik maupun gelisah, sehingga para lawan-lawannya seakan sulit untuk bisa menembus kelemahannya yang sudah jelas tampak nyata. 

Apakah status tersangka yang kini sudah resmi dimiliki bapak ini dari KPK, akan kandas begitu saja dan tidak akan ada episode berikutnya. Sebab sudah pernah kita lihat bagaimana juga dulu, seorang calon Kapolri di tahun 2015 lalu, Bapak Budi Gunawan melalukan proses pra-peradilan dan akhirnya dimenangkan oleh pihak terlapor. Status hukumnya berhenti, dan KPK tidak menindaklanjuti, dan bahkan sekarang juga menjadi pejabat di bidang intelijen bangsa kita.

Yang pastinya bapak SN ini, akan melakukan banyak cara untuk bisa kembali memulihkan namanya. Baik melalui jalur resmi maupun tidak. Ketika status masih tersangka, undang-undang mengijinkan  untuk tidak langsung mengundurkan diri. Atau bahkan jabatan yang diemban langsung dicabut. Sebab status “tersangka” belum final untuk bisa menjebloskan seseorang ke tahanan.

Apalagi, ditambah pekerjaan dewan akan sangat banyak akhir-akhir ini, disamping harus segera menyesahkan RUU Pemilu yang akan dipakai dipilkada tahun depan dan pemilu 2019, juga harus menetapkan Rancangan Undang-Undang lainnya. Seperti UU tentang terorisme, yang juga sangat mendesak untuk proses legitimasinya.

Perlukah Keberanian untuk berkata jujur didepan publik? 

Saya rasa ketika kita sudah mendapatkan amanah untuk memerintah, hendaknya kita harus bersikap jujur kepada diri kita sendiri terlebih dahulu. Apakah motivasi awal kita? Jika motivasinya hanya untuk menggerus uang sebanyak-banyaknya, lebih baik tidak usah memimpinlah. Sebab akan percuma hasilnya. Tidak akan ada hasilnya. Pembangunan tak tampak, uangpun sudah raib menghilang kemana. Belum lagi akan berhadapan dengan hukum. Dan akhirnya penjara, rasa malu yang akan kita dapatkan.

Ada dua sikap Bapak Setnov kita tercinta ini yang sudah kita saksikan sendiri. Pertama, ketika dia berani langsung mengundurkan diri, ketika kasus PT Freeport “Papa minta saham”, kemudian, kasus yang terakhir ini, menjadi tersangka atas proyek mega proyek E-KTP. Sekarang beliau belum berani menyatakan untuk mengundurkan diri. 

Seharusnya sudah bisa untuk mengundurkan diri. Sebab sudah melanggar norma kepatutan atau etika. Meskipun belum berkekuatan inkrah dihadapan hukum. Tapi, ketika tidak mundur, berarti, akan menjadi preseden yang buruk dikemudian hari. Menjadi teladan yang tidak baik bagi generasi-generasi pemimpin dimasa mendatang. 

Beda ketersangkaan “Ahok” dan “Setnov”

Kenapa Pak Ahok, pada waktu kemarin juga tidak langsung mengundurkan diri. Meskipun sama-sama memiliki status sebagai ‘tersangka’. Ini juga menjadi suatu yang unik untuk dicermati oleh kita bersama.

Posisi Gubernur ataupun posisi di Ketua Dewan itu sangatlah vital bagi bangsa kita. Ketika seseorang sudah mendapatkan status ‘tersangka’, jangan harap menjalankan roda pemerintahan kedepan akan semulus ketika tidak mendapatkan status tersebut. Terus kenapa Pak Ahok tidak segera ambil keputusan untuk mengundurkan diri. 

Yang bisa saya lihat, ada perbedaan yang sangat signifikan dikedua kasus ini. Kasus Pak Ahok, ketersangkaan-nya, karena banyak orang yang tidak suka terhadap kejujuran, keberaniannya, ketika bekerja membangun Jakarta. Sehingga ketika sudah mendapatkan cela untuk menjatuhkan, makanya kesempatan itu tidak disia-siakan.

Sedang, kasus Pak Setnov beda. Meskipun tidak langsung tertangkap tangan, tapi sudah ada niatan yang jahat dalam proyek E-KTP ini. Meskipun goncangan politik yang ditimbulkan akan sangat runyam, tapi saya melihat KPK berani menetapkan Bapak Setnov ini menjadi tersangka. Dilihat dari perkembangan analisa dari banyak saksi dan sejumlah fakta-fakta persidangan kasus yang sama dengan dua terdakwa sebelumnya.

Jika kita melihat jauh kebelakang, tepatnya dibawah tahun 2000-an, bahwa ketika orang sudah dinyatakan sebagai tersangka, maka akan ada rasa malu yang sangat besar. Ekspresi mukanya akan menunjukkan rasa penyesalan yang dalam, tertunduk terus dan tidak berani menunjukkan mukanya di media. Sekarang beda. Setiap orang-orang yang sudah tertangkap, apalagi jika itu adalah kasus korupsi, menunjukkan muka yang tampak bersemangat, tidak ada rasa penyesalan yang dalam, dan kepala yang akan tampak tegak terus. 

Melihat hal ini,sebenarnya negara kita sedang mengalami degradasi nilai-nilai yang baik. Kita semakin sering menunjukkan rasa ketidakmaluan ketika sudah berbuat salah, rasa kebencian yang sangat dalam kepada oknum tertentu dan bahkan tidak segan-segan untuk mengancam, maupun membunuh. 

Mari kita belajar dari negara-negara lain, seperti Jepang, maupun Tiongkok. Ketika sudah gagal saja dalam menjalankan tugas sajapun, mereka akan langsung mengundurkan diri. Tidak harus menjadi tersangka dulu karena melakukan suatu kejahatan yang terselubung. Mereka memilih sikap untuk Berani berbuat berani bertanggung jawab.

Harapannya dengan artikel ini, kita semakin mencintai negeri kita. Jika diberi amanat untuk menjadi pemimpin di pemerintahan, lakukanlah itu dengan niat yang baik dan jujur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...