![]() |
Pemasangan Tenda Bagi Para PKL Tanah Abang |
Bagaimana yah sosok seorang
Gubernur DKI yang sudah punya gelar akademik yang tinggi, dari luar negeri
lagi, tapi merasa bingung dengan evaluasi yang telah diberikan oleh Kemendagri.
Segala pernyataan yang keluar dari mulut Anies, seakan-akan memprovokasi
masyarakat, bahwa pemerintahannya yang dipimpinnya sekarang tidak mendapatkan
dukungan dari pemerintah pusat, terkhusus kementerian dalam negeri.
Seperti yang dinyatakan oleh Anies
di Balai Kota, Jakarta Pusat, Kamis (21/12/2017), pada pemberitaan kompas.com.
Anies mengatakan, Kementerian Dalam Negeri menghapus nama Tim Gubernur Untuk
Percepatan Pembangunan (TGUPP) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) DKI Jakarta 2018.
Anies membandingkan dirinya
dengan tiga gubernur sebelum dirinya, mengenai TGUPP, bahwa dirinya merasa
ditolak mengenai perencanaannya tersebut. Dia menyatakan bahwa apa yang
dilakukan oleh Kemendagri tersebut akan menjadi pertimbangan bagi masyarakat bahwa
telah terjadi keinkonsistenan dari kementerian tersebut.
Kemudian Syarifudin, Plt.
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri, menyatakan bahwa TGUPP
tidaklah ditolak. Cuma direvisi mengenai sumber pembiayaan dari TGUPP tersebut.
Dinyatakan supaya Anies tidak menggaji anggota TGUPP yang rencananya berjumlah
73 orang itu melalui pos anggaran khusus di APBD DKI 2018. Melainkan disarankan
menggunakan dana operasional Anies setiap bulan.
Syarifudin juga menyatakan bahwa
anggaran TGUPP bisa dipecah dan dimasukan ke Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) masing-masing sesuai kebutuhan dan masa kerjanya pun harus tergantung dengan
kegiatan yang dilakukan oleh tim. Dia mencontohkan ketika membutuhkan ahli tata
kota, ya taruh di Dinas Tata Kota. Kemudian kalau kegiatannya sudah selesai
tidak harus menunggu masa kerja setahun yang sudah ditetapkan.
Penjelasan yang diberikan yang
diberikan oleh kemendagri sebenarnya sudah begitu jelas diutarakan, tapi Anies
mendadak pura-pura bingung dengan kebijakan tersebut. Padahal masyarakat
umumpun pasti mengerti akan penjelasan ataupun keterangan yang disampaikan.
Keteguhan hatinya untuk tetap
mempertahankan TGUPP tetap berjumlah 73 orang sebenarnya juga sudah mengundang
banyak pertanyaan masyarakat pada umumnya. Tepat, seperti yang pernah dikatakan
oleh Sumarsono pada Kompas TV pada 22 November 2017 lalu. “Jumlah ditambah jadi
73 pasti anggarannya meledak sekian kali lipat, tapi itu konsekuensinya. Berapa
sih jumlah kebutuhan tim gubernur yang real, yang diingginkan Pak Anies. Saya
khawatir ini (TGUPP) hanya menampung mantan-mantan tim sukses saja tanpa
melihat kebutuhan untuk sebuah tim atau expertis yang dibutuhkan gubernur.”
Sumarsono kemudian lebih lanjut
menjelaskan bahwa wewenang TGUPP hanya memberikan rekomendasi kepada gubernur
dan wakil gubernur. Tidak boleh memerintah SKPD. Sehingga beliau khawatir bahwa
TGUPP bentukannya Pak Anies bisa menciptakan disharmoni diantara seluruh
pemangku kepentingan yang ada di DKI.
Untuk lebih singkatnya, ketika
peran TGUPP hanya bisa untuk memberikan masukan-masukan tanpa boleh memerintah
jajaran instansi yang ada, kenapa harus banyak-banyak pengisi di tim tersebut. HaI
itu membuktikan bahwa dirinya memang sedang menampung timsesnya dulu. Sebagai upaya
balas budi tentunya. Yang pasti memang ada tenaga ahli di dalamnya yang
terlibat, kemudian di tambah dengan timsesnya dulu yang pernah berjasa baginya.
Selanjutnya kemendagri menyarankan
juga supaya pendanaannya jangan dimasukkan di dana khusus APBD melainkan dari
anggaran operasional Gubernur sendiri. Tapi akhirnya, Sang Gubernur menyatakan
bahwa Kemendagri telah menolak kebijakannya dalam TGUPP. Itu sebenarnya
merupakan penjelasan yang sederhana. Tapi karena pemikiran Sang Gubernur DKI
ini mungkin sudah diluar nalar kebanyakan, jadi menyimpulkan seperti itu.
Kemudian tentang kebijakan Tanah
Abang. Ini juga menjadi fenomena tersendiri. Seharusnya jalan diperuntukkan
untuk para pengendara dan bukan bagi para pedagang kaki lima. Tapi oleh Anies
lebih memilih untuk menutup jalan Jatibaru yang berada tepat di depan Stasiun
Tanah Abang Jakarta Pusat sebagai lapaknya para PKL. Yang bahkan oleh Pemda sendiri
memfasilitasi mereka dengan memberikan tenda gratis untuk bisa berjualan di
tengah-tengah jalan.
Padahal sudah ada bangunan berdiri
megah yakni di Blok G. Sebagai tempat untuk menampung para PKL dulu yang pernah
ditertibkan. Sekarang mereka kembali merasa sepi di blog G karena ulah para PKL
baru yang sudah ada di Jalan Tanah Abang. Ketika kebijakan itu dikeluarkan, tentunya
para pedagang yang ada di Blok G merasa kecewa dan heran atas kebijakan yang
telah dikeluarkan oleh pemerintah sekarang.
Menata Tanah Abang, dengan
mengorbankan hak para pengendara motor, sungguh suatu upaya yang betul diluar
nalar kebanyakan. Padahal jelas jalan-jalan yang ada di tanah air peruntukannya
bagi para pengendara motor. Kenapa tidak memindahkan saja dulu para PKL baru
tersebut ke Blok G yang sudah ada disana.
Tapi itulah kebijakan bapak kita
ini. Karena sudah termakan janji-janji kampanye dulu yang tidak mau menggusur,
tapi akhirnya terpaksa juga sih melakukannya pada bangunan liar di Banjir Kanal
Barat sekitar Jalan Tenaga Listrik, pada 13 November 2017 lalu. Kemudian untuk
kasus kesemrautan Tanah Abang akhir-akhir ini, beliau lebih memilih untuk
mengutamakan PKL dan para pejalan kaki beraktivitas di badan jalan dibanding
para pengendara motor yang ada.
Beliau mungkin lupa, ketika menyatakan
akan memfasilitasi seluruhnya para pedagang kaki lima tapi abai kepada para
pengguna jalan yang sebenarnya. Sungguh sekali lagi, merupakan pemikiran kebijakan
yang diluar nalar.
Berpikir dan membuat kebijakan
yang diluar nalar yang sedang ditempuh beliau sebenarnya sebagai upaya yang mau
ditunjukkan bahwa beliau adalah orang yang Out
of the Box. Tapi benarkah demikian. Masing-masing kita sendirilah yang
menilainya bagaimana. Dan masyarakat Jakarta sendirilah yang akan menikmati
buah dari kebijakannya nantinya.