Kamis, 30 November 2017

Mencoba Meniadakan APK* Sebelum Genderang Pemilu Resmi dibuka





Spanduk Pilwakot Medan (Sumber : tribun medan)
Ternyata bukan diriku saja yang sakit matanya ketika hampir di setiap sisi jalan dipastikan banyak foto-foto yang nangkring disana. Mulai dari foto yang dicetak dengan ukuran kecil hingga ukuran yang super gede. Yang dipastikan fungsinya hanya untuk TP-TP (tebar pesona) oleh para calon-calon kandidat yang ingin merebut kekuasaan. Baik itu untuk jabatan legislatif maupun jabatan eksekutif.  Baik itu untuk tingkat daerah kota, kabupaten hingga tingkat nasional.

Ada banyak yang tidak setuju dan bahkan senang dengan kondisi jalan yang seperti itu. Hal tersebut bisa dipantau melalui status-status yang ada di media sosial. Mereka mengungkapkan ada banyak spanduk-spanduk yang berisi materi-materi dalam tanda kutip sampah. Mulai dari banyaknya iklan-iklan produk atau jasa tertentu. Hingga ketika akan digelarnya kegiatan lima tahunan sekali, seperti pemilu maupu pilkada.

Mulai memproklamirkan dirinya atau organisasi partainya ke dalam bentuk banner atau spanduk-spanduk, kemudian dipasang di jalan-jalan yang menurut perhitungan mereka dipastikan akan ramai dilintasi. Yang tujuannya cuma satu, bisa dikenal oleh masyarakat yang tentunya akan menjadi konstituennya.

Selayaknya jalan bisa dipakai yah untuk jalan, bukan untuk sebagai ajang promosi. Seharusnya sisi-sisi jalanan,  maupun tengah jalan yang ada, terutama yang ada di perkotaan bisa ditanamin dengan banyak tanaman. Mulai dari tanaman hias hingga pohon-pohon yang tentunya bisa menyejukkan suasana lingkungan jalan. Bahkan hal tersebut tentunya bisa mengurangi pencemaran udara yang  terus diproduksi oleh kendaraan-kendaraan yang lalu lalang.

Contoh Spanduk promo Barang (Sumber :creo haouse)

Hal ini tentunya bisa diterapkan, jika pemerintahnya adalah bukan orang-orang yang oportunis. Artinya bukan orang-orang yang menggunakan segala cara agar pemasukan daerah bisa tercapai banyak. Coba melihat kondisi-kondisi jalanan yang ada di kota-kota besar, apalagi kota Medan, kota dimana aku lalu lalang, dipastikan banyak trotoar-trotoar yang sekarang sudah beralih fungsi. Yang seharusnya digunakan sebagai tempat pejalan kaki, sekarang digunakan sebagai lapak-lapak untuk jualan.

Ditambah lagi dengan banyaknya media-media iklan yang terpampang jelas di jalanan tersebut. Melalui media iklan-iklan yang ada, dipastikan akan ada pemasukan bagi pemerintah. Coba pemerintah kota atau kabupaten maupun pemerintah provinsi bisa bahu membahu membangun wilayah dimana mereka bisa menjabat sekarang. Bisa bertindak tegas akan kepada segala upaya-upaya pengotoran jalan. Seperti banyaknya iklan-iklan, APK (Alat peraga Kampanye), kemudian telah berubah fungsinya trotoar dari para pejalan kaki, sekarang menjadi tempat jualan.

Tapi ternyata para pemimpin tersebut yang sekarang sedang menjabat, tak ayal juga terlibat menggunakan jalan-jalan sebagai media mereka untuk promosi. Berharap dana untuk mencetak spanduk-spanduk maupun banner yang ada keluar dari kantong pribadinya sendiri. Tidak menggunakan dana-dana operasional yang kebetulan mereka pegang.

Atau dengan menggunakan cara yang lebih halus lagi. Ketika ada event-event tertentu, seperti entah peringatan HUT TNI, atau acara-acara yang bersifat nasional, menggunakan itu, untuk bisa meng-endorse dirinya, bahwa dia adalah pemimpin yang berhasil, pemimpin yang tegas, pemimpin yang merakyat, dan lain-lain. Memajangkan fotonya secara ekslusif di seluruh spanduk dan memasangkannya hampir di sebagian besar jalan dimana kebetulan dia sedang berkuasa. Dimana hal ini memberikan keuntungan tersendiri baginya, sebagai ajang promosi gratis. 

Bagaimana dengan orang-orang yang baru mau merintis. Meniti karirnya dalam dunia politik dan pemerintahan. Dipastikan mereka akan merogoh koceknya lebih dalam lagi. Sebab dipastikan hal itu membutuhkan dana yang tidak bisa dibilang kecil. Bayangkan saja satu spanduk, ukuran 4x1 meter itu bisa menghabiskan uang Rp.60.000,- Atau bisa dibilang permeternya dalam mencetak spanduk berkisar Rp.15.000 hingga Rp.100.000. Tergantung kualitas hasil yang diinginkan. Semakin bagus kualitasnya dan banyak itemnya maka akan semakin besar dana yang akan digelontorkan.

Contohnya coba kita hitung-hitung badget yang akan dikeluarkan untuk mencetak spanduk tersebut. Biaya cetak persatuannya taruh biaya yang paling kecil Rp.15.000/meternya. Dia berencana mencetak 2 x2 meter. Berarti menghabiskan dana berkisar Rp.60.000,-/satuannya. Kemudian mencetak sebanyak 100 item. Pasti dana yang dihabiskan sebanyak Rp. 6 juta. Dan itu baru cetakannya. Bagaimana dengan pemasangannya di jalan-jalan. Taruhlah dia menghabiskan operasional pemasangannya berkisar Rp.50.000 per spanduk, jadi totalnya berkisar Rp.5  jutaan.

Jadi totalnya hanya untuk spanduk yang paling murah, dan dana operasional pemasangan yang paling irit menghabiskan dana Rp.11 jutaan. Dan itu sepertinya baru tingkat kabupaten atau kota yang wilayahnya kecil. Yang pastinya menghabiskan dana puluhan juta hanya untuk bisa mempromosikan dirinya. Bagaimana dengan tingkat provinsi, mungkin kali-kali tersebut sudah tidak berlaku lagi. Dan pastinya mencapai angka hingga ratusan juta kalau ia ingin dikenal oleh masyarakat konstituennya.

Bagaimana solusinya, supaya ada kesamaan antara petahana maupun para calon kandidat baru yang mau berjuang dalam pesta lima tahunan itu. Dan hal itu tentunya bisa mengurangi praktek korupsi kedepannya ketika kemudian akhirnya dia bisa memenangkan posisi tersebut. Sebab dana-dana yang dikeluarkan untuk pencalonan dirinya tidak menghabiskan banyak biaya. Ditambah lagi ketika parpol pengusungnyapun tidak meminta sejumlah mahar politik. Hanya untuk bisa dicalonkan sebagai pemimpin daerah.

Hal yang mungkin bisa dilakukan pemerintah adalah mengeluarkan suatu undang-undang yang melarang ajang promosi duluan baik melalui media apapun di jalan-jalan. Sebelum gelar resminya dibuka. Kemudian ketika sudah resmipun dimulai hajatan pemilihan tersebut, seluruh dana-dana promosi untuk bisa memperkenalkan setiap kandidat kepada para pemilih, hendaknya dana-dana tersebut bisa ditanggung oleh KPU seutuhnya. Sebab tak percuma KPU pun mendapatkan budget  anggaran yang lumayan besar untuk kesuksesan dari pemilihan umum tersebut.

Jadi ketika hal tersebut bisa terlaksana, tentunya akan ada perbaikan demokrasi di tanah air kita ini. Ada persaingan sehat diantara sejumlah calon pemimpin yang mau maju di dalam pemilihan tersebut. Baik itu sang petahana maupun calon pemimpin baru bisa berjuang bersama-sama untuk bisa merebut hati para pemilihnya.

Meskipun hal ini tak luput dari banyaknya kelemahan dan kekurangan. Sebab pada faktanya tidak menutup kemungkinan bagi sang petahana memanfaatkan sejumlah fasilitas-fasilitas tertentu, yang memang keperluan awalnya untuk menyukseskan programnya, melalui media promosi berupa baliho dan sejenisnya.

Kemudian bagi sang penantang baru, dipastikan akan semakin banyak bermunculan, sebab ternyata dana yang dikeluarkan sedikit. Tinggal bagaimana upaya KPU untuk  bisa menyaring calon-calon yang tepat dan tentunya yang bisa memenuhi seluruh syarat-syarat yang sudah ditentukan sebelumnya.

Dan terakhir, saran yang mungkin bisa sebagai masukan bagi kita bersama dalam memperbaiki kondisi dan mengembalikan fungsi jalan-jalan kita, adalah adanya pelarangan-pelarangan pemasangan spanduk-spanduk atau baliho maupun yang sejenisnya. Baik itu untuk kepentingan promosi suatu produk atau jasa apapun itu, apalagi promosi calon-calon kepala daerah. Mari mencoba untuk meninggalkan itu dan beralih ke dunia digital atau internet. Sebab ternyata masyarakat kita toh juga sudah banyak yang mengakses dunia internet. Baik melalui media-media sosial yang maupun media situs lainnya.

* APK = Alat Peraga Kampanye

Penulis adalah pengajar STAK Terpadu PESAT Semarang Cabang Sibolangit dan Pemerhati Sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...