![]() |
Sumber Gambar : sepedakeren.blogspot.co.id |
Siang itu aku berjalan menyusuri jalan-jalan di kampung Sumbul ini.
Mencoba mencari disetiap jalan-jalan tersebut inci demi inci, ternyata tidaklah
kutemukan. Hari itu meskipun hari siang tapi kondisinya sangat berkabut. Seolah-olah
awan sedang menaungiku dan menyelimuti suasana hatiku yang sedang risau saat
ini. Matahari malu-malu menunjukkan mukanya, dan udara kian terasa semakin
menembus baju kemejaku yang mulai tampak lusuh. Sebab sejak tadi pagi aku
langsung pergi mencari amplop yang telah diberikan kepadaku kemarin oleh
seorang teman.
Pertemuan kami kemarin mungkin suatu keajaiban. Sebab kami ternyata
sudah hampir dua puluh tahun belum ketemu. Sejak kami menamatkan studi kami di
bangku SMA dulu di Kota Suka Maju, Enno, temanku ini, sudah pergi melanjutkan
studinya ke luar negeri. Dan sekarang dia sudah kembali bersama dengan suami
dan kedua anaknya, Tiin dan Niin. Mereka kebetulan melewati kampung Sumbul, dan
mobil mereka sedang keadaan pecah ban.
“Eh, sepertinya saya pernah melihat kamu, Gor. Apakah kamu Tigor...mmm
Tigor Parulian temanku waktu SMA Negeri 17 di Suka Maju?” kata Enno dengan
penuh sidik.
Aku yang sedang serius membuka ban mobil mereka yang sedang kempes,
kemudian aku berdiri dan segera mencoba mengingat-ingat kembali muka yang
mungkin pernah kutemui dulu. Dengan seksama kuperhatikan Ibu tersebut yang
sedang berdiri pas di depanku, memakai kacamata dan baju gaun yang tampak mewah
serta harum tersebut, “Ia, Bu..nama saya memang Tigor..tapi bukan Tigor
Parulian melainkan Tigor Parsangap.” Kataku menjelaskan.
“Ia betul, aku lupa Tigor Parsangap” kata Enno menimpali.
“Oh, kamu ternyata No, maaf aku
hampir lupa, dan hampir tidak mengenalimu lagi, maaf yah...No..sekali lagi. Kamu
tampak berbeda kulihat.” Kataku.
“Perkenalkan ini, suamiku, Andi, dan kedua anakku, Tiin dan Niin.”
“Halo, senang berjumpa dengan kalian, maaf yah tanganku agak kotor,
kubersihkan dulu sebentar”, kemudian aku menyalami mereka satu per satu.”Gimana
kabarnya, tampak semakin sukses yah, memang tadi kalian baru dari mana dan mau
kemana?” tanyaku dengan semangat.
“Ini..sebenarnya kami tadi mau ke Puncak jalan-jalan, terus ini sudah
mau pulang ke Suka Maju, eh..gak tahu ternyata tiba-tiba mobil kami mulai
oleng, kemudian suamiku berkata, waduh ban kita bocor ni Mi. Kita harus
berhenti memperbaikinya dulu. Eh tau taunya dirimu ternyata yang punya bengkel
ini” Kata Enno menjelaskan.”Ternyata kita sudah lama yah gak ketemuan.”
Kemudian, tiba-tiba datang istriku. “Perkenalkan, ini istriku, Tia
namanya.” Akhirnya mereka bersalaman. “Hon..tolong ambilkan minum buat mereka
dulu”
“Gak usah repot-repot, Bu” kata Andi membalas.
“Gak pa pa kok Bro, santai aja”, kataku.
Kemudian istriku langsung masuk kedalam dan membawakan minum serta snack ringan seadanya. Akhirnya istriku
balik lagi ke dalam membantu anakku yang sedang belajar mengerjakan PR-nya.
Akupun langsung menyelesaikan tugasku untuk menambal bannya yang sedang bocor.
“Sudah selesai.” Kataku dengan sigap setelah aku sudah memasang kembali
bannya ke mobil.
“Berapa Gor?” kata Enno.
“Gak usah, No, gak pa pa, Kamu kan teman lamaku, hari ini aku lagi
senang sebab sudah bisa ketemu teman lama, bisa reunian disaat seperti ini.” kataku
kepada mereka.
Kemudian dengan sigap Enno, memasukkan sesuatu ke dalam saku bajuku.
“Ini ada berkat, tak gak seberapa, semoga bisa berkenan menerimanya”. Merekapun
siap-siap untuk melanjutkan perjanalannya lagi.
“Thanks ya No, thanks yang
Bro, hati-hati di jalan yah” kataku ketika mereka sudah mau jalan.
Itulah peristiwa kemarin yang tak terduga. Bisa ketemu dengan teman lama
sewaktu SMA dulu. Setelah menerima amplopnya, aku meninggalkan bengkelku
langsung pergi ke rumah Jujun, sahabatku, yang waktu itu sedang sakit keras.
Dia sudah hampir dua bulan tidak bekerja lagi, dan sepertinya Bos-nya akan
memecat dia. Kemudian dia cerita.
“Gor, aku sangat sedih hari ini. Kamu tahu kenapa. Dua hari lagi, Arini
akan ulang tahun. Sejak sepuluh bulan yang lalu aku, sudah menyisihkan rupiah
demi rupiah yang aku terima dari bosku. Tapi, ternyata keadaannya beda
sekarang. Semua impianku untuk bisa membeli sepeda, harus segera sirna. Uangnya
sudah terpakai buat pengobatanku. Aku kayaknya menjadi orang tua yang gagal
yah.” Kata Jujun dengan sangat sedih.
“Semangat yah, kamu pasti sembuh kok. Tiada yang mustahil bagi Tuhan,
semuanya akan baik-baik saja. Berdoa aja dan selalu perkatakan dalam dirimu,
aku sembuh..aku sembuh..aku pasti sembuh.. perkatakan setiap hari. Sehingga
ketika kamu memperkatakan hal itu, mungkin imanmu akan muncul, dan lahirlah
keajaiban. Kalau melihat dirimu sekarang, tampaknya kamu sudah menyerah. Jangan
putus harapan, Bro Jun. Tuhan akan memberi yang terbaik buatmu, juga buat istri
dan anak-anakmu.” Kataku mencoba menghibur sahabatku ini.
Sebenarnya, ketika aku mendengar curhat rekanku ini, kata hati kecilku
berbicara, “ayo kamukan baru dapat amplop itu, kasih aja..ayo kasih aja.
Mungkin dia lebih membutuhkan dibanding dirimu”. “Gak bisa, aku gak bisa”
kataku dalam hati. Terjadi pertikaian yang sangat hebat dalam alam pikiranku.
“Jun..aku ke kamar mandi sebentar yah.” Kataku kepada sahabatku ini.
Sampai di kamar mandi, kucoba membuka ampp kawan tadi. Ternyata
kutemukan uang merah seharga seratus ribuan, semua sebanyak sepuluh lembar.
Wau..aku terkejut. Totalnya ada satu juta. ‘Terima kasih Tuhan, atas berkatmu
ini,”kataku refleks bersyukur kepada Tuhan. Kemudian suara temanku Jun, yang
tadi ketika aku berada di kamarnya, muncul lagi “Ayo berikan..ayo berikan,
sahabatmu ini lebih membutuhkan dibanding dirimu”. “Tidak, beberapa hari yang
lalu Cici anakku meminta supaya dibelikan sepeda baru buatnya. Kemudian aku
berjanji akan membelikan sepeda, jikalau Cici bisa mendapatkan juara di
kelas.”kataku kembali kepada diriku.
Kemudian aku jumpai lagi sahabatku itu yang sedang terbaring. Dan aku
juga langsung pamitan kepadanya setelah menghabiskan kopi yang telah Novi,
istrinya, suguhkan kepadaku. Aku
buru-buru pulang ke rumahku. Karena hari sudah semakin gelap dan tampaknya mau
turun hujan, dengan kencang dan berhati-hati kubawakan motorku.
Sesampainya dirumah, aku langsung mandi untuk menyegarkan diriku, sebab
di jalan mau pulang tadi diriku terkena hujan. Aku lupa dengan Amplop pemberian
sahabatku, Enno, dan berpikir bahwa amplop tersebut masih ada di saku kemejaku.
Selesai makan malam, Aku bertanya kepada anakku “Ci, seandainya ada
orang yang lebih membutuhkan dibandingkan Cici, apakah Cici rela untuk
memberikannya kepada orang tersebut?”
“Tergantung Pah” kata Cici membalasku.
“Tergantung apanya.” Tanyaku menyelidik.
“Tergantung Cicilah..kalau Cici lagi baik hati, ya Cici beri..tapi kalau
Cici lagi jahat, mana mau Cici
beri..Ogah.” Bebarapa saat kemudian, “Eh..he..he..Bercanda kok Pah. Pasti kalau
memang dia ternyata memang lebih membutuhkan dibanding Cici, pasti Cici-kan
beri kepadanya.” Kata Cici menjelaskan dengan gamblang kepadaku, sambil melihat
senyumnya yang tulus kepadaku.
“Terima kasih ya, sayang Papa. Sebenarnya, tadi siang Papa mendapatkan
berkat dari Tante Enno, sahabat Papa dulu waktu SMA. Tante tersebut langsung
tiba-tiba memberikan sebuah amplop putih ke saku Papa. Kemudian setelah Papa
buka amplopnya, ada uang satu juta di dalamnya. Papa berencana mau membelikan
kamu sepeda dengan uang itu. Kemarinkan Cici pernah ngomong ke Papa untuk
belikan sepeda. Papa mau wujudkan keinginannya Cici, dan nanti kalau sudah
dapat juara di kelas, baru Papa berikan.”
“Kemudian, tadi, teman Papa, Om Jujun, dia sedang sakit hari ini, cerita
ke Papa, bahwa dua hari lagi, Arini,
temanmu akan ulang tahun. Dia pengen sekali dibelikan sepeda. Om Jujun,
ternyata sudah lama mengumpulkan uang untuk bisa membelikan sepeda. Eh,
ternyata uangnya habis dibuat untuk beli obat. Jadi gagal deh, tuk beli Sepeda
buat Arini.” Kataku dengan jelas ke Cici.
“Terus, Papa mau tanya, apakah Cici rela untuk memberikan berkat yang
dari Tante Enno tadi ke Arini?” tanyaku kepada anakku.
Dengan sikap yang lugunya, dia berkata, “Gak pa pa kok, Pah. Cici rela
kok mau berbagi buat Arini. Lagipula, dia kan sahabatnya Cici juga. Cici mau
beri hadiah spesial buat ulang tahunnya dua hari lagi. Cici mau berikan sepeda
buatnya.”
“Terima kasih ya sayang, anak Papa ini, baik hati ternyata..mmmm..Papa
bangga punya putri cantik seperti Cici, terus baik hati lagi.” Kataku menggoda
anakku.
Akhirnya kamipun tidur, dan esoknya aku terbangun. Mencoba melihat saku
kemejaku yang kukenakan kemarin. Alangkah terkejutnya, aku..amplopnya tidak
ada. Kemudian aku mencari di seluruh sudut-sudut rumahku, ternyata tidak
kutemukan. Akhirnya aku keluar rumah untuk mencari-cari amplop tersebut. Kucoba
mengingat-ingat kemana saja aku kemarin.
Kemudian aku berjalan perlahan-lahan, menyusuri jalan-jalan di
kampungku. Hasilnya nihil. Tidak kutemukan lagi amplop tersebut. Aku akhirnya memutuskan
untuk pulang dengan rasa agak kecewa ke rumah. Tapi ditengah jalan, ternyata
Novi, istrinya Jujun memperhatikanku yang sedang berputar-putar di jalanan desa
Sumbul ini.
Kemudian dia bertanya,”Bapak Tigor sedang cari apa?”
“Oh, ini Bu Novi, sebenarnya aku sedang mencari-cari amplop putih kecil.Di
dalamnya ada uang satu juta rupiah. Aku sudah bingung ini, mau cari kemana
lagi.” kataku menjelaskan kepadanya.”Sudah dari tadi pagi sampai sekarang aku
mencari-cari tapi tidak ketemu.
“Oh, amplop putih kecil itu yah..Pak. Pas kebetulan ini, kemarinkan
Bapak singgah kerumah saya, kemudian saya melihat di kamar mandi, ada amplop
putih kecil, saya cek ternyata ada uangnya. Saya berpikir-pikir ini uang siapa
yah. Sebab kemarin juga banyak tamu yang datang menjenguk Bapak. Saya bingung.
Kemudian saya keliling-keliling kampung, coba tanya-tanya teman-teman Bapak
yang datang kemarin. Satupun tidak ada yang merasa kehilangan. Kemudian saya
perhatikan Bapak yang sedang bingung. Saya jumpai, eh..ternyata..Bapak yang
kehilangan. Ini dia pak uangnya.” Kata Novi kepadaku sambil menyerahkan amplop
tersebut.
“Memang betul, kemarin aku sempat ke kamar mandi orang Ibu. Aku gak
sadar mungkin terjatuh disana.”Terima kasih yah Bu Novi. Kataku kepadanya.
Pulang sekolah, anakku Cici sudah sampai di rumah. Kemudian kubawa dia
ke kota untuk membelikan sepeda untuk Arini. Dia memilih-milih kemudian dia
merasa cocok dan senang dengan sepeda pilihannya, yang berwarna pink, ada tempat bagasinya di depan, lampu-lampunya
tampak sangat cantik, juga tidak terlalu tinggi serta tempat duduknya yang
sangat nyaman serta ada bangku untuk boncengannya.
Tiba dihari ulang tahunnya Arini, kamipun pergi ke rumahnya. Menyerahkan
hadiah kecil dari Cici kepada Arini. Aku melihat ternyata anakku, Cici sangat
bersukacita melihat senyum merekah yang terpancar dari bibirnya Arini. “Terima
kasih yah Ci, kamu sangat baik sekali, kamu memang sahabatku yang sejati.”
Malam itu, merupakan malam yang terindah yang kurasakan bersama dengan
anakku Cici, Arini, anak sahabatku
Jujun. Meskipun dalam keadaan sakit tapi tidak pernah menyerah dan terus
berpengharapan bahwa sakitnya akan sembut. Dan malam itu juga, aku berkata
dalam hatiku, “Nak, Papa pasti menepati janji papa kepadamu. Papa akan semakin
bekerja keras untuk mengumpulkan sedikit demi sedikit berkat yang Papa terima.
Doakan Papa yah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar