Sungguh menarik untuk membahas
tentang Mata Nadjwa, yang sudah tayang lebih dari 7 tahun, dan yang sudah
menghasilkan lebih dari 500 episode, menghiasi layar kaca kita. Nadjwa sendiri
adalah seorang anak dari seorang cendekiawan muslim yang terkenal sekaligus
rendah hati, yakni Muhammad Quraish
Shihab.
Quraish shibab sendiri enggan
menggunakan gelar Habib ataupun Kyai pada namanya. Meskipun layak untuk
menyandang gelar itu, tapi tidak menggunakannya dalam deretan namanya. Gelar
Habib sendiri adalah suatu gelar yang menunjukkan bahwa masih ada pertalian
darah dengan Sang Nabi Muhammad sendiri. Secara harfiah, Habib sendiri berarti
orang yang mencintai.
“Pengertiannya bukan hanya orang yang mencintai, tapi termasuk
orang yang dicintai, alias jadi Al-Mahbub,” kata Habib Ahmad Muhammad bin
Alatas, Ketua Maktab Nasab Rabithah Alawiyah --organisasi pencatat silsilah
habib di Indonesia-- kepada kumparan, Rabu (11/1).
Menjadi habib bukan perkara mudah. Ada kriteria dan mekanisme yang
harus dipenuhi. Mereka mesti menyerahkan daftar silsilah turunan Rasul hingga
tujuh tangga keluarga ke atas. Berbagai syarat administrasi pun wajib dipenuhi.
Semua itu diatur oleh Rabithah Alawiyah.
Habib, di kalangan Arab-Indonesia, lebih menjadi titel
kebangsawanan orang-orang Timur Tengah kerabat Nabi Muhammad SAW --dari
keturunan putri Rasulullah, Fatimah, dengan Ali bin Abi Thalib. Menjadi habib
di Indonesia menjamin derajat tersendiri di tengah masyarakat. Imej sebagai
keturunan Nabi masih menjadi hal istimewa di negara berpenduduk muslim terbesar
ini.
Jadi beliau hanya mau dipanggil Ustad, yang berarti seorang
guru. Yakni yang mampu memberikan pencerahan. Sebab ayahnya Quraish Shibab,
Habib Abdurrahman, telah mengajarkan kepada anak-anaknya untuk tidak terlalu
menunjukkan gelar, apalagi yang ternyata memang benar bahwa ia adalah keturunan
langsung dari sang Nabi sendiri.
Papanya ataupun kakek dari Najwa Shibab, menyematkan gelar
Shibab kepadanya, sebab memang benar perlakukan sang kakek yang menunjukkan
cinta kasih yang besar kepada semua cucu-cucunya.
Keluarga
besar Shihab pun demikian. Alwi Shihab dan Umar Shihab, kedua adik Quraish
Shihab, juga memilih untuk tidak menggunakan gelar habib. Alwi mengkhawatirkan
adanya fenomena kemunculan habib-habib yang tidak sesuai dengan aturan dan
tidak mencerminkan akhlak seorang yang pantas dipanggil habib. Alwi menyebutnya
sebagai “inflasi habib,” di mana jumlah habib yang bertambah justru menjadikan
nilai mereka turun.
Kembali
ke Najwa Shihab. Seorang tokok jurnalis yang sangat kritis, yang mampu membawa
Mata Nadjwa menjadi program unggulan dari Metro TV. Ketika dikabarkan bahwa
Mata Nadjwa akan berhenti tayang, mengakibatkan banyak warga Indonesia menjadi
baper dan merasa kehilangan.
Banyak
tulisan-tulisan atau artikel yang muncul akibat berakhirnya tayangan Mata
Nadjwa. Mulai dari tulisan yang pro maupun yang kontra. Yang kontra mengatakan
bahwa Program Mata Najwa merupakan program settingan dari yang pro pemerintah. Artinya
ketika yang diwawancarai itu adalah orang yang pro pemerintah,dipastikan segala
pertanyaannya tidak sekritis kepada orang yang lagi kontra ke pemerintahan. Dan
banyak tudingan-tudingan miring lainnya, seperti adanya dugaan bahwa Najwa
sendiri akan beralih ke politik atau pemerintahan.
Tapi
semua akhirnya terjawab, ketika catatan tanpa titik minggu lalu, Kamis (31/8),
ketika host yang diundang adalah Gibran Rakabuming, menanyakan setelah Mata
Najwa tidak tayang, Mbak Nana mau kemana? Dan pertanyaan serupa yang disampaikan
oleh Bapak Jokowi via telepon juga menanyakan hal yang sama, mau kemana setelah
Mata Najwa tidak hadir lagi di media televisi. Hal ini semakin mempertegas
secara kuat, bahwa berakhirnya tayangan ini, bukan karena ada pihak istana yang
hendak memanggil dia terlibat dalam pemerintahan sebagai menteri. Sebab Bapak Jokowi sendiripun ternyata
bertanya kemana setelah ini.
Hal
yang menjadi sorotan saya adalah bahwa yang menjadi hal yang tak pernah
dilupakan oleh Najwa sendiri adalah ketika dia akan mewancarai ayahnya sendiri.
Dan memang sejak awal, dia tidak mau melibatkan keluarga besarnya menjadi narasumber
pada acaranya. Tapi hal itu tidak bisa lagi dihindari, sebab, ternyata papa-nya
adalah orang yang paling berkompeten saat itu, untuk menyampaikan pesan-pesan penyejuk.
Dikarenakan kondisi bangsa kita yang begitu gampangnya tersulut emosi dan jiwa
ketika suatu hal yang sedang terjadi. Seperti saat ini yang sedang terjadi juga,
masalah kemanusiaan di Myanmar.
Kira-kira
apa yah, anggapan sebagai orang tua, ketika bisa melihat anaknya beraksi dan
berdiri bersama sepanggung dan disaksikan oleh dunia. Meskipun bagi kita
tampaknya sepele, sebab memang pada kenyataannya seorang jurnalis yah pasti
bisa mengeksplorasi seluruh narasumbernya. Tapi hampir bisa dipastikan, bahwa
hal itu menjadi suatu peristiwa yang menggetarkan sang anak sendiri. Sebuah moment
yang sangat indah, menegangkan, tapi harus menunjukkan keprofesionalannya sekaligus.
Orang
tuanya pasti mendeklarasikan, bahwa ini-loh anakku, lihat dia, berdiri bersama
dengan aku. Lihat keberhasilannya, lihat prestasinya. Meskipun hal itu tidak
ditampilkan secara langsung oleh sang papa sendiri. Ada rasa bangga dan haru
ketika kita sebagai orang tua bisa menyaksikan secara langsung prestasi dan
keunggulan anak kita. Apalagi di satu moment atau satu panggung. Peristiwa itu
menjadi suatu sejarah yang pastinya tidak akan bisa kita lupakan. Dan itulah
yang menjadi kebanggaannya para orang tua.
Kemudian
kebanggaannya yang lain adalah ketika bisa mengerjakan amanat dari orang tua kita.
Seperti yang dilakukan oleh sang kakek Najwa sendiri, untuk tidak terlalu
menggagahkan segala gelar ataupun atribut kepangkatan yang ada. Meskipun kita
punyai tapi tidak perlu disombongkan.
Dan
terakhir ketika orangtua bisa menurunkan spirit kerohanian yang sama kepada
anaknya. Bukan hanya membekali dengan segudang ilmu dan pengetahuan, tapi
mengabaikan aspek jiwa dan kerohaniannya. Selalu mengajarkan untuk tinggal
dalam sprit lingkungan kerohanian yang baik dan mengusahakannya itu terealisasi
dalam kehidupannya. Sehingga dia akan mencintai ataupun mengasihi Tuhan-nya,
mengasihi orang tuanya, mengasihi sesamanya dan lingkungannya.
sumber:
https://kumparan.com/tio/quraish-shihab-sekeluarga-memilih-melepas-gelar-habib#jPC4pAUmeTZywjuW.99
Tidak ada komentar:
Posting Komentar