![]() |
sumber gambar : suara lidik |
Kasus kematian adek Debora seharusnya bisa menjadi yang terakhir di Indonesia ini. Sebab menurut informasi yang ada telah banyak anak yang juga akhirnya meninggal karena tidak sempat mendapatkan pelayanan PICU (Pediatric Intensive Care Unit) dari rumah sakit. Sebuah layanan untuk seorang anak sejak dari usia 28 hari hingga 14 tahun.
Pentingnya sebuah media sosial
dalam memviralkan tentang masalah kesehatan ini. Seandainya ibu itu sendiri,
yang memposting segala keburukan Rumah Sakit swasta itu dipastikan akan terjadi
lagi kasus yang baru, yakni kasus pencemaran nama baik. Yang tentunya akan
dilayangkan oleh pihak rumah sakit untuk melaporkan kembali si Ibu yang sudah
melakukan pencemaran nama baik. Dengan alasan undang-undang ITE.
Tapi beruntung, si Ibu
menggunakan jasa pihak orang ke-tiga dalam mengunggah segala keluhannya. Segala
hal yang sudah ia dapatkan dari pelayanan rumah sakit. Ia curhat kepada orang
yang bisa memviralkan berita yang ia sampaikan. Dan ternyata berhasil.
Seandainya berita itu tidak
menjadi trending topic dipastikan
peristiwa itu akan terlupakan oleh kita semua. Dan tidak akan mengetahui suatu
kejadian yang sedang menimpa anak manusia, satu keluarga, yang sedang mengalami
penzoliman oleh suatu instansi kesehatan yang ada.
Akibat perlakuan rumah sakit
tersebut, mengindikasikan bahwa orang sakit dilarang sakit. Sebab pada
kenyataannya harus menyediakan uang muka yang sangat tidak manusiawi. Padahal menurut
berita yang ada, bahwa ini sudah yang ke-23 kalinya kasus yang serupa ditangani
oleh pihak rumah sakit. Entah kenapa, mereka melakukan pembiaran, dan lebih
memilih untuk melakukan rujukan ke rumah sakit yang menyediakan layanan BPJS.
Memang Rumah Sakit Mitra Keluarga, sudah mengajukan penggantian pembayaran oleh BPJS yang ada. Diakui oleh penyelenggara BPJS, bahwa masih ada tertinggal tiga lagi tunggakan yang belum dibayarkan BPJS kepada RS Mitra Keluarga. Mungkin karena tidak mau yang keempat kalinya, akhirnya pihak rumah sakit tidak mau mengambil resiko, pembiayaannya dikenakan kembali kepada mereka.
Kalau kita membandingkan dengan
keadaan yang di Jepang, memang bukan bidang kesehatan. Bidang pendidikan. Bahwa
pihak Kereta Api hampir selama tiga tahun tetap mau melakukan operasi
perjalanannya dari satu kota ke kota yang lain. Meskipun yang diangkut itu
hanya satu orang saja. Dan setelah si anak menyelesaikan studinya, akhirnya
pihak perusahaan Kereta Api
memberhentikan layanan mereka di jalur itu. (Sumber)
Kereta
bahkan menyesuaikan jadwal singgah di stasiun Kami-Shirataki dengan jadwal
sekolah Kana. Remaja itu setiap hari naik kereta tepat pukul 7.04 pagi untuk ke
sekolahnya dan kembali menumpang pukul 5.18 sore. Jika sekolah Kana libur,
kereta pun ikut libur – tidak berhenti di stasiun terpencil yang sunyi senyap
itu.
Artinya apa yang bisa lihat dari
perbedaan itu. Perusahaan kereta api mau menanggung resiko kerugian selama tiga
tahun lebih. Yang mana ketika layanan tetap dijalankan untuk mengangkut satu
orang saja, dipastikan tidak akan menutup seluruh biaya operasional yang ada. Tapi
mereka mau mengambil resiko tersebut. Sebab mereka lebih memandang dan bahkan
sangat menghargai arti seorang anak yang merupakan generasi penerus bangsa. Artinya
biaya-biaya kerugiaan yang ditimbulkan dari operasional itu tidak sebanding
dengan masa depan si anak remaja tersebut.
Adakah kita mempunyai beban
seperti itu. Adakah para penyelenggara pendidikan, kesehatan, transportasi, dan
lain-lain sebagainya, mau berani mengambil resiko seperti itu. Yang tidak
menganggap kerugian ekonomi adalah segala-galanya. Artinya meskipun rugi, tapi
tetap memberikan pelayanan yang terbaik. Apalagi dalam bidang kesehatan. Masak hanya
demi lembaran-lembaran sejumlah Rupiah, harus mengorbankan seorang anak yang
sedang kritis. Ketiadaan uang yang dimiliki harus memberikan ketiadaan
pelayanan yang sewajarnya yang harus diterimanya.
Memang hal itu, tidak terlepas
dari adanya kemauan pemerintah untuk mengcover
segala kepentingan yang ada. Perlu pemerintah yang berani dan bijak dalam
menangani suatu masalah tertentu. Ketika pihak penyelenggara segala kebutuhan
masyarkat itu, tidak mampu menanggung resiko kerugian itu, pemerintah berani
mengambil beban kerugian itu.
Tetapi juga, tidak sepenuhnya
pemerintah yang harus bertanggung jawab atas semuanya hal itu. Butuh juga seorang
kepala atau pemimpin di masing-masing penyelenggara tersebut, yang tentunya
berani mengambil resiko beban itu. Tidak hanya memandang segala usahanya dari
sisi profit semata, tapi juga harus menyelenggarakan dan memberikan pelayanan kasih
kepada setiap anak bangsa yang ada.
Dari kasus anak Debora, ternyata orang
tuanya bukan dengan tangan yang hampa untuk bisa berobat ke rumah sakit itu. Yang notabene jarak antara
rumahnya dengan rumah sakit Mitra Keluarga adalah dekat. Mereka mampu menyediakan 5 juta rupiah supaya
bisa mendapatkan layanan PICU bagi anaknya. Tapi pihak rumah sakit tetap
bergeming menolak uang administrasi tersebut. Dan hanya memberikan solusi untuk
mencari rumah sakit yang menyediakan pembiayaan BPJS dalam rumah sakitnya, juga
sekaligus yang memiliki fasilitas PICU tentunya.
Di dalam proses rujukannya,
dipastikan si anak akan beresiko. Sebab semakin lebih telatnya penanganan
kepada dirinya untuk mendapatkan pengobatan yang intensif. Juga proses rujukan tersebut
diberikan, ketika pada kenyataannya
bahwa layanan atau fasilitas dari rumah sakit tidak ada untuk bidang penyakit
itu. Sehingga harus segera memberikan rujukan yang tepat. Juga dalam proses
rujukannya tidak boleh adanya pembiaran yang dilakukan oleh rumah sakit, seperti
penyediaan layanan jasa ambulans untuk bisa pergi kesana.
Tapi kenyataannya orang tua
Debora, harus membawa anak dan istrinya dengan motor bututnya, untuk mencapai
rumah sakit rujukan tersebut. Dimana Pihak Rumah Sakit Mitra Keluarga, seharusnya
bisa memberikan layanan ambulans untuk pergi ke rumah sakit yang dirujuk
tersebut. Tetapi akhirnya melakukan pembiaran juga hanya demi sejumlah rupiah-rupiah yang harus
disetorkan.
Bahkan ketika akhirnya
meninggalpun, kembali si anak Debora, harus dibawa ke rumahnya dengan memakai kendaraan
motor mereka. Tidak ada pemberian layanan ambulans kepada mereka. Lagi-lagi
demi sejumlah lembaran rupiah.
Sekali lagi, orang miskin
dilarang sakit. Kalau sakit yah, tanggung sendiri. Siapa suruh tidak punya
uang.
Memang ada surat peringatan dan bahkan surat pernyataan kepada Pihak Rumah Sakit Mitra Keluarga. Bahwa harus melayani seluruh masyarakat dan tidak melakukan pembedaan-pembedaan kepada mereka. Dan ketika hal itu dilanggar kembali, maka seyogiya, segala ijin operasinal RS tersebut seharusnya dicabut.
Berharap ada
pembenahan-pembenahan yang dilakukan oleh pemerintah. Berharap tidak terulang
kembali kasus yang serupa kepada anak-anak bangsa selanjutnya. Dan ini menjadi
ajang perbaikan bagi seluruh penyelenggara pelayanan yang ada, baik itu
kesehatan, pendidikan, transportasi dan lain-lain.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar