Senin, 11 September 2017

Orang Miskin Masih Dilarang Sakit

sumber gambar : suara lidik

Kasus kematian adek Debora seharusnya bisa menjadi yang terakhir di Indonesia ini. Sebab menurut informasi yang ada telah banyak anak yang juga akhirnya meninggal karena tidak sempat mendapatkan pelayanan PICU (Pediatric Intensive Care Unit) dari rumah sakit. Sebuah layanan untuk seorang anak sejak dari usia 28 hari hingga 14 tahun.

Pentingnya sebuah media sosial dalam memviralkan tentang masalah kesehatan ini. Seandainya ibu itu sendiri, yang memposting segala keburukan Rumah Sakit swasta itu dipastikan akan terjadi lagi kasus yang baru, yakni kasus pencemaran nama baik. Yang tentunya akan dilayangkan oleh pihak rumah sakit untuk melaporkan kembali si Ibu yang sudah melakukan pencemaran nama baik. Dengan alasan undang-undang ITE.

Tapi beruntung, si Ibu menggunakan jasa pihak orang ke-tiga dalam mengunggah segala keluhannya. Segala hal yang sudah ia dapatkan dari pelayanan rumah sakit. Ia curhat kepada orang yang bisa memviralkan berita yang ia sampaikan. Dan ternyata berhasil.

Seandainya berita itu tidak menjadi trending topic dipastikan peristiwa itu akan terlupakan oleh kita semua. Dan tidak akan mengetahui suatu kejadian yang sedang menimpa anak manusia, satu keluarga, yang sedang mengalami penzoliman oleh suatu instansi kesehatan yang ada.

Akibat perlakuan rumah sakit tersebut, mengindikasikan bahwa orang sakit dilarang sakit. Sebab pada kenyataannya harus menyediakan uang muka yang sangat tidak manusiawi. Padahal menurut berita yang ada, bahwa ini sudah yang ke-23 kalinya kasus yang serupa ditangani oleh pihak rumah sakit. Entah kenapa, mereka melakukan pembiaran, dan lebih memilih untuk melakukan rujukan ke rumah sakit yang menyediakan layanan BPJS.


Memang Rumah Sakit Mitra Keluarga, sudah mengajukan penggantian pembayaran oleh BPJS yang ada. Diakui oleh penyelenggara BPJS, bahwa masih ada tertinggal tiga lagi tunggakan yang belum dibayarkan BPJS kepada RS Mitra Keluarga. Mungkin karena tidak mau yang keempat kalinya, akhirnya pihak rumah sakit tidak mau mengambil resiko, pembiayaannya dikenakan kembali kepada mereka.

Kalau kita membandingkan dengan keadaan yang di Jepang, memang bukan bidang kesehatan. Bidang pendidikan. Bahwa pihak Kereta Api hampir selama tiga tahun tetap mau melakukan operasi perjalanannya dari satu kota ke kota yang lain. Meskipun yang diangkut itu hanya satu orang saja. Dan setelah si anak menyelesaikan studinya, akhirnya pihak perusahaan  Kereta Api memberhentikan layanan mereka di jalur itu. (Sumber)

Kereta bahkan menyesuaikan jadwal singgah di stasiun Kami-Shirataki dengan jadwal sekolah Kana. Remaja itu setiap hari naik kereta tepat pukul 7.04 pagi untuk ke sekolahnya dan kembali menumpang pukul 5.18 sore. Jika sekolah Kana libur, kereta pun ikut libur – tidak berhenti di stasiun terpencil yang sunyi senyap itu.

Artinya apa yang bisa lihat dari perbedaan itu. Perusahaan kereta api mau menanggung resiko kerugian selama tiga tahun lebih. Yang mana ketika layanan tetap dijalankan untuk mengangkut satu orang saja, dipastikan tidak akan menutup seluruh biaya operasional yang ada. Tapi mereka mau mengambil resiko tersebut. Sebab mereka lebih memandang dan bahkan sangat menghargai arti seorang anak yang merupakan generasi penerus bangsa. Artinya biaya-biaya kerugiaan yang ditimbulkan dari operasional itu tidak sebanding dengan masa depan si anak remaja tersebut.

Adakah kita mempunyai beban seperti itu. Adakah para penyelenggara pendidikan, kesehatan, transportasi, dan lain-lain sebagainya, mau berani mengambil resiko seperti itu. Yang tidak menganggap kerugian ekonomi adalah segala-galanya. Artinya meskipun rugi, tapi tetap memberikan pelayanan yang terbaik.  Apalagi dalam bidang kesehatan. Masak hanya demi lembaran-lembaran sejumlah Rupiah, harus mengorbankan seorang anak yang sedang kritis. Ketiadaan uang yang dimiliki harus memberikan ketiadaan pelayanan yang sewajarnya yang harus diterimanya.

Memang hal itu, tidak terlepas dari adanya kemauan pemerintah untuk mengcover segala kepentingan yang ada. Perlu pemerintah yang berani dan bijak dalam menangani suatu masalah tertentu. Ketika pihak penyelenggara segala kebutuhan masyarkat itu, tidak mampu menanggung resiko kerugian itu, pemerintah berani mengambil beban kerugian itu.

Tetapi juga, tidak sepenuhnya pemerintah yang harus bertanggung jawab atas semuanya hal itu. Butuh juga seorang kepala atau pemimpin di masing-masing penyelenggara tersebut, yang tentunya berani mengambil resiko beban itu. Tidak hanya memandang segala usahanya dari sisi profit semata, tapi juga harus menyelenggarakan dan memberikan pelayanan kasih kepada setiap anak bangsa yang ada.

Dari kasus anak Debora, ternyata orang tuanya bukan dengan tangan yang hampa untuk bisa berobat ke  rumah sakit itu. Yang notabene jarak antara rumahnya dengan rumah sakit Mitra Keluarga adalah dekat.  Mereka mampu menyediakan 5 juta rupiah supaya bisa mendapatkan layanan PICU bagi anaknya. Tapi pihak rumah sakit tetap bergeming menolak uang administrasi tersebut. Dan hanya memberikan solusi untuk mencari rumah sakit yang menyediakan pembiayaan BPJS dalam rumah sakitnya, juga sekaligus yang memiliki fasilitas PICU tentunya.

Di dalam proses rujukannya, dipastikan si anak akan beresiko. Sebab semakin lebih telatnya penanganan kepada dirinya untuk mendapatkan pengobatan yang intensif. Juga proses rujukan tersebut diberikan,  ketika pada kenyataannya bahwa layanan atau fasilitas dari rumah sakit tidak ada untuk bidang penyakit itu. Sehingga harus segera memberikan rujukan yang tepat. Juga dalam proses rujukannya tidak boleh adanya pembiaran yang dilakukan oleh rumah sakit, seperti penyediaan layanan jasa ambulans untuk bisa pergi kesana.

Tapi kenyataannya orang tua Debora, harus membawa anak dan istrinya dengan motor bututnya, untuk mencapai rumah sakit rujukan tersebut. Dimana Pihak Rumah Sakit Mitra Keluarga, seharusnya bisa memberikan layanan ambulans untuk pergi ke rumah sakit yang dirujuk tersebut. Tetapi akhirnya melakukan pembiaran juga  hanya demi sejumlah rupiah-rupiah yang harus disetorkan.

Bahkan ketika akhirnya meninggalpun, kembali si anak Debora, harus dibawa ke rumahnya dengan memakai kendaraan motor mereka. Tidak ada pemberian layanan ambulans kepada mereka. Lagi-lagi demi sejumlah lembaran rupiah.

Sekali lagi, orang miskin dilarang sakit. Kalau sakit yah, tanggung sendiri. Siapa suruh tidak punya uang.


Memang ada surat peringatan dan bahkan surat pernyataan kepada Pihak Rumah Sakit Mitra Keluarga. Bahwa harus melayani seluruh masyarakat dan tidak melakukan pembedaan-pembedaan kepada mereka. Dan ketika hal itu dilanggar kembali, maka seyogiya, segala ijin operasinal RS tersebut seharusnya dicabut.

Berharap ada pembenahan-pembenahan yang dilakukan oleh pemerintah. Berharap tidak terulang kembali kasus yang serupa kepada anak-anak bangsa selanjutnya. Dan ini menjadi ajang perbaikan bagi seluruh penyelenggara pelayanan yang ada, baik itu kesehatan, pendidikan, transportasi dan lain-lain.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...