Waktu penerimaan CPNS tinggal
sebentar lagi, akan ditutup pada tanggal 25 September nanti. Dan ini adalah
gelombang kedua, setelah penerimaan
tahapan pertama oleh Kemenkumham dan Mahkamah Agung. Pada tahapan
pertama dinyatakan ada sekitar satu jutaan lebih orang yang mendaftarkan
dirinya untuk bisa diterima disitu. Padahal yang diterima hanya berkisar kurang
lebih 17.000 orang saja. Akan dipastikan banyak yang akan gugur, dan persentase
penerimaannya tidak sampai satu persen.
Mengapa orang berlomba-lomba
untuk mengikutinya? Sebab tawaran yang diberikan setelah mendapatkan posisi
tersebut sangatlah menggiurkan. Mulai dari gaji pokok yang melebihi kebutuhan
standar ditambah juga dengan tunjangan-tunjangan yang akan menyertainya.
Tak sedikit juga orang yang
melakukan berbagai cara agar ia bisa diterima. Mulai dari melakukan perbuatan
curang yang notabene pasti tidak akan jebol usahanya, hingga dengan cara yang
benar, yakni belajar dengan sungguh-sungguh dalam mempersiapkan dirinya sebaik
mungkin.
Orang yang sangat opportunities pasti memanfaatkan event
ini, dengan melakukan jurus tipu-tipu memukau hati dan tangan. Dan banyak orang
yang terperangkap dengan godaannya. Kemudian ketika sadar tidak adanya
panggilan-panggilan yang sudah sejak lama dinantikan, melaporkannya kepada
pihak yang berwajib. Pastinya sudah sangat terlambat, bukan hanya gagal untuk mendapatkan
status PNS tersebut, tetapi juga habisnya uang dan harta berharga yang mungkin sudah
sempat digadaikan.
Disamping orang yang sedang
berburu peluang CPNS tersebut, orang yang sudah bekerja juga diperlukan untuk
bertanya kepada dirinya sendiri. Apakah pekerjaannya yang selama ini dia tekuni
dan lakukan sudah memberikan dampak kekekalan untuk kepentingan Kerajaan Allah
Bapa. Atau justru terjebak dengan hiruk pikuk kenikmatan yang tiada duanya dari
insentif atau keuntungan yang diterima disetiap bulannya.
Hari ini artikelku, temanya berbarengan dengan apa yang kusampaikan pada ibadah raya bersama seluruh staf dan para mahasiswa. Yakni
tindakan yang berdampak pada kekekalan. Berawal dari melihat semakin kurangnya
rasa kemanusiaan kita, ketika melihat orang atau pelaku tindak kriminal yang
tertangkap tangan. Dipastikan kalau aparat tidak datang segera untuk
mengamankan pelaku tersebut, niscaya dia tidak akan selamat lagi, alias sudah almarhum.
Rasa iba kita lebih mudah muncul
kepada orang-orang yang tersakiti atau menderita karena ketidakadilan. Seperti kasus
rohingya, ataupun kaum papa, yang sulit mendapatkan makanan untuk disantap
sehari-hari. Dengan kondisi sulit seperti itu, rasanya sikap kemanusiaan kita
akan bergelora untuk bisa menolong orang tersebut. Melakukan apa yang terbaik
untuk bisa pulih dari keadaan sulit tersebut.
Artinya rasa iba kita lebih mudah diberikan kepada orang-orang yang terpinggirkan dibandingkan orang yang nyata-nyata bertindak kejahatan. Memang ini bukan pemikiran yang mudah untuk dicerna, tapi ada baiknya bagi kita memberikan kesempatan atau ruang kepada hukum yang berlaku, bukan kepada atas tindakan kita yang mau menghakimi sendiri kejahatan yang sedang dilakukannya.
Kemudian pentingnya untuk
membahas hal ini, dikarenakan kita yang selalu dibatasi dengan yang namanya ‘waktu’.
Setiap hal apapun pasti punya batasan waktu, dimulai dari membayar pajak,
makanan atau minuman yang kita punyai, pergi mengerjakan hobi, dan bahkan
bekerja dalam kesehariannya, dipasikan kita selalu tunduk dengan yang namanya ‘waktu’.
Tidak ada yang kekal di dunia ini yang bisa kita kerjakan atau gapai, maupun
prestasi yang melejit yang sudah mengangkat nama baik kita di mata banyak
orang.
Dan satu-satunya yang kekal
adalah jiwa kita itu sendiri. Sebab masing-masing dari kita akan dimintai
pertanggungjawaban oleh Sang Khalik atas apa pekerjaan atau tindakan yang sudah
kita lakukan selama ini di dunia. Apakah kita akan memanfaatkan waktu sebaik
mungkin untuk bisa memberikan dampak kekekalan yang positif bagi Allah.
Atau akankah kita terjebak dengan
pola-pola duniawi, yang semakin lama semakin rusak oleh segala perbuatan gelap Iblis.
Sebab dinyatakan bahwa ketika semakin banyak orang yang terlibat dalam
perbuatan gelapnya iblis, atau wickeness maka
kasih kita akan semakin dingin.
Mari kita bisa belajar bagaimana
polanya Tuhan Yesus ketika diperhadapkan dengan seorang wanita yang kedapatan
berjinah. Dengan sejumlah pemikiran-pemikiran jahat oleh ahli-ahli taurat dan
para Imam, yang mau berusaha untuk
menjebak Tuhan Yesus, supaya bisa
menghukumNya dengan undang-undang yang dibuat oleh manusia. Dan hal itu yang
sepatutnya bisa dihindari untuk kita lakukan dalam kehidupan kita.
Seperti tindakan, lebih
meninggikan diri sendiri di atas orang lain, hanya memandang bagian kulitnya
saja atau bagian luar dari seseorang, lebih gampang menunjukkan kelemahan orang
lain. Mengutamakan hukuman dibanding dengan belas kasihan. Mementingkan
persetujuan bersama dibanding sikap penerimaan, lebih memandang masalah dengan
pikiran dibandingkan dengan hati nurani. Memiliki sikap toleransi yang rendah
terhadap setiap kesalahan, lebih suka perpecahan dibandingkan dengan rasa
persatuan.
Adapun sikap Tuhan Yesus dalam
menghadapi kasus tersebut adalah dengan tidak membiarkan dirinya terprovokasi
dengan situasi mencekam seperti itu. Kemudian memandang perempuan yang berjinah
itu dengan kasih Allah Bapa yang sempurna, dan akhirnya mengampuni setiap dosa
dan pelanggarannya.
Kemudian juga, langkah yang bisa
kita ambil berikutnya adalah dengan mencoba melatih diri kita dengan
perspektiknya Allah. Atau cara pandang Allah dalam melihat sesuatu. Seperti
yang tertuang dalam nats 1 Korintus 9 :26-27. Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan
aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih tubuhku dan
menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain,
jangan aku sendiri ditolak.
Memberitakan injil kepada semua
orang, baik atau tidak baik waktunya. Sebab itu adalah perbuatan kekekalan yang
tentunya akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah Bapa. Ketika orang
yang mendengarkan injil tersebut, akhirnya beroleh iman untuk mempercayai Tuhan
Yesus sebagai Tuhan dan Juru selamat mereka yang hidup.
Dan terakhir pekerjaan atau
tindakan yang memberikan dampak kekekalan adalah ketika kita mampu bertindak
atau bekerja dengan tidak mengharapkan imbalan yang bersifat sementara dan
dapat binasa di dunia ini, melainkan sebaliknya bertindak dengan harapan
mendapatkan hidup yang kekal bersama dengan Allah Bapa di surga nantinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar