Jumat, 01 September 2017

Mereka Adalah Saudaraku (Solusi Mengatasi konflik di Rohingya)


Sungguh tragis melihat banyaknya upaya untuk menghilangkan rasa kemanusiaan itu. Meskipun itu dengan alasan ekonomi, alasan politik, bahkan dengan alasan berbeda agama. Tak patut untuk melegalkan usaha menghilangkan jiwa-jiwa yang sangat berharga. Sebab kehadiran setiap jiwa-jiwa ke dunia ini pasti punya misi khusus dari Sang Khalik diatas.

Setiap jiwa-jiwa itu berharga dan sangatlah berharga. Sebab kita pasti punya keunikan khusus dan tugas khusus yang mana orang lain tidak dipercayakan untuk hal itu. Menangis melihat saudara-saudaraku yang harus menempuh lautan yang luas dan ganas di Rohingya. Maupun saudaraku yang ada di Yaman, bahkan korban ISIS yang ada di Suriah. Menangis dan berdoa supaya mereka yang mengalaminya bisa dikuatkan dalam menghadapi hari-hari yang penuh dengan kekerasan. Penuh dengan intimidasi, penuh dengan pemaksaan bahkan pemerkosaan, penuh dengan sikap yang menyakiti dan tidak ada lagi rasa toleransi diantaranya. Hilangnya kasih diantara kita.

Banyak upaya-upaya penggiringan opini demi opini dalam menyikapi kasus-kasus yang ada di Rohingya, dan beberapa tempat yang lain. Banyak menambahkan bumbu-bumbu yang tak lagi sedap untuk bisa memantik rasa ego kemanusiaan ini. Berita Hoax bertebaran dimana-mana sehingga kita sulit membedakan mana yang asli dan mana yang palsu. Penyebar berita palsu tersebut mengharapkan munculnya suatu kekacauan di negeri yang diberikan kabar tersebut. Sehingga akhirnya banyak gerakan-gerakan yang mengatasnamakan dirinya dengan sebutan hastag #SaveRohingya dan berbagai hastag #Save-save lainnya.

Banyak yang terpancing dan membuat perlawanan bahkan kalau memungkinkan melakukan pembalasan di tempat kabar Hoax tersebut disebar. Tapi untungnya bangsa kita ini masih bisa menahan dirinya tuk bisa menyikapi dengan tepat dan sewajarnya saja.

Juga akhirnya muncul banyak stereotype atau sebutan-sebutan dalam upaya untuk menggolongkan berbagai macam jenis dan pola-pola orang tersebut. Mulai dari sebutan bumi datar, sumbu pendek, pakaian cinkrang dan sekarang dengan sebutan pentul korek. Orang-orang ini mendapatkan sebutan tersebut dikarenakan sikap dan pembawaan mereka yang selalu eksplosive atau meledak-ledak jika agamanya disentil sedikit saja maupun pimpinan ormasnya diserang ataupun dikata-katai.

Sebenarnya tidak menyetujui akan pelabelan rekan-rekan atau saudara-saudara kita ini. Terkesan merendahkan harkat dan martabat mereka. Yang seharusnya kita bisa merangkul mereka dan mencoba menjelaskan bagaimana yang sepatutnya. Tapi sepertinya sulit untuk bisa merangkul,dikarenakan kondisi hati dan pikiran mereka lagi tertutup dengan pemahaman egois mereka sendiri. Suatu pemahaman yang merasa dirinya yang paling benar dan orang lain salah.

Jadi teringat, dengan status teman seorang pengajar. Ketika memulai pelajaran, sang mahasiswi berkata :”Permisi ibu, kalau boleh tahu agamanya apa?”. Dia penuh selidik untuk bisa mengetahuinya. Tapi teman ini menjawab, “kalau masalah agama itu adalah antara urusanku dengan Tuhanku, nak.” Terus dia melanjutkan dalam komentnya, “Hari gini masih ngurusin agama. Apa ketika kamu dan aku beda agama, kamu tidak ikut matakuliahku,” Terkadang jadi lucu melihat sikap-sikap mereka seperti ini. Bahkan pernah melihat sikap mereka yang tidak mau hormat kepada bendera merah putih ketika sedang upacara bendera di sekolah. Dikatakan syirik. Terlalu ekstrim memandang keagamaan mereka,sehingga ketika melihat orang lain berbeda dengannya, berusaha untuk menjauhi dan tidak mau kenal, apalagi mau bersahabat.

Pengungsi Rohingya yang sedang berlayar

Kembali ke kasus Rohingya, memang menolak segala upaya pemerintah Myanmar yang berusaha meniadakan orang-orang Rohingya yang ternyata sudah puluhan tahun tinggal di wilayahnya mereka. Tapi Negara tidak menganggap mereka sebagai bagian dari orang-orang Myanmar. Pemerintah berusaha menghilangkan status kewarganegaraan dan hak-hak orang-orang Rohingya. Sehingga akhirnya terbentuklah orang-orang ekstrim dari Rohingya untuk bisa membalas perbuatan dan sikap tidak adil dari pemerintahan Myanmar. 

Sampai peraih dari Nobel Perdamaianpun, Ang Syu Kii tidak mau ambil pusing untuk membela orang-orang Rohingya. Terkesan mengabaikan dan mendukung pemerintahan untuk tetap melanjutkan aksinya dalam mengusir orang Rohingya. Bahkan beliau berpesan kepada orang-orang yang menuduhkan tudahan miring kepadanya untuk tidak ikut-ikut campur dalam rumah tangga  Bangsa Myanmar. Sebab bangsa kita semakin massif terus menerus membully sikap dan perbuatan pemerintah Myanmar. Berharap segera menghentikan tindakan mereka dalam menghabisi orang Rohingya.

Akhirnya negara kita diminta terlibat oleh badan PBB, untuk bisa segera menangani akan masalah ini. Tapi sepertinya akan menemui jalan buntu, sebab Negara kitapun tidak boleh mengganggu urusan rumah tangga orang lain. Kita hanya bisa melakukan usaha persuasif dan dialog supaya pemerintahan Myanmar segera menghentikan aksi mereka.

Pemerintah kita juga tidak mau kebablasan dalam mengendurkan jumlah imigran dari Rohingya untuk bisa ditampung di Negara tercinta ini. Hanya beberapa dari para pengungsi yang bisa diterima oleh pemerintahan bangsa kita. Buktinya Negara lain juga sepertinya melakukan hal yang sama. Seperti Bangladesh dan beberapa Negara tetangga lainnya. Berusaha mendeportasi kembali para pengungsi yang sudah mendarat di Negara Bangladesh.

Sebab masalah imigran menjadi masalah klasik hampir disetiap Negara. Negara sulit untuk bisa berbagi dengan orang-orang luar atau pendatang-pendatang yang berusaha mencari suaka ke negaranya. Padahal usaha dan perjuangan mereka untuk bisa berangkat dan tiba dinegara tujuan terus diupayakan. Resiko terkatung-katung ditengah laut dan tak sedikit pula yang akhirnya tenggelam dan akhirnya tewas sebelum tiba ke Negara yang dituju tersebut.

Orang Rohingya, orang Yaman, orang Suriah dan lain-lain adalah semua adalah saudaraku. Aku tidak menganggap, bahwa adanya hubungan persaudaaraan hanya dikarenakan adanya hubungan darah. Juga bukan karena berbeda dengan keyakinan yang kuanut, berbeda dengan suku ku, berbeda dengan bahasa sehari-hari yang kugunakan, maka aku akhirnya abai terhadap mereka. Hal yang mungkin bisa aku lakukan bagi mereka adalah berdoa kepada mereka supaya mereka bisa dikuatkan dalam menghadapi perjuangan keras hidup ini.

Sebab Tuhan juga berpesan, untuk tidak abai kepada orang-orang seperti ini. Yakni, orang-orang janda, anak-anak yatim, dan orang-orang asing. Mereka ini wajib hukumnya untuk dilindungi dan bahkan ditolong untuk bisa keluar dari permasalahan hidup mereka. Para janda dan anak yatim, it’s okay tidak ada masalah. Tapi yang menjadi permasalahan dan terus dilupakan serta tidak perlu mendapatkan penanganan dengan segera adalah hak orang asing.

Kita cenderung mengabaikan orang-orang asing yang bahkan mungkin sedang berada diemperan-emperan kota kita. Padahal mereka sedang mencari perlindungan untuk bisa melanjutkan hidup ini. Mereka dipastikan akan mendapatkan kesulitan untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perlu ditolong diawal masa perjalanan hidup mereka. Tapi ketika akhirnya sudah mapan, disitulah tugas kita dinyatakan sudah selesai.

Konflik kemanusiaan di Rohingya sebetulnya tidak perlu terjadi seandainya punya pemahaman sederhana seperti ini. Mereka adalah saudaraku, meskipun mereka adalah orang asing, tapi mereka tetap adalah saudaraku. Baik ketika datangnya konflik, tidak langsung serta merta harus membesar-besarkannya. Mari mencari solusi atas setiap permasalahan yang ada tersebut. Sebab tidak ada masalah yang begitu sukar untuk bisa diselesaikan. Ketika adanya komunikasi yang terbuka diantara kedua belah pihak, dipastikan masalah itupun akan terselesaikan dengan baik.

Kemudian sikap memberi label atau stereotype  kepada orang-orang tertentu, marilah kita hindarkan. Supaya kita bisa hidup saling berdampingan satu sama lain. Kita tidak mungkin selalu sama dalam menyikapi suatu hal. Pasti ada namanya perbedaan sikap, pikiran, maupun pendapat. Tapi itu bukan menjadi pemisah persaudaraan yang sudah kita jalin selama ini.

Mari kita mengelola dengan baik setiap perbedaan-perbedaan yang ada. Apalagi bangsa kita sendiri adalah bangsa begitu kayanya akan kebudayaannya, begitu banyaknya pulau-pulau, dan begitu banyaknya bahasa, serta suku-suku bangsanya. Perbedaan dan kekayaan itu bukan menjadikan kita malah semakin terpisah dan akhirnya menjauh. Seperti yang disampaikan Bapak Jokowi pada acara Idul Adha di alun-alun kota Sukabumi (1/9). Pesan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang besar, dan ini disampaikan beliau dimana-mana. Kemudian menegaskan dengan sangat bahwa kita adalah saudara. Saudara sebangsa dan setanah air.

Dan ketika kita sudah sukses mengolah setiap perbedaan-perbedaan yang ada di tanah air kita, kemudian kita akan bisa bersuara dengan tegas kepada bangsa-bangsa yang lain. Juga akhirnya kita bisa memberikan contoh yang baik kepada Negara-negara tetangga kita yang ada dan bahkan didunia. Ternyata Indonesia sudah sukses mengelolah bangsanya. Indonesia sudah tidak terjadi lagi pemaksaan kehendak, di Indonesia sudah tidak terjadi lagi penutupan tempat-tempat ibadah, sebab rakyatnya sudah rukun dan hidup berdampingan.


Doa Bersama Lintas Agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...