![]() |
sumber : breakingnews.co.id |
Tulisan ini hanya sebuah analisis
umum yang dilihat dari kacamata seorang awam yang ingin mencoba menggali makna
sebuah kebijakan dari seorang kepala daerah. Dan juga menjadi sebuah
keprihatinan tersendiri, setelah menyaksikan tayangan Editorial Pagi dari Metro
TV (25/1) yang bertemakan : Mencegah NKRI Rasa Federasi.
Dimana dalam pembahasannya,
mencoba mengkaji kebijakan seorang kepala daerah. Ketika dia ingin mencoba peruntungan
menjadi seorang tokoh figuran di ajang pilpres nanti di tahun 2019, maka tak
ayal dirinya akan selalu kontraproduktif atau selalu berseberangan dengan Presiden
sekarang. Padahal sebagai seorang kepala daerah harus taat dan linear dengan
kebijakan pemimpinnya, yakni Presiden.
Termasuk kebijakan untuk mengatur
tukang becak untuk kembali beroperasi di pusat ibukota Jakarta. Awalnya
terkesan bahwa tidak akan serius dalam menangani tukang becak, tidak akan
serius dalam membuat sebuah aturan khusus dalam menangani mereka, tapi ternyata
salah. Kebijakan itu tetap dilakukan, dan sudah memerintahkan Kadis Perhubungan
DKI untuk segera mensosialisasikan kebijakan khusus yang diutarakan Sang Gubernur.
Dan dampaknya sekarang,
abang-abang tukang becak, bukan hanya dari dalam DKI yang ingin mulai
menunjukkan taji-nya, mereka yang
berasal dari luar DKI pun merasa sangat senang dan antusias dengan hal itu,
serta memberanikan diri untuk mencari penghidupan dan peruntungan di Pusat
Ibukota Indonesia.
Kenapa seorang Kepala Daerah bisa
berpikiran seperti itu? Bisa berpikiran untuk segera mengakomodir kepentingan
abang tukang becak. Bukan berarti mendiskreditkan pekerjaan tukang becak,
apalagi mendiskreditkan Bapak Gubernur pilihan warga Jakarta. Padahal kebijakan
ini sepertinya tidak masuk dalam program andalan sewaktu kampanye dulu.
Kebijakan yang tega mengkhianati
keputusan para pendahulunya, bahkan berupaya untuk menganulir peraturan daerah
(perda) no 11 tahun 1988, tentang
larangan tukang becak beroperasi di Jakarta. Dimana perda tersebut harus dicabut
dulu, sebab kalau tidak dicabut, dipastikan Sang Gubernur sudah melanggar
aturan yang berlaku di DKI.
Apakah pergub akan keluar untuk
memayungi kebijakan itu? Seakan-akan Pergub lebih tinggi dan berotoritas
dibandingkan dengan perda yang sudah disusun bersama DPRD maupun pemprov. Ingin
menunjukkan diskresi kebijakan Gubernur yang ternyata memang keren.
Kebijakan yang keluar setelah
Sang Gubernur melihat kondisi lapangan dan kenyataan selama ini yang sedang
terjadi di DKI, atau mungkin di kota-kota lain juga. Pak Anies berusaha untuk menunjukkan
rasa keprihatinan yang besar bagi tukang-tukang becak. Supaya mereka tidak lagi
diganggu atau lebih tepatnya ditertibkan keberadaannya, ketika sedang
beroperasi di jalanan.
Apakah benar kebijakan tersebut
dipandang sebagai kebijakan yang berpihak. Sebab memang di awal-awal masa
kampanye, kata ‘keberpihakan’ menjadi kata kunci bagi Pak Anies dalam membuat
segala kebijakannya.
Betulkah segala kebijakan yang
diambil dan dikeluarkan oleh pemprov merupakan kebijakan yang berpihak kepada orang-orang lemah, kebijakan
yang berpihak kepada kaum pribumi, kebijakan berpihak kepada kaum yang selama
ini sudah dipinggirkan? Dan Betulkah kebijakan untuk mengaktifkan kembali moda
becak menjadi kebijakan yang populis?
Apakah impiannya Sang Gubernur,
ingin menjadikan Jakarta menjadi kota vintage klasik sekaligus modern sebab Becak
kayuh, LRT dan MRT pun beroperasi sekaligus. Tidakkah ada dalam hatinya
menjadikan Kota Jakarta menjadi kota megapolitan yang sejajar dengan kota-kota beradab
Dunia, seperti yang pernah diimpikan Bapak Ahok dulu? Tapi sepertinya tidak,
sebab kebijakan Sang Gubernur DKI sekarang ini adalah ‘kebijakan yang penting
beda’ dengan pendahulunya.
Tidak masalah, apakah
kebijakannya yang penting beda tersebut, malah akan semakin mendatangkan kesemrautan
ataupun kembali kacau, seperti kebijakan yang sudah dilakukan di Tanah Abang.
Atau merasa menang dan bangga ketika ternyata MA pun mendukung kebijakannya,
yang kembali mengijinkan kendaraan bermotor bisa melewati Jalan Thamrin.
Mencoba melihat apa itu kebijakan
populis. Ternyata sewaktu pilpres di Amerika dulu, yang dimenangkan oleh Donald
Trump, memakai fenomena populisme. Yang oleh Pengamat Intelijen Soeripto J. Said
pada kompas.com (15/1/2017), menyatakan bahwa gejala populisme muncul karena
sumber daya alam dikuasai oleh korporasi. Dimana korporasi dianggap selalu melakukan
pendekatan kepada pusat pengambil keputusan yang terkait dengan kebijakan
publik. Sehingga kebijakan publik terkesan mementingkan pihak pemodal dan
merugikan kepentingan nasional.
“Bahkan kebijakan publik itu
dianggap penjajahan bentuk baru di bidang ekonomi. Maka berkembanglah rasa
kekecewaan publik terhadap pemerintah dan gerakan protes,” ujar Soeripto di
Balai Kartini, Jakarta Selatan.
Maka tak heran, Beliau, Bapak
Gubernur Anies, dengan getolnya untuk berusaha membatalkan proyek reklamasi. Dan berani membayar balik segala kerugian yang
sudah dikeluarkan para pengembang atau korporasi. Tapi ternyata memakai jasa dan modal mereka juga, untuk merealisasikan janji
DP nol persen.
Seharusnya kalau berani untuk
mengembalikan uang pembatalan, dan memakai alokasi lain untuk membayarkannya,
kenapa tidak berani untuk memakai anggaran yang serupa dalam mewujudkan mimpi
DP nol persen untuk KPR. Bukannya malah melibatkan para pengembang.
Oleh karena itu, konsistenlah
Bapak Anies? Bukankah Bapak mau berusaha untuk menjadi orang yang berpihak
seperti yang Bapak ungkapkan selama ini. Seperti yang sudah Bapak lakukan
kepada para pengayuh becak. Bapak mau berpihak kepada mereka, dan mengesahkan
mode transportasi tersebut beroperasi dengan adanya stiker logo DKI yang menempel
di becak tersebut.
Dan akhirnya tak dapat dipungkiri
lagi, Bapak Anies tercinta ini, memang berambisi untuk merebut kursi RI 1 atau
RI 2 di tahun 2019 nanti. Ingin mengulang sejarahnya Jokowi, sewaktu menang
menjadi Gubernur DKI dan akhirnya menang menjadi orang nomor satu di Indonesia
ini.
Kita lihat sajalah kiprah Sang
Gubernur DKI kedepannya bagaimana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar