Minggu, 28 Januari 2018

Ketika Para Parpol Gemar Mencari Isu Bukannya Mencari Penyelesaian Masalah





Ketika kita berada di tahun politik, tentunya segala macam hal yang berbau  tentang hal itu, akan menjadi sebuah pergunjingan. Entah itu kebijakan yang baik atau tampaknya tidak baik, tergantung dari mana kacamata kita menilai hal tersebut. Entah itu mendatangkan polemik atau tidak, tergantung orang yang menyikapinya.

Tentu beda tanggapan antara orang yang ahli di bidangnya, dengan orang-orang yang biasa saja. Apalagi ketika hal itu berbau politik, tentunya sangat kontras perbedaan masyarakat biasa memandang sebuah kebijakan yang akan mau diambil dengan para politikus yang sudah lama berkecimpung di dalamnya.

Hal itu tampak jelas dalam pemberitaan-pemberitaan yang ada di televisi kita sekarang ini. Ketika Mendagri hendak mau mengeluarkan kebijakan, untuk menggantikan sementara para pejabat daerah yang sebentar lagi akan memasuki masa akhir jabatanya. Diperkirakan akan ada 17 kepala daerah yang segera membutuhkan pelaksana tugas (PLT). Dimana oleh Bapak Cahyo Kumolo hendak merekrut di luar dari kemendagri, yakni yang berasal dari kepolisian.

Bapak Cahyo Kumolo menegaskan bahwa ketidakcukupan pejabat tinggi setingkat kepala daerah yang berasal dari instansinya sendiri, untuk bisa dijadikan PLT di daerah-daerah. Juga merujuk bahwa  keputusan kebijakan ini, juga sudah pernah diambil di ajang pilkada sebelumnya.

Yakni ketika dia pernah melantik Inspektur Jenderal Carlo Brix Tewu sebagai pelaksana tugas Gubernur Sulawesi Barat, menggantikan Ismail Zainudin. Kemudian ketika melantik Soedarmo, Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum sebagai pelaksana tugas Gubernur Aceh, menggantikan Zaini Abdullah. Seperti yang pernah dilansir oleh media nasional.tempo.co (25/1/2018).

“Enggak ada masalah, tidak mungkin semua eselon I kemendagri dilepas semua ke 17 provinsi, bisa habis nantinya pejabat di Kemendagri” Ujar Bapak Cahyo

Kebijakan ini langsung menimbulkan banyak polemik. Ada yang mendukung, ada juga yang sama sekali menolak. Bisa kita pastikan bersama, bahwa yang mendukung adalah partai yang merasa diuntungkan ataupun tidak diuntungkan dengan kebijakan tersebut. Sedangkan yang getol menolak adalah partai yang merasa dirugikan ketika hal itu akhirnya diambil. Dan ada yang biasa-biasa saja dalam menanggapi hal ini.

Kenapa tidak begitu gencar penolakannya ketika pilkada lalu, sekarang baru dengan gencar-gencarnya melakukan wacana penolakan. Timbul sebuah pertanyaan, mengapa? Sebab memang suasana politik di tahun ini memang begitu panasnya. Apalagi yang diperebutkan adalah Jawa, dimana wilayahnya yang begitu seksi dan sangat potensial sebagai bekal untuk merebut ajang pemilu yang sebenarnya, yakni pilpres di tahun 2019.

Jadi sudah mulai memasang strategi pemenangan-pemenangan. Mulai memetakan dan merebut daerah-daerah mana yang bisa dihijaukan, dikuningkan, dimerahkan, dibirukan, diputihkan, sesuai dengan warna khas dari masing-masing parpol yang ada. Ketika semakin banyak daerah yang dimenangkan, kemungkinan besar, sang pemenang kepala daerah tersebut, menjadi kepala penggerak mesin partai di daerah yang ia menangkan. Sebagai balas jasa atas upaya yang sudah dilakukan partai pendukungnya.

Kepala daerah yang diusung oleh partai, tidak akan mungkin bisa netral dalam menyikapi pilpres di tahun mendatang. Tapi akan menjadi konflik tersendiri bagi sang calon kepala daerah ketika partai yang selama ini jelas-jelas bertolak belakang, eh..ternyata harus mendukung satu kandidat yang sama.

Mulai disini tampak muncul sikap pragmatis dari partai-partai yang ada di Indonesia kita tercinta ini. Hal-hal praktis, hal-hal yang bisa mendatangkan banyak suara dan simpati dari rakyat, itulah yang selalu diupayakan para parpol kita. Masyarakat menjadi objek dari seluruh strategi yang digelar. Padahal seharusnya masyarakatlah yang seharusnya menjadi subjek penentu akan kemana bangsa ini akan berjalan.

Parpol seyogiyanya menjadi fasilitator, menjadi penghubung, menjadi penyelesai masalah dan bahkan menjadi alat bagi bangsa ini di dalam mencerdaskan seluruh masyarakat Indonesia. Juga di dalam mengkader banyak pemimpin yang tangguh, maupun menjadi mitra pemerintah secara sah dalam mengeksekusi untuk banyaknya pembangunan terealisasi.

Tapi yang ada, parpol lebih banyak bermain-main dengan isu-isu. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Bapak Zulkifli, Ketua MPR-RI, yang menyatakan di beberapa waktu lalu, yakni menyampaikan suatu informasi yang kurang jelas, yakni mengenai masalah LGBT. Beliau menyatakan ada sejumlah Parpol yang mendukung LGBT. Sehingga hal tersebut kembali mendatangkan banyak protes maupun tanggapan untuk segera Bapak Zulkifi perjelas dengan sedetailnya. Siapa atau parpol mana yang beliau maksudkan.

“Saat ini di DPR sedang dibahas soal Undang-Undang LGBT atau pernikahan sesama jenis. Sudah ada lima partai politik menyetujui LGBT,” kata Ketua Umum PAN saat menghadiri Tanwir I Aisyiyah di Surabaya. Seperti yang dilansir oleh liputan6.com (23/1/2018).

Ada banyak masalah-masalah yang sedang terjadi di bangsa dan tanah air kita. Mulai dari masih banyaknya konflik persengketaan atas tanah, maupun pengelolaan atas sumber daya alam kita yang begitu kayanya, tapi sampai sekarang, pengupayaan peningkatan pendapatan bangsa atas SDA itu masih minim.

Kemudian masalah kesejahtaraan warga masyarakat. Dimana masih banyaknya pengangguran para profesional muda. Seperti para pilot, perawat, yang terus menerus dihasilkan oleh pendidikan tinggi kita. Tapi penyerapan akan tenaga mereka masih sangat minim.

Masalah WNI yang bekerja di luar negeri. Mereka sering dijadikan bulan-bulanan oleh bangsa asing. Bahkan ada yang ditangkap oleh kaum ekstrim, diperkosa, disiksa majikannya, dan banyak hal buruk lainnya yang menimpa mereka. Padahal oleh bangsa kita, mengklaim mereka, bahwa mereka adalah pahlawan devisa.

Oleh karena itu, besar harapan kita, bahwa parpol-parpol sekarang yang ada ini berubah. Mereka bisa bertindak banyak dalam membangun bangsa ini. Bukan hanya sekedar mencari simpati masyarakat luas, melalui pencitraan-pencitraan yang semu, apalagi melalui permainan isu-isu yang sensitif, seperti SARA. Bisa mandiri dan independen dalam bersikap, dan tidak mudah dirasuki oleh paham-paham ekstrimisme yang akhir-akhir ini mulai merebak di bangsa ini.

Berani bertarung di kancah perpolitikan  bangsa kita, berarti berani dan siap untuk segala kemungkinan. Siap menang dan tentunya siap juga untuk kalah. Tidak mudah timbul barisan-barisan sakit hati dari setiap kader partai politik yang ada. Tapi yang ada adalah kader-kader yang teguh, kuat, teruji, berintegritas, jujur, tidak korupsi dan visinya adalah membangun bangsa dan tanah air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...