Ketika kita berada di tahun
politik, tentunya segala macam hal yang berbau
tentang hal itu, akan menjadi sebuah pergunjingan. Entah itu kebijakan
yang baik atau tampaknya tidak baik, tergantung dari mana kacamata kita menilai
hal tersebut. Entah itu mendatangkan polemik atau tidak, tergantung orang yang
menyikapinya.
Tentu beda tanggapan antara orang
yang ahli di bidangnya, dengan orang-orang yang biasa saja. Apalagi ketika hal
itu berbau politik, tentunya sangat kontras perbedaan masyarakat biasa
memandang sebuah kebijakan yang akan mau diambil dengan para politikus yang
sudah lama berkecimpung di dalamnya.
Hal itu tampak jelas dalam
pemberitaan-pemberitaan yang ada di televisi kita sekarang ini. Ketika Mendagri
hendak mau mengeluarkan kebijakan, untuk menggantikan sementara para pejabat
daerah yang sebentar lagi akan memasuki masa akhir jabatanya. Diperkirakan akan
ada 17 kepala daerah yang segera membutuhkan pelaksana tugas (PLT). Dimana oleh
Bapak Cahyo Kumolo hendak merekrut di luar dari kemendagri, yakni yang berasal
dari kepolisian.
Bapak Cahyo Kumolo menegaskan
bahwa ketidakcukupan pejabat tinggi setingkat kepala daerah yang berasal dari
instansinya sendiri, untuk bisa dijadikan PLT di daerah-daerah. Juga merujuk
bahwa keputusan kebijakan ini, juga sudah
pernah diambil di ajang pilkada sebelumnya.
Yakni ketika dia pernah melantik
Inspektur Jenderal Carlo Brix Tewu sebagai pelaksana tugas Gubernur Sulawesi
Barat, menggantikan Ismail Zainudin. Kemudian ketika melantik Soedarmo, Dirjen
Politik dan Pemerintahan Umum sebagai pelaksana tugas Gubernur Aceh,
menggantikan Zaini Abdullah. Seperti yang pernah dilansir oleh media
nasional.tempo.co (25/1/2018).
“Enggak ada masalah, tidak mungkin
semua eselon I kemendagri dilepas semua ke 17 provinsi, bisa habis nantinya
pejabat di Kemendagri” Ujar Bapak Cahyo
Kebijakan ini langsung
menimbulkan banyak polemik. Ada yang mendukung, ada juga yang sama sekali menolak.
Bisa kita pastikan bersama, bahwa yang mendukung adalah partai yang merasa
diuntungkan ataupun tidak diuntungkan dengan kebijakan tersebut. Sedangkan yang
getol menolak adalah partai yang merasa dirugikan ketika hal itu akhirnya
diambil. Dan ada yang biasa-biasa saja dalam menanggapi hal ini.
Kenapa tidak begitu gencar
penolakannya ketika pilkada lalu, sekarang baru dengan gencar-gencarnya melakukan
wacana penolakan. Timbul sebuah pertanyaan, mengapa? Sebab memang suasana
politik di tahun ini memang begitu panasnya. Apalagi yang diperebutkan adalah
Jawa, dimana wilayahnya yang begitu seksi dan sangat potensial sebagai bekal
untuk merebut ajang pemilu yang sebenarnya, yakni pilpres di tahun 2019.
Jadi sudah mulai memasang
strategi pemenangan-pemenangan. Mulai memetakan dan merebut daerah-daerah mana
yang bisa dihijaukan, dikuningkan, dimerahkan, dibirukan, diputihkan, sesuai
dengan warna khas dari masing-masing parpol yang ada. Ketika semakin banyak
daerah yang dimenangkan, kemungkinan besar, sang pemenang kepala daerah
tersebut, menjadi kepala penggerak mesin partai di daerah yang ia menangkan. Sebagai
balas jasa atas upaya yang sudah dilakukan partai pendukungnya.
Kepala daerah yang diusung oleh
partai, tidak akan mungkin bisa netral dalam menyikapi pilpres di tahun
mendatang. Tapi akan menjadi konflik tersendiri bagi sang calon kepala daerah ketika
partai yang selama ini jelas-jelas bertolak belakang, eh..ternyata harus mendukung
satu kandidat yang sama.
Mulai disini tampak muncul sikap
pragmatis dari partai-partai yang ada di Indonesia kita tercinta ini. Hal-hal
praktis, hal-hal yang bisa mendatangkan banyak suara dan simpati dari rakyat,
itulah yang selalu diupayakan para parpol kita. Masyarakat menjadi objek dari
seluruh strategi yang digelar. Padahal seharusnya masyarakatlah yang seharusnya
menjadi subjek penentu akan kemana bangsa ini akan berjalan.
Parpol seyogiyanya menjadi
fasilitator, menjadi penghubung, menjadi penyelesai masalah dan bahkan menjadi
alat bagi bangsa ini di dalam mencerdaskan seluruh masyarakat Indonesia. Juga di
dalam mengkader banyak pemimpin yang tangguh, maupun menjadi mitra pemerintah
secara sah dalam mengeksekusi untuk banyaknya pembangunan terealisasi.
Tapi yang ada, parpol lebih
banyak bermain-main dengan isu-isu. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Bapak
Zulkifli, Ketua MPR-RI, yang menyatakan di beberapa waktu lalu, yakni menyampaikan
suatu informasi yang kurang jelas, yakni mengenai masalah LGBT. Beliau
menyatakan ada sejumlah Parpol yang mendukung LGBT. Sehingga hal tersebut kembali
mendatangkan banyak protes maupun tanggapan untuk segera Bapak Zulkifi perjelas
dengan sedetailnya. Siapa atau parpol mana yang beliau maksudkan.
“Saat ini di
DPR sedang dibahas soal Undang-Undang LGBT atau pernikahan sesama jenis. Sudah
ada lima partai politik menyetujui LGBT,” kata Ketua Umum PAN saat menghadiri
Tanwir I Aisyiyah di Surabaya. Seperti yang dilansir oleh liputan6.com
(23/1/2018).
Ada banyak
masalah-masalah yang sedang terjadi di bangsa dan tanah air kita. Mulai dari
masih banyaknya konflik persengketaan atas tanah, maupun pengelolaan atas sumber
daya alam kita yang begitu kayanya, tapi sampai sekarang, pengupayaan peningkatan
pendapatan bangsa atas SDA itu masih minim.
Kemudian masalah
kesejahtaraan warga masyarakat. Dimana masih banyaknya pengangguran para
profesional muda. Seperti para pilot, perawat, yang terus menerus dihasilkan
oleh pendidikan tinggi kita. Tapi penyerapan akan tenaga mereka masih sangat
minim.
Masalah WNI
yang bekerja di luar negeri. Mereka sering dijadikan bulan-bulanan oleh bangsa
asing. Bahkan ada yang ditangkap oleh kaum ekstrim, diperkosa, disiksa
majikannya, dan banyak hal buruk lainnya yang menimpa mereka. Padahal oleh
bangsa kita, mengklaim mereka, bahwa mereka adalah pahlawan devisa.
Oleh karena
itu, besar harapan kita, bahwa parpol-parpol sekarang yang ada ini berubah. Mereka
bisa bertindak banyak dalam membangun bangsa ini. Bukan hanya sekedar mencari
simpati masyarakat luas, melalui pencitraan-pencitraan yang semu, apalagi melalui
permainan isu-isu yang sensitif, seperti SARA. Bisa mandiri dan independen
dalam bersikap, dan tidak mudah dirasuki oleh paham-paham ekstrimisme yang
akhir-akhir ini mulai merebak di bangsa ini.
Berani
bertarung di kancah perpolitikan bangsa
kita, berarti berani dan siap untuk segala kemungkinan. Siap menang dan
tentunya siap juga untuk kalah. Tidak mudah timbul barisan-barisan sakit hati
dari setiap kader partai politik yang ada. Tapi yang ada adalah kader-kader
yang teguh, kuat, teruji, berintegritas, jujur, tidak korupsi dan visinya
adalah membangun bangsa dan tanah air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar