![]() |
SK Kemenkumham yang baru terbit (17/1/2018) Sumber : kompas.com |
Menjadi seorang pejabat dalam
sebuah kelembagaan negara merupakan hal yang sangat diidamkan oleh banyak
orang. Sebab akan banyak keistimewaan yang akan didapatkan ketika diberi
kesempatan untuk bisa mendudukinya. Mulai menjadi orang yang diistimewakan
dengan selalu mendapatkan prioritas nomor satu, hingga apapun yang
diputuskannya menjadi sebuah ketetapan yang berkekuatan hukum.
Banyak orang memburu jabatan prestisius
tersebut, terutama di kelembagaan legislatif yakni MPR, DPR, DPD, maupun DPD. Dan
hal itu bisa kita dapatkan ketika pileg dilaksanakan di setiap lima tahun
sekali. Memajukan diri sendiri dengan memaksimalkan pergaulan dan kecakapan
kita di partai politik (parpol) yang ada. Hal itu sah-sah saja dilakukan asal
dengan niat dan cara yang baik, yakni untuk membangun bangsa ini.
Akhir-akhir ini, seperti yang
diberitakan kompas.com, Partai Hanura sedang mengalami konflik internal. Awalnya Presiden Jokowi sempat memuji partai
ini ketika memberikan sambutan di HUT Hanura Desember lalu. Beliau menyatakan
bahwa partai ini tidak pernah konflik, paling solit dan paling adem. Tapi
kemudian di awal Januari, mulai muncul sinyal-sinyal keretakan.
Kekisruhan ini bermula ketika
banyak daerah atau DPD mulai menunjukkan mosi tidak percaya kepada kepemimpinan
beliau. Patrika S Andi Paturusi, politisi Partai Hanura, seperti yang dilansir
pemberitaan tribunnews.com (17/1), bahwa ketika seorang pemimpin tidak bisa
melaksanakan tugasnya dengan baik, seharusnya dia legowo untuk meletakkan bangku kepemimpinannya.
Itu dibuktikan di dalam masa satu
tahun kepemimpinannya, muncul konflik di daerah. Setidaknya sudah ada enam orang
DPD yang digantikan oleh Beliau tanpa melalui mekanisme partai yang ada.
Melanggar aturan pada Anggaran Dasar maupun Anggaran Rumah Tangga Partai Hanura.
Beliau seharusnya berpedoman pada fakta integritas yang sudah ditanda
tanganinya dulu, sebelum pelantikan dirinya menjadi Sang Ketua Umum.
Lucunya ketika mosi tidak percaya
itu dilayangkan, Bapak OSO, baru memiliki surat
keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang restrukturisasi, reposisi, dan
revitalisasi pengurus DPP Partai Hanura masa bakti tahun 2015-2020, dengan
nomor M.HH-01.AH.11.01 tahun 2018. Dan
SK itu baru diterbitkan pada Rabu kemarin (17/1/2018).
"Menkumham sudah mengeluarkan SK, kami organisasi
sah. Ini ada tanda tangan Menkumham masih hangat, baru keluar sore ini,"
ujar Oesman, di kediaman pribadinya, Jalan Karang Asem, Kuningan, Jakarta
Selatan, Rabu malam.
Seharusnya ketika sudah
mendapatkan amanat kepercayaan dari partai untuk memimpin setahun yang lalu,
beliau hendaknya sudah mengontongi SK resmi dari pemerintah, dalam hal ini
Kemenkumham. Eh, ternyata beliau baru punya sekarang. Urusan kecil memang, tapi
beliau sepele terhadap masalah itu. Peristiwa ini menunjukkan adanya cacat
kepemimpinan, dalam hal administrasi.
Kemudian, cacat kepemimpinan yang
lain, yakni beliau berada di dua lembaga negara yang ada. Satu sebagai Wakil
Ketua MPR RI dan satu lagi sebagai Ketua DPD. Dimana berdasarkan ketentuan yang
ada, yakni UU Nomor 17
Tahun 2014 Tentang MD3, pada Pasal 302 Ayat (1) khususnya huruf a berbunyi:
Anggota DPD dilarang merangkap
jabatan sebagai: (a). Pejabat negara lainnya; (b). Hakim pada badan peradilan;
atau (c). pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian
Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
Ketika berada
di dua jabatan lembaga negara, dan satu lagi sebagai ketua umum partai, maka
tak heran, beliau pastinya sulit untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Akan
ada banyak tugas atau tanggung jawab yang terbengkalai. Maka tak heran,
akhir-akhir ini beliau mendapatkan tekanan melalui mosi tidak percaya dari rekan-rekannya yang
lain.
Perilaku dan sikap OSO yang merangkap
jabatan selama kurang lebih 10 (sepuluh) bulan baik sebagai Wakil Ketua MPR RI
dan Ketua DPD
RI merupakan contoh pejabat negara yang terkesan haus akan
kekuasaan, kepemimpinannya melanggar peraturan perundang-undangan yang ada dan
tentunya hal ini memberi contoh yang buruk kepada masyarakat, jika tanpa adanya
pemberian sanksi yang setimpal.
Disamping akan menerima double salary, juga dapat dipastikan
akan adanya konflik kepentingan pribadi yang bisa berujung kepada perilaku
koruptif, kolusi maupun nepotisme di dalam masa-masa jabatan yang dia emban.
Kemudian tak ayal, beliau harus segera
memilih dan memutuskan satu dari dua jabatan tersebut. Jangan menjadi orang
yang rakus Pak. Masih banyak orang-orang yang pantas dan layak untuk bisa
mengisi jabatan tersebut.
Otokritik kepada Bapak Jokowi.
Kepada Bapak Jokowi yang
terhormat, mari perhatikan rekan-rekan pejabat yang seperti Bapak Oesman Sabta
Odong ini. Supaya bisa ditegasin pak. Juga kepada dua pejabat Golkar yang ada.
Yakni kepada Bapak Airlangga maupun kepada Bapak Idrus Marham.
Bapak pernah komitmen di awal masa kepemimpinannya Bapak dulu, bahwa
tidak ada dan tidak boleh rangkap jabatan di masa-masa kepemerintahannya Bapak.
Ketika kepada PDIP aja, Bapak boleh tegas, masa kepada Partai Golkar Bapak
tidak bisa. Memang itu sih hak prerogatifnya Bapak. Tapi supaya tidak menjadi
sasaran tembak oleh lawan-lawan politik Bapak, seharusnya Bapak bisa memutuskan
hal itu dengan cepat.
Terakhir ketika kita bisa melihat
rekam jejak kepemimpinan Bapak Oesman Sapta Odang atau OSO ini, mari kita untuk
tidak menyepelekan hal-hal kecil sekalipun. Kemudian, bukan menjadi orang-orang
yang pragmatis. Yang artinya tidak memanfaatkan suatu kesempatan yang ada,
sebagai suatu peluang untuk memperkaya diri sendiri. Meskipun kesempatan itu
terbuka, coba untuk menunjukkan bahwa kita adalah seorang pemimpin yang
berintegritas, jujur dan suka melayani masyakarat.
Majulah Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar