![]() |
Keluarga Nenek Saulina br. Sitorus |
Tidak bisa menutup mata, penegakan
hukum masih lemah di masa kepemerintahan Bapak Jokowi. Hukum kita sepertinya
masih berpihak kepada orang-orang yang kuat, apalagi memiliki basis massa yang
banyak.
Padahal hukumlah yang harus
menjadi panglima di dalam menjalankan seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa
dan bertanah air di Indonesia ini. Dan perlu penindakan yang tegas kepada
orang-orang yang sudah memiliki status hukum yang jelas. Bukannya malah
digantung-gantung.
Seperti kasus penegakan hukum
kepada Habib Riziek. Sampai sekarang masih terkatung-katung. Aparat polisi
seakan-akan tidak berani menjemput paksa Sang Habib, padahal statusnya sudah
ditetapkan menjadi tersangka.
Bahkan sampai Presiden keenampun
bersuara, Bapak SBY, seperti yang diberitakan CNN (20/1), meminta kepada
pemerintah untuk tidak mudah melakukan kriminalisasi para ulama. Ungkapan ini
tercurah atas kasus yang memang sedang diproses kepada ustad Zulkifli Muhammad
Ali. Dia disangkakan dan sedang diperiksa oleh Bareskrim Polri dalam kasus
ujaran kebencian.
Kepolisian negara kita akhirnya membantah
telah melakukan kriminalisasi kepada para ulama. Sebab proses hukum dilakukan karena
ada bukti terjadinya pelanggaran pidana.
Padahal untuk menegakkan hukum
kepada orang minoritas, apalagi berbeda keyakinan kepada kaum kebanyakan di
bangsa ini, sangatlah cepat sekali prosesnya. Seperti kasusnya Pak Ahok, yang
sudah divonis bersalah dan sedang menjalankan masa hukumannya. Polisi dan
Kejaksaan dan bahkan Kehakiman tidak berdaya dibuatnya, karena desakan massa
yang sangat kuat sekali.
Kemudian kasus yang menimpa
kepada pejuang HAM dulu, yakni Munir. Memang sampai sekarang aktor
intelektualnya belum bisa diungkap, siapa pelakunya. Dimana istri mendiang,
Suciwati mendesak Presiden Jokowi untuk segera memenuhi janji yang telah
diucapkan untuk menuntaskan kasus pembunuhan suaminya, termasuk untuk
mengungkap dokumen hasil TPF yang kini disebut-sebut hilang.
Dan yang tidak kalah viral di
hari ini (22/1), kasus kepada Nenek 92
tahun, terancam vonis 2 bulan penjara. Hal ini diberitakan oleh Metro TV
News.com. Niat ingini memperbaiki makam leluhur, Saulina Boru Sitorus, dan
keenam anaknya yakni, Marbun Naiborhu, Bilson, Hotler, Luster, Maston, dan
Jisman, masing-masing sudah berkeluarga, ditetapkan menjadi tersangka atas penebangan
pohon milik tetangganya.
Yang melaporkannya ternyata tidak
jauh-jauh, masih merupakan saudara. Japaya mengklaim jika pepohonan yang
ditebang anak-anak Saulina adalah tanaman miliknya. Padahal pohon itu ditanam
di atas tanah yang sudah diwakafkan untuk menjadi tanah pekuburan. Dan
berdasarkan surat warisan, bahwa tanah itupun tidak pernah diizinkan untuk
digarap menjadi ladang oleh warga Dusun Panamean, termasuk Japaya sendiri.
Namun sang pelapor tersebut, yakni
Japaya tetap menyatakan bahwa ia berhak menuntut ganti rugi atas
tanaman-tanaman yang telah ditebang. Sudah dilakukan upaya damai, tapi ternyata
tidak berhasil. Dan diminta diselesaikan jalur hukum.
Akhirnya Pengadilan Negeri (PN) Balige,
Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), memvonis 2 bulan kurungan bagi Saulina. Dan
untuk keenam anaknya divonis 6 bulan kurungan. Namun Saulina menjalani tahanan
luar dengan pertimbangan usia yang sudah lanjut. Sedangkan keenam anaknya harus
mendekam dalam sel penjara.
Suatu peristiwa hukum yang sangat
tidak masuk akal. Apalagi vonis yang sudah dijatuhkan kepada Sang Nenek Boru
Sitorus, oleh hakim, sunguh diluar nalar kita. Tapi itulah faktanya yang sedang
terjadi. Hukum itu sepertinya lebih kuat dan tajam kepada orang-orang yang
lemah. Sedangkan untuk menindak para pejabat yang sudah disangkakan dalam kasus
apapun itu, termasuk korupsi, masih bisa mengelak atas tuduhan dan sangkaan
yang disangkakan kepadanya. Yakni menempuh jalur pra-peradilan.
Mungkin mari kita berkaca atas tulisan
Bapak Mahfud MD, yang dirilis oleh Koran Sindo (20/1), dia menyatakan bahwa
dirinya malu untuk menceritakan tentang penegakan hukum di Indonesia, meskipun
aturan hukum untuk investasi sudah sangat baik. Beliau malu ketika hendak
menceritakan kondisi bangsa kita sewaktu diundang ke Jepang. Bahwa
hakim-hakim di Indonesia bukan hanya dicurigai tetapi benar-benar banyak yang digelandang
ke penjara karena penyuapan.
Malu seandainya harus bercerita bahwa di Indonesia banyak pengacara tersandung kasus karena menyuap atau berusaha menyuap hakim. Kemudian tidak sanggup bercerita bahwa banyak pengacara di Indonesia yang tidak mengandalkan kompetensi dalam profesi hukum, tetapi hanya melatih dirinya untuk melobi aparat penegak hukum atau menggunakan posisi politik agar perkaranya dimenangkan dengan imbalan uang.
Malu seandainya harus bercerita bahwa di Indonesia banyak pengacara tersandung kasus karena menyuap atau berusaha menyuap hakim. Kemudian tidak sanggup bercerita bahwa banyak pengacara di Indonesia yang tidak mengandalkan kompetensi dalam profesi hukum, tetapi hanya melatih dirinya untuk melobi aparat penegak hukum atau menggunakan posisi politik agar perkaranya dimenangkan dengan imbalan uang.
Pak Mahfud MD, harus
segera mengalihkan pembicaraan ketika Pimpinan Asean Nagoya Club, hendak menanyakan
kondisi di Indonesia. Sebab pada faktanya kondisi di Jepang sangat berbanding
terbalik dengan kondisi di bangsa kita. Para hakim-hakimnya sangat
berintegritas dalam memutuskan suatu perkara. Apalagi kecurigaan kepada para
hakim, sama sekali tidak pernah ada dalam pikiran masyarakat Jepang.
Masyarakat Jepang sangat
percaya akan segala putusan hakim yang dikeluarkan. Dan ketika dinyatakan
kalahpun dalam suatu peristiwa perkara, paling jauh para pengacara yang membela
perkara tersebut mengira bahwa hakim kurang menguasai dalam satu kasus yang
spesifik dan rumit tersebut. Atau sebaliknya, kami sendirilah yang kurang bisa
meyakinkan hakim dalam berargumen dan mengajukan bukti di pengadilan. Sekali lagi
tak pernah terpikir, hakim memutuskan suatu perkara karena disuap. Junya Haruna mencoba menegaskan kembali kepada
Bapak Magfud MD bersama rekannya saat itu.
Bahkan integritas mereka teruji,
ketika ada selisih pembayaran. Atau tanggungan yang sebenarnya merupakan tanggungan
negara, tetapi dibayarkan oleh pribadi sendiri. Para pihak yang terkait dalam
urusan itu, akan berusaha mengembalikan uang yang mungkin jumlah nominalnya
lebih kecil jika dibandingkan ongkos pengantaran pengembalian uang tersebut.
Seperti yang disaksikan oleh Bapak Magfud MD melalui tulisannya di Koran
Sindonews.com.
Oleh karena itu, mari kita bercermin
sejenak. Tidak usah harus menuntut orang lain untuk bisa berubah. Kita sendirilah
yang harus berubah. Mari berupaya melakukan hidup jujur dulu. Hidup dalam
aturan hukum yang berlaku. Hidup dalam kebenaran, dan bukan kepada
ketidakjujuran apalagi di dalam kepalsuan.
Dan ketika kita sudah bisa mempraktekkan
hal itu, kemudian mari kita tularkan kepada rekan-rekan kita yang lain. Kepada
sekeliling kita, kepada orang-orang terdekat kita, sehingga merekapun pada
akhirnya bisa berubah dan menjadi sama seperti kita. Sehingga pada akhirnya
bangsa kita kembali menjadi bangsa yang berdaulat kepada hukum dan kebenaran
itu sendiri. Dan bukan berpihak kepada desakan massa. Sehingga judul tulisan
saya di atas, bisa dibantahkan, karena ternyata kita sudah berubah. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar