Senin, 22 Januari 2018

Penegakan Hukum Masih Berpihak Kepada yang Kuat, yang Lemah ya Sudahlah


Keluarga Nenek Saulina br. Sitorus



Tidak bisa menutup mata, penegakan hukum masih lemah di masa kepemerintahan Bapak Jokowi. Hukum kita sepertinya masih berpihak kepada orang-orang yang kuat, apalagi memiliki basis massa yang banyak.

Padahal hukumlah yang harus menjadi panglima di dalam menjalankan seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bertanah air di Indonesia ini. Dan perlu penindakan yang tegas kepada orang-orang yang sudah memiliki status hukum yang jelas. Bukannya malah digantung-gantung.

Seperti kasus penegakan hukum kepada Habib Riziek. Sampai sekarang masih terkatung-katung. Aparat polisi seakan-akan tidak berani menjemput paksa Sang Habib, padahal statusnya sudah ditetapkan menjadi tersangka.

Bahkan sampai Presiden keenampun bersuara, Bapak SBY, seperti yang diberitakan CNN (20/1), meminta kepada pemerintah untuk tidak mudah melakukan kriminalisasi para ulama. Ungkapan ini tercurah atas kasus yang memang sedang diproses kepada ustad Zulkifli Muhammad Ali. Dia disangkakan dan sedang diperiksa oleh Bareskrim Polri dalam kasus ujaran kebencian.

Kepolisian negara kita akhirnya membantah telah melakukan kriminalisasi kepada para ulama. Sebab proses hukum dilakukan karena ada bukti terjadinya pelanggaran pidana.

Padahal untuk menegakkan hukum kepada orang minoritas, apalagi berbeda keyakinan kepada kaum kebanyakan di bangsa ini, sangatlah cepat sekali prosesnya. Seperti kasusnya Pak Ahok, yang sudah divonis bersalah dan sedang menjalankan masa hukumannya. Polisi dan Kejaksaan dan bahkan Kehakiman tidak berdaya dibuatnya, karena desakan massa yang sangat kuat sekali.

Kemudian kasus yang menimpa kepada pejuang HAM dulu, yakni Munir. Memang sampai sekarang aktor intelektualnya belum bisa diungkap, siapa pelakunya. Dimana istri mendiang, Suciwati mendesak Presiden Jokowi untuk segera memenuhi janji yang telah diucapkan untuk menuntaskan kasus pembunuhan suaminya, termasuk untuk mengungkap dokumen hasil TPF yang kini disebut-sebut hilang.

Dan yang tidak kalah viral di hari ini (22/1), kasus  kepada Nenek 92 tahun, terancam vonis 2 bulan penjara. Hal ini diberitakan oleh Metro TV News.com. Niat ingini memperbaiki makam leluhur, Saulina Boru Sitorus, dan keenam anaknya yakni, Marbun Naiborhu, Bilson, Hotler, Luster, Maston, dan Jisman, masing-masing sudah berkeluarga, ditetapkan menjadi tersangka atas penebangan pohon milik tetangganya.

Yang melaporkannya ternyata tidak jauh-jauh, masih merupakan saudara. Japaya mengklaim jika pepohonan yang ditebang anak-anak Saulina adalah tanaman miliknya. Padahal pohon itu ditanam di atas tanah yang sudah diwakafkan untuk menjadi tanah pekuburan. Dan berdasarkan surat warisan, bahwa tanah itupun tidak pernah diizinkan untuk digarap menjadi ladang oleh warga Dusun Panamean, termasuk Japaya sendiri.

Namun sang pelapor tersebut, yakni Japaya tetap menyatakan bahwa ia berhak menuntut ganti rugi atas tanaman-tanaman yang telah ditebang. Sudah dilakukan upaya damai, tapi ternyata tidak berhasil. Dan diminta diselesaikan jalur hukum.

Akhirnya Pengadilan Negeri (PN) Balige, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), memvonis 2 bulan kurungan bagi Saulina. Dan untuk keenam anaknya divonis 6 bulan kurungan. Namun Saulina menjalani tahanan luar dengan pertimbangan usia yang sudah lanjut. Sedangkan keenam anaknya harus mendekam dalam sel penjara.

Suatu peristiwa hukum yang sangat tidak masuk akal. Apalagi vonis yang sudah dijatuhkan kepada Sang Nenek Boru Sitorus, oleh hakim, sunguh diluar nalar kita. Tapi itulah faktanya yang sedang terjadi. Hukum itu sepertinya lebih kuat dan tajam kepada orang-orang yang lemah. Sedangkan untuk menindak para pejabat yang sudah disangkakan dalam kasus apapun itu, termasuk korupsi, masih bisa mengelak atas tuduhan dan sangkaan yang disangkakan kepadanya. Yakni menempuh jalur pra-peradilan.

Mungkin mari kita berkaca atas tulisan Bapak Mahfud MD, yang dirilis oleh Koran Sindo (20/1), dia menyatakan bahwa dirinya malu untuk menceritakan tentang penegakan hukum di Indonesia, meskipun aturan hukum untuk investasi sudah sangat baik. Beliau malu ketika hendak menceritakan kondisi bangsa kita sewaktu diundang ke Jepang. Bahwa hakim-hakim di Indonesia bukan hanya dicurigai tetapi benar-benar banyak yang digelandang ke penjara karena penyuapan.               
  
Malu seandainya harus bercerita bahwa di Indonesia banyak pengacara tersandung kasus karena menyuap atau berusaha menyuap hakim. Kemudian tidak sanggup bercerita bahwa banyak pengacara di Indonesia yang tidak mengandalkan kompetensi dalam profesi hukum, tetapi hanya melatih dirinya untuk melobi aparat penegak hukum atau menggunakan posisi politik agar perkaranya dimenangkan dengan imbalan uang. 

Pak Mahfud MD, harus segera mengalihkan pembicaraan ketika Pimpinan Asean Nagoya Club, hendak menanyakan kondisi di Indonesia. Sebab pada faktanya kondisi di Jepang sangat berbanding terbalik dengan kondisi di bangsa kita. Para hakim-hakimnya sangat berintegritas dalam memutuskan suatu perkara. Apalagi kecurigaan kepada para hakim, sama sekali tidak pernah ada dalam pikiran masyarakat Jepang.

Masyarakat Jepang sangat percaya akan segala putusan hakim yang dikeluarkan. Dan ketika dinyatakan kalahpun dalam suatu peristiwa perkara, paling jauh para pengacara yang membela perkara tersebut mengira bahwa hakim kurang menguasai dalam satu kasus yang spesifik dan rumit tersebut. Atau sebaliknya, kami sendirilah yang kurang bisa meyakinkan hakim dalam berargumen dan mengajukan bukti di pengadilan. Sekali lagi tak pernah terpikir, hakim memutuskan suatu perkara karena disuap.  Junya Haruna mencoba menegaskan kembali kepada Bapak Magfud MD bersama rekannya saat itu.

Bahkan integritas mereka teruji, ketika ada selisih pembayaran. Atau tanggungan yang sebenarnya merupakan tanggungan negara, tetapi dibayarkan oleh pribadi sendiri. Para pihak yang terkait dalam urusan itu, akan berusaha mengembalikan uang yang mungkin jumlah nominalnya lebih kecil jika dibandingkan ongkos pengantaran pengembalian uang tersebut. Seperti yang disaksikan oleh Bapak Magfud MD melalui tulisannya di Koran Sindonews.com.

Oleh karena itu, mari kita bercermin sejenak. Tidak usah harus menuntut orang lain untuk bisa berubah. Kita sendirilah yang harus berubah. Mari berupaya melakukan hidup jujur dulu. Hidup dalam aturan hukum yang berlaku. Hidup dalam kebenaran, dan bukan kepada ketidakjujuran apalagi di dalam kepalsuan.

Dan ketika kita sudah bisa mempraktekkan hal itu, kemudian mari kita tularkan kepada rekan-rekan kita yang lain. Kepada sekeliling kita, kepada orang-orang terdekat kita, sehingga merekapun pada akhirnya bisa berubah dan menjadi sama seperti kita. Sehingga pada akhirnya bangsa kita kembali menjadi bangsa yang berdaulat kepada hukum dan kebenaran itu sendiri. Dan bukan berpihak kepada desakan massa. Sehingga judul tulisan saya di atas, bisa dibantahkan, karena ternyata kita sudah berubah. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...