Malam ini (16/1) beruntung bisa
menyaksikan ILC (Indonesian Lawyers Club) yang ditayangkan oleh TV One. Dengan
tema "Mahar Politik: La Nyalla Vs Prabowo”. Sebuah pembelajaran politik
yang berharga bagi diriku untuk bisa menyaksikan bagaimana sebenarnya keadaan
perpolitikan bangsa kita.
Mulai dari partai-partai politik,
bagaimana membentuk kadernya sendiri, bagaimana mem-blow up calon kader yang
akan ditunjuk dalam kontestasi pemilu, bagaimana bisa berkoalisi dengan
partai-partai lainnya, dan banyak hal lainnya yang tentunya baik untuk kita
pahami bersama.
Melihat, peristiwa-peristiwa yang
lalu, di awal masa pemerintahan Bapak Jokowi, ada dua koalisi dalam sistem
perpolitikan kita. Yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang pro pemerintahan
dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang menjadi rivalnya Jokowi. Awalnya KIH
didukung oleh PDIP, Nasdem, Hanura, dan PKPI kemudian bertambah lagi setelah
PPP, PAN, dan Golkar memutuskan untuk bergabung ke KIH.
Sehingga Koalisi Merah Putih yang
awalnya memiliki kursi paling banyak di DPR, akhirnya hanya diisi oleh Partai
Gerindra, PKS dan PBB. Sedangkan Demokrat tidak memilih kedua-duanya. Menyatakan
dirinya sebagai partai penyeimbang.
Partai-partai yang beralih
tersebut, yakni partai yang mendukung pemerintahan, bukan tanpa sebab
menyatakan proses bergabungnya mereka. Ada hal yang ingin dicapai, yakni
menginginkan kadernya bisa mengisi kabinet yang ada. Sebab tidak ada makan
siang yang gratis. Ketika mendukung apa yang akan kami peroleh.
Seperti yang dinyatakan Arya
Budi, Peneliti dan Analis Politik Pol-Tracking Institute, dalam tulisannya di
Kompas.com (3/9/2012), bahwa partai koalisi itu tidak ada, yang ada hanya
koalisi partai. Dia mendefinisikan bahwa koalisi partai adalah partai yang
mencari hidup dengan melakukan koalisi terhadap partai yang menang dalam
pemilihan eksekutif. Ketika partainya dinyatakan kalah dalam hasil pemilu resmi
oleh KPU, maka partai berusaha menggerubungi atau merapat ke partai pemenang.
Melihat hasil pemilihan
legislatif tahun 2014 lalu, bahwa partai-partai tidak ada yang mencapai angka
20 persen. Artinya meskipun PDIP berhasil memenangkan pileg, tapi belum bisa
mencalonkan presidennya secara mandiri tanpa adanya koalisi. Seperti yang
diatur dalam Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 dengan jelas menyebut bahwa partai
atau gabungan partai politik yang mencapai 20 persen kursi DPR dan 25 persen
suara nasional yang dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Kemudian Undang-undang Pemilu
tersebut direvisi kembali di tahun 2017 dengan mengeluarkan UU No. 7. Dimana
dalam pasal 222 kembali menyatakan bahwa pasangan calon Pemilu 2019 diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi
persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau
memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR
sebelumnya.
Undang-undang tersebut banyak
dikritik dan berusaha digugat untuk dibatalkan supaya partai-partai kecil,
yakni yang kurang beruntung bisa mencalonkan kader terbaiknya dalam hajatan
pilpres di tahun 2019. Tapi akhirnya MK (Mahkamah Konstitusi) menyatakan UU
tersebut masih berlaku.
Dengan adanya UU Batas Pencalonan
Pemilihan tersebut, juga berlaku di pemilihan kepala daerah, yang akan digelar
Juni 2018 ini. Dengan adanya ambang batas tersebut, ketika seseorang hendak
mengajukan diri maju tampil menjadi seorang kepala daerah, khusus dari jalur
partai diwajibkan mendapatkan surat rekomendasi dari Sang Ketua Umum partai.
Dan hal inilah yang menjadi polemik diakhir-akhir ini. Yakni adanya
praktek-praktek mahar politik untuk bisa mendapatkan surat rekomendasi tersebut
Pemberitaan tentang La Nyalla
yang merupakan kader Gerindra maupun Siswandi yang merupakan kader PKS menjadi
berita terheboh diakhir-akhir ini. Sebab dalam pernyataan resminya kepada
publik bahwa mereka telah dimintai sejumlah uang mahar dalam proses pencalonan.
Hal itu terjadi tepat di akhir-akhir masa pendaftaran calon peserta kepala
daerah.
Partai menyatakan tidak lagi
mendukung atau merekomendasikan mereka untuk maju dalam pilkada di Jawa Timur
maupun di Cirebon. Akibat dari tidak bisa diselesaikannya syarat administrasi
yang sudah dibuat dalam surat perjanjian. Kemudian ketika adanya oknum partai
yang meminta sejumlah uang yang sangat besar, dimana angkanya lumayan
fantastis.
Kemudian ketika Prabowo sendiri
menyatakan dalam orasinya yang beredar di media online dan juga diputar di ILC.
Yakni untuk calon Gubernur itu dipastikan akan menghabiskan dana sebesar 30
miliar. Itupun masih paket hemat (pahe). Sedangkan untuk calon Bupati atau
Walikota, seperti yang dinyatakan Siswandi dalam pernyataannya diwaktu-waktu
lalu, berkisar antara 500 juta sampai 1,5 miliar.
Ada dua hal yang menarik yang
dibahas dalam acara ILC tersebut. Pertama, ternyata yang diundang adalah
koalisasi umat, yang terdiri dari Gerindra, PKS maupun PAN. Sebab kubu mereka
yang sedang digunjing oleh publik sekarang ini. Terutama sejak tentang adanya
mahar politik yang mereka praktekkan.
Mari melihat sejenak, bahwa
koalisi umat terbentuk, ketika pada masa Pilgub DKI kemarin. Dimana ketiga
partai tersebut mendukung Gubernur DKI terpilih sekarang, Anies Baswedan.
Kemudian koalisi ini mau dijadikan contoh untuk bisa menggarap daerah-daerah
lain.
Tapi pada faktanya koalisi ini
sulit terbentuk di daerah-daerah lain. Sebab adanya politik praktis tadi, yakni
ingin mencari hidup dan juga ingin mendapatkan kemenangan praktis. Meskipun
bukan kadernya, tidak masalah mendukung kader partai lain. Mau mengorbankan
ideologi partainya sendiri.
Tampak nyata dalam acara ILC
tersebut, Koalisi Umat, maupun kader-kadernya, terkhusus Gerindra sudah
menampakkan borok-boroknya selama ini. Menelanjangi sistem yang sedang mereka
kerjakan. Bahkan Sang Ketua umum sendirilah yang menyatakannya. Pura-pura
prihatin dengan kondisi seperti itu. Tapi pada faktanya sedang menikmati sistem
yang salah itu.
Hal yang kedua, yakni ketika T
Nasrullah (Pakar Hukum Pidana) menyatakan, meskipun tidak eksplisit menyatakan,
bahwa ada partai yang tidak perlu mengeluarkan mahar. Sebab sistem atau mesin
partainya bisa bekerja dengan sangat baik. Kemudian banyaknya kader-kader
maupun simpatisan yang dengan sukarela dan cepat sekali terbentuknya. Tanpa
adanya dukungan biaya dari partai, kader maupun simpatisan/pendukung ini,
ternyata mau mengeluarkan uang untuk bisa memenangkan calon pilihannya mereka.
Ketika hal itu terjadi pada suatu
partai. Dipastikan mahar politik tidak akan ada terdengar di partainya. Dan aku
pasti bisa menebak, partai apa yang dimaksudkan oleh Bapak Nasrullah itu.
Partai tersebut adalah PDIP.
Itu dibuktikan Ketika pencalonan
Djarot sekarang ini di Sumut. Ternyata banyak simpatisannya yang mau berjuang
demi kemenangannya. Para simpatisan maupun pendukung terbentuk dengan
sendirinya tanpa adanya komando langsung dari partai. Kemudian mencoba mandiri
dengan berupaya sendiri dalam mencari dana-dana untuk bisa menggolkan calon
yang mereka usung. Djarot tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk segala
proses sosialisasi, maupun sebagai saksi nantinya ketika sedang melaksanakan
pemilu.
Kemudian berdasarkan pengamatan
penulis dengan cepatnya terbentuk grup-grup maupun komunitas di tiap-tiap
desa/kelurahan, maupun kecamatan di Sumut ini. Tim tersebut dengan sukarela
menjadi tim-tim pemenangan dimana mereka tinggal.
Terakhir, masihkah Anda akan
tetap mendukung partai yang dengan terang-terangnya menyatakan adanya mahar di
pencalonan kepala daerah yang mereka usung.
Mari jawab sendiri dalam hati.
Sibolangit.
Penulis adalah penggiat sosial
dan bermukim di kaki gunung Sinabung, Sibolangit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar