Selasa, 16 Januari 2018

Ketika Parpol Tersandung Mahar Politik





Malam ini (16/1) beruntung bisa menyaksikan ILC (Indonesian Lawyers Club) yang ditayangkan oleh TV One. Dengan tema "Mahar Politik: La Nyalla Vs Prabowo”. Sebuah pembelajaran politik yang berharga bagi diriku untuk bisa menyaksikan bagaimana sebenarnya keadaan perpolitikan bangsa kita.

Mulai dari partai-partai politik, bagaimana membentuk kadernya sendiri, bagaimana mem-blow up calon kader yang akan ditunjuk dalam kontestasi pemilu, bagaimana bisa berkoalisi dengan partai-partai lainnya, dan banyak hal lainnya yang tentunya baik untuk kita pahami bersama.

Melihat, peristiwa-peristiwa yang lalu, di awal masa pemerintahan Bapak Jokowi, ada dua koalisi dalam sistem perpolitikan kita. Yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang pro pemerintahan dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang menjadi rivalnya Jokowi. Awalnya KIH didukung oleh PDIP, Nasdem, Hanura, dan PKPI kemudian bertambah lagi setelah PPP, PAN, dan Golkar memutuskan untuk bergabung ke KIH.

Sehingga Koalisi Merah Putih yang awalnya memiliki kursi paling banyak di DPR, akhirnya hanya diisi oleh Partai Gerindra, PKS dan PBB. Sedangkan Demokrat tidak memilih kedua-duanya. Menyatakan dirinya sebagai partai penyeimbang.

Partai-partai yang beralih tersebut, yakni partai yang mendukung pemerintahan, bukan tanpa sebab menyatakan proses bergabungnya mereka. Ada hal yang ingin dicapai, yakni menginginkan kadernya bisa mengisi kabinet yang ada. Sebab tidak ada makan siang yang gratis. Ketika mendukung apa yang akan kami peroleh.

Seperti yang dinyatakan Arya Budi, Peneliti dan Analis Politik Pol-Tracking Institute, dalam tulisannya di Kompas.com (3/9/2012), bahwa partai koalisi itu tidak ada, yang ada hanya koalisi partai. Dia mendefinisikan bahwa koalisi partai adalah partai yang mencari hidup dengan melakukan koalisi terhadap partai yang menang dalam pemilihan eksekutif. Ketika partainya dinyatakan kalah dalam hasil pemilu resmi oleh KPU, maka partai berusaha menggerubungi atau merapat ke partai pemenang.

Melihat hasil pemilihan legislatif tahun 2014 lalu, bahwa partai-partai tidak ada yang mencapai angka 20 persen. Artinya meskipun PDIP berhasil memenangkan pileg, tapi belum bisa mencalonkan presidennya secara mandiri tanpa adanya koalisi. Seperti yang diatur dalam Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 dengan jelas menyebut bahwa partai atau gabungan partai politik yang mencapai 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara nasional yang dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

Kemudian Undang-undang Pemilu tersebut direvisi kembali di tahun 2017 dengan mengeluarkan UU No. 7. Dimana dalam pasal 222 kembali menyatakan bahwa pasangan calon Pemilu 2019 diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelumnya.
Undang-undang tersebut banyak dikritik dan berusaha digugat untuk dibatalkan supaya partai-partai kecil, yakni yang kurang beruntung bisa mencalonkan kader terbaiknya dalam hajatan pilpres di tahun 2019. Tapi akhirnya MK (Mahkamah Konstitusi) menyatakan UU tersebut masih berlaku.

Dengan adanya UU Batas Pencalonan Pemilihan tersebut, juga berlaku di pemilihan kepala daerah, yang akan digelar Juni 2018 ini. Dengan adanya ambang batas tersebut, ketika seseorang hendak mengajukan diri maju tampil menjadi seorang kepala daerah, khusus dari jalur partai diwajibkan mendapatkan surat rekomendasi dari Sang Ketua Umum partai. Dan hal inilah yang menjadi polemik diakhir-akhir ini. Yakni adanya praktek-praktek mahar politik untuk bisa mendapatkan surat rekomendasi tersebut

Pemberitaan tentang La Nyalla yang merupakan kader Gerindra maupun Siswandi yang merupakan kader PKS menjadi berita terheboh diakhir-akhir ini. Sebab dalam pernyataan resminya kepada publik bahwa mereka telah dimintai sejumlah uang mahar dalam proses pencalonan. Hal itu terjadi tepat di akhir-akhir masa pendaftaran calon peserta kepala daerah.

Partai menyatakan tidak lagi mendukung atau merekomendasikan mereka untuk maju dalam pilkada di Jawa Timur maupun di Cirebon. Akibat dari tidak bisa diselesaikannya syarat administrasi yang sudah dibuat dalam surat perjanjian. Kemudian ketika adanya oknum partai yang meminta sejumlah uang yang sangat besar, dimana angkanya lumayan fantastis.

Kemudian ketika Prabowo sendiri menyatakan dalam orasinya yang beredar di media online dan juga diputar di ILC. Yakni untuk calon Gubernur itu dipastikan akan menghabiskan dana sebesar 30 miliar. Itupun masih paket hemat (pahe). Sedangkan untuk calon Bupati atau Walikota, seperti yang dinyatakan Siswandi dalam pernyataannya diwaktu-waktu lalu, berkisar antara 500 juta sampai 1,5 miliar.

Ada dua hal yang menarik yang dibahas dalam acara ILC tersebut. Pertama, ternyata yang diundang adalah koalisasi umat, yang terdiri dari Gerindra, PKS maupun PAN. Sebab kubu mereka yang sedang digunjing oleh publik sekarang ini. Terutama sejak tentang adanya mahar politik yang mereka praktekkan.

Mari melihat sejenak, bahwa koalisi umat terbentuk, ketika pada masa Pilgub DKI kemarin. Dimana ketiga partai tersebut mendukung Gubernur DKI terpilih sekarang, Anies Baswedan. Kemudian koalisi ini mau dijadikan contoh untuk bisa menggarap daerah-daerah lain.

Tapi pada faktanya koalisi ini sulit terbentuk di daerah-daerah lain. Sebab adanya politik praktis tadi, yakni ingin mencari hidup dan juga ingin mendapatkan kemenangan praktis. Meskipun bukan kadernya, tidak masalah mendukung kader partai lain. Mau mengorbankan ideologi partainya sendiri.

Tampak nyata dalam acara ILC tersebut, Koalisi Umat, maupun kader-kadernya, terkhusus Gerindra sudah menampakkan borok-boroknya selama ini. Menelanjangi sistem yang sedang mereka kerjakan. Bahkan Sang Ketua umum sendirilah yang menyatakannya. Pura-pura prihatin dengan kondisi seperti itu. Tapi pada faktanya sedang menikmati sistem yang salah itu.

Hal yang kedua, yakni ketika T Nasrullah (Pakar Hukum Pidana) menyatakan, meskipun tidak eksplisit menyatakan, bahwa ada partai yang tidak perlu mengeluarkan mahar. Sebab sistem atau mesin partainya bisa bekerja dengan sangat baik. Kemudian banyaknya kader-kader maupun simpatisan yang dengan sukarela dan cepat sekali terbentuknya. Tanpa adanya dukungan biaya dari partai, kader maupun simpatisan/pendukung ini, ternyata mau mengeluarkan uang untuk bisa memenangkan calon pilihannya mereka.

Ketika hal itu terjadi pada suatu partai. Dipastikan mahar politik tidak akan ada terdengar di partainya. Dan aku pasti bisa menebak, partai apa yang dimaksudkan oleh Bapak Nasrullah itu. Partai tersebut adalah PDIP.

Itu dibuktikan Ketika pencalonan Djarot sekarang ini di Sumut. Ternyata banyak simpatisannya yang mau berjuang demi kemenangannya. Para simpatisan maupun pendukung terbentuk dengan sendirinya tanpa adanya komando langsung dari partai. Kemudian mencoba mandiri dengan berupaya sendiri dalam mencari dana-dana untuk bisa menggolkan calon yang mereka usung. Djarot tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk segala proses sosialisasi, maupun sebagai saksi nantinya ketika sedang melaksanakan pemilu.

Kemudian berdasarkan pengamatan penulis dengan cepatnya terbentuk grup-grup maupun komunitas di tiap-tiap desa/kelurahan, maupun kecamatan di Sumut ini. Tim tersebut dengan sukarela menjadi tim-tim pemenangan dimana mereka tinggal.

Terakhir, masihkah Anda akan tetap mendukung partai yang dengan terang-terangnya menyatakan adanya mahar di pencalonan kepala daerah yang mereka usung.
Mari jawab sendiri dalam hati.

Sibolangit.
Penulis adalah penggiat sosial dan bermukim di kaki gunung Sinabung, Sibolangit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...