Kamis, 11 Januari 2018

Refleksi Kasus La Nyalla, Menjadi Kepala Daerah Siapa Sanggup, Maharnya Gede.


sumber : tribunnews.com



Banyak keraguan dalam diri ini, sebagai masyarakat awam, ketika banyak partai yang mem-blow up dirinya tidak menerapkan mahar dalam sistem perekrutan calon kepala daerah. Padahal dalam praktek kesehariannya, yang namanya uang atau mahar pasti dibutuhkan.

Contoh kasus La Nyalla, dalam pengakuannya kepada Kompas, harus melengkapi syarat kelengkapan pencalonan dirinya di Pilkada Jatim, yakni 40 milliar. Dengan alasan uang tersebut akan dipakai untuk uang saksi nantinya ketika pilkada berlangsung. Padahal dia merupakan kader partai, loyalitas partai, ternyata masih dibebani dengan hal seperti itu.

Uang sebesar 40 milliar, bukanlah angka yang kecil. Bagaimana seandainya kalau dia yang terpilih,  
Pastinya yang ada di kepalanya adalah angka-angka tersebut. Bagaimana modalku bisa kembali, minimal tidak rugilah. Hitung-hitungan angka nominal menjadi prasyarat ketika ingin berniat menjadi seorang kepala daerah.

Ternyata bukan hanya itu, beliau juga ditugasin untuk mencari dukungan dari partai lainnya. Artinya ada bukan hanya beban angka nominal yang harus dipenuhi dalam pencalonannya, pikiran dan beban dalam mencari dukungan juga merupakan hal yang sulit. Pasti, omongan lembut tapi menyakitkan, yang dibicarakan kembali adalah uang. ‘Apa yang kami dapat jika kami mendukungmu?’ Meskipun hal ini, tidak terungkap oleh La Nyalla.

Sistem ini menjadi sangat tidak sehat bagi bangsa kita ini. Ketika di awal hajatan besar bangsa kita, dalam mencari sosok pemimpin kepala daerah yang bersih, kemudian punya mimpi dan visi yang membangun, serta program yang mumpuni dan tentunya bisa diterapkan, dipastikan akan sulit tercapai. Sebab sudah ada hitungan untung rugi ketika seorang ingin mencalonkan diri menjadi seorang pemimpin.

Kemudian, ketika tidak sanggup, memenuhi tugas khusus yang diberikan oleh Sang Ketua Umum, diakhir-akhir masa pendaftaran ke KPUD, menjadi bingung sendiri. Mendukung kader sendiri tidak sanggup, yah, kemudian, dengan gerak cepat, memilih calon luar yah gak pa pa. Yang mungkin-mungkin jalan pemikiran atau prinsip partainya berseberangan dengan calon yang dipilih tersebut. Karena sudah tidak ada waktu lagi, akhirnya ya sudahlah, lanjutkan saja.

Artinya, disini tampak kegagalan banyak partai politik di bangsa ini, sudah terlibat dalam praktek-praktek kotor. Lebih mengutamakan hal-hal yang praktis, dan tidak lagi menghidupi sistem kepartaiannya lagi berdasarkan visi misi awal pembentukan partai tersebut.

Hal itu juga tampak pada partai yang diketuai oleh Bapak Surya Paloh, sang pemilik media Metro TV. Pada contoh kasus  Bapak Ery Nuradi, Gubernur Sumut periode ini, dimana beliau merupakan kader Nasdem sendiri, juga merupakan Ketua DPW Nasdem Sumut, harus menyerahkan, hak pencalonannya kepada orang lain. Yang lebih unggul untuk sementara, berdasarkan pengamatan Nasdem sendiri.

Bahkan bukan hanya Nasdem, Partai Golkar, PKB, dan PKPI pun akhirnya menarik dukungannya kembali, yang semula menunjuk Sang Petahana, Erry Nuradi, untuk menjadi calon gubernur, akhirnya lebih memilih calon kepala daerah yang lain, yang tampaknya lebih potensial untuk memenangkan kompetisi pilkada serentak ini.

Sulitnya menemukan partai yang betul-betul bisa mewakili aspirasi dari masyarakat. Yang betul-betul bisa membawa perbaikan moral, maupun kepemimpinan yang bersih di bangsa ini. Dimana seharusnya partai politik yang ada merupakan partai yang bisa menggenjot pembentukan kepemimpinan generasi selanjutnya.

Ada kader-kader pemimpin yang baru, yang muda, yang punya segudang prestasi yang membanggakan, yang seharusnya dibentuk oleh partai-partai politik ini. Artinya ketika mereka sedang mengerjakan hal itu benar-benar, dipastikan bangsa kita akan mengalami kemajuan yang signifikan.

Meskipun sepertinya Nasdem sudah menerapkan hal itu, dengan adanya Sekolah Kader Kebangsaan buatan mereka. Tapi, mereka sepertinya tidak bisa terlepas dari sistem politik praktis yang ada. Ketika angin kencang ke satu arah, dipastikan akan mengikuti arah angin tersebut, tidak berdiri kokoh. Yakni lebih memilih satu sosok yang kuat dibanding lebih memilih kader sendiri.

Faktor ketokohan juga menjadi penentu bisanya dicalonkan atau tidak. Dimana sepak terjang dari sang tokoh yang diusung menjadi sangat vital. Ketika sang tokoh hanya biasa-biasa saja, dan lebih mengandalkan uangnya, tanpa adanya gebrakan kebijakan program yang membangun bangsa, maka jangan harap bermimpi untuk bisa menjadi calon kepala daerah. Dimana faktor ketokohanpun bisa dibentuk oleh partai politik tersebut.

Oleh karena itu, wahai kita para pemuda, jangan pesimis dengan kondisi perpolitikan kita sekarang ini. Mari kita terus, berbenah diri,  membangun diri, terus berjuang dan tidak mengenal lelah. Berusaha untuk selalu jujur dan punya komitmen yang tinggi dalam membangun bangsa ini.

Meskipun stigma seperti yang ada di Sumatera utara, yang disingkat SUMUT, yakni Semua Urusan Musti Tunai. Artinya segala urusan harus dibarengin dengan uang, hal itu tidak akan bertahan lama. Kita akan melihat Sumut Baru, ketika akhirnya dipimpin oleh pemimpin yang benar-benar bersih, dan berintegritas.

Semoga di masa-masa pilkada ini, kekondusifan, kedamaian, keamanan terus terpancar. Supaya bangsa kita bisa segera membangun dengan kepala-kepala daerah terpilih nantinya. Yang tentunya  yang terpilih adalahkepala-kepala daerah yang terbaik, kepala daerah yang jujur, kepala daerah yang bukan hanya punya program yang penting beda, tapi membingungkan masyarakat. Juga kepala daerah yang betul-betul murni menang bukan karena menggunakan SARA, ayat ataupun mayat untuk bisa memenangkan kontestasi pilkada di bangsa kita ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...