![]() |
sumber : tribunnews.com |
Banyak keraguan
dalam diri ini, sebagai masyarakat awam, ketika banyak partai yang mem-blow up dirinya tidak menerapkan mahar
dalam sistem perekrutan calon kepala daerah. Padahal dalam praktek
kesehariannya, yang namanya uang atau mahar pasti dibutuhkan.
Contoh kasus La
Nyalla, dalam pengakuannya kepada Kompas, harus melengkapi syarat kelengkapan
pencalonan dirinya di Pilkada Jatim, yakni 40 milliar. Dengan alasan uang
tersebut akan dipakai untuk uang saksi nantinya ketika pilkada berlangsung. Padahal
dia merupakan kader partai, loyalitas partai, ternyata masih dibebani dengan
hal seperti itu.
Uang sebesar 40
milliar, bukanlah angka yang kecil. Bagaimana seandainya kalau dia yang
terpilih,
Pastinya yang
ada di kepalanya adalah angka-angka tersebut. Bagaimana modalku bisa kembali,
minimal tidak rugilah. Hitung-hitungan angka nominal menjadi prasyarat ketika
ingin berniat menjadi seorang kepala daerah.
Ternyata bukan
hanya itu, beliau juga ditugasin untuk mencari dukungan dari partai lainnya. Artinya
ada bukan hanya beban angka nominal yang harus dipenuhi dalam pencalonannya,
pikiran dan beban dalam mencari dukungan juga merupakan hal yang sulit. Pasti, omongan lembut tapi menyakitkan, yang
dibicarakan kembali adalah uang. ‘Apa yang kami dapat jika kami mendukungmu?’ Meskipun
hal ini, tidak terungkap oleh La Nyalla.
Sistem ini
menjadi sangat tidak sehat bagi bangsa kita ini. Ketika di awal hajatan besar
bangsa kita, dalam mencari sosok pemimpin kepala daerah yang bersih, kemudian punya
mimpi dan visi yang membangun, serta program yang mumpuni dan tentunya bisa
diterapkan, dipastikan akan sulit tercapai. Sebab sudah ada hitungan untung
rugi ketika seorang ingin mencalonkan diri menjadi seorang pemimpin.
Kemudian,
ketika tidak sanggup, memenuhi tugas khusus yang diberikan oleh Sang Ketua
Umum, diakhir-akhir masa pendaftaran ke KPUD, menjadi bingung sendiri.
Mendukung kader sendiri tidak sanggup, yah, kemudian, dengan gerak cepat,
memilih calon luar yah gak pa pa. Yang mungkin-mungkin jalan pemikiran atau
prinsip partainya berseberangan dengan calon yang dipilih tersebut. Karena
sudah tidak ada waktu lagi, akhirnya ya sudahlah, lanjutkan saja.
Artinya, disini
tampak kegagalan banyak partai politik di bangsa ini, sudah terlibat dalam praktek-praktek
kotor. Lebih mengutamakan hal-hal yang praktis, dan tidak lagi menghidupi
sistem kepartaiannya lagi berdasarkan visi misi awal pembentukan partai
tersebut.
Hal itu juga
tampak pada partai yang diketuai oleh Bapak Surya Paloh, sang pemilik media
Metro TV. Pada contoh kasus Bapak Ery
Nuradi, Gubernur Sumut periode ini, dimana beliau merupakan kader Nasdem
sendiri, juga merupakan Ketua DPW Nasdem Sumut, harus menyerahkan, hak pencalonannya
kepada orang lain. Yang lebih unggul untuk sementara, berdasarkan pengamatan
Nasdem sendiri.
Bahkan bukan
hanya Nasdem, Partai Golkar, PKB, dan PKPI pun akhirnya menarik dukungannya
kembali, yang semula menunjuk Sang Petahana, Erry Nuradi, untuk menjadi calon
gubernur, akhirnya lebih memilih calon kepala daerah yang lain, yang tampaknya
lebih potensial untuk memenangkan kompetisi pilkada serentak ini.
Sulitnya
menemukan partai yang betul-betul bisa mewakili aspirasi dari masyarakat. Yang
betul-betul bisa membawa perbaikan moral, maupun kepemimpinan yang bersih di
bangsa ini. Dimana seharusnya partai politik yang ada merupakan partai yang
bisa menggenjot pembentukan kepemimpinan generasi selanjutnya.
Ada kader-kader
pemimpin yang baru, yang muda, yang punya segudang prestasi yang membanggakan,
yang seharusnya dibentuk oleh partai-partai politik ini. Artinya ketika mereka
sedang mengerjakan hal itu benar-benar, dipastikan bangsa kita akan mengalami
kemajuan yang signifikan.
Meskipun sepertinya
Nasdem sudah menerapkan hal itu, dengan adanya Sekolah Kader Kebangsaan buatan
mereka. Tapi, mereka sepertinya tidak bisa terlepas dari sistem politik praktis
yang ada. Ketika angin kencang ke satu arah, dipastikan akan mengikuti arah angin
tersebut, tidak berdiri kokoh. Yakni lebih memilih satu sosok yang kuat
dibanding lebih memilih kader sendiri.
Faktor
ketokohan juga menjadi penentu bisanya dicalonkan atau tidak. Dimana sepak
terjang dari sang tokoh yang diusung menjadi sangat vital. Ketika sang tokoh
hanya biasa-biasa saja, dan lebih mengandalkan uangnya, tanpa adanya gebrakan
kebijakan program yang membangun bangsa, maka jangan harap bermimpi untuk bisa
menjadi calon kepala daerah. Dimana faktor ketokohanpun bisa dibentuk oleh
partai politik tersebut.
Oleh karena
itu, wahai kita para pemuda, jangan pesimis dengan kondisi perpolitikan kita
sekarang ini. Mari kita terus, berbenah diri, membangun diri, terus berjuang dan tidak
mengenal lelah. Berusaha untuk selalu jujur dan punya komitmen yang tinggi
dalam membangun bangsa ini.
Meskipun stigma
seperti yang ada di Sumatera utara, yang disingkat SUMUT, yakni Semua Urusan Musti
Tunai. Artinya segala urusan harus dibarengin dengan uang, hal itu tidak akan
bertahan lama. Kita akan melihat Sumut Baru, ketika akhirnya dipimpin oleh
pemimpin yang benar-benar bersih, dan berintegritas.
Semoga di
masa-masa pilkada ini, kekondusifan, kedamaian, keamanan terus terpancar. Supaya
bangsa kita bisa segera membangun dengan kepala-kepala daerah terpilih
nantinya. Yang tentunya yang terpilih
adalahkepala-kepala daerah yang terbaik, kepala daerah yang jujur, kepala
daerah yang bukan hanya punya program yang penting beda, tapi membingungkan
masyarakat. Juga kepala daerah yang betul-betul murni menang bukan karena
menggunakan SARA, ayat ataupun mayat untuk bisa memenangkan kontestasi pilkada
di bangsa kita ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar