Sabtu, 26 Agustus 2017

Dimanakah Letak Keadilan Itu


Beberapa hari lalu menerima pesan dari grup WA tentang perjalanan rombongan kepala suku yang berasal dari Papua dan Papua Barat ke kantor Wakil Presiden. Tidak tanggung-tanggung yang datang itu sebanyak 30 orang. Kupikir cuma berita hoax dan sempat kuabaikan. Ternyata beritanya betul dan dimuat di detik.news.com (18/8).

Membaca berita ini, sebenarnya hatiku miris melihat upaya pemerintah bangsa ini yang begitu gigihnya pada satu agama dan mencoba mengabaikan agama yang sudah ada disitu. Bagiku sebenarnya bukanlah masalah jika alasan kepindahan mereka karena murni dari hati yang paling dalam. Tanpa ada banyaknya iming-iming yang begitu menggiurkan mereka. Tapi pada faktanya “para utusan” lebih sering menggunakan jalur itu sebab memang disokong oleh “tangan yang kuat” yakni pemerintah.

Sementara mereka yang sudah ada berpuluh-puluh tahun-tahun menjalankan ibadah dibeberapa wilayah bangsa ini seperti di Bogor, Bekasi dan lain-lainnya, dirampas haknya untuk bisa menjalankan ibadah tersebut. Ditutup paksa semua gedung yang sudah berpuluh-puluh tahun digunakan padahal sudah memiliki ijin. Bahkan ketika sudah disegelpun dan proses hukum sudah dimenangkan oleh mereka sekalipun dianggap nihil oleh kepala daerah yang berkuasa saat itu. Seakan-akan kepala daerah yang lebih berkuasa dari hukum bangsa ini.

Status mereka sekarang, kedua gereja ini, GKI Yasmin dan HKBP Philadelpia, masih harus menjalankan ibadah mereka di depan istana. Ternyata sudah lima tahun lebih berlalu sejak Februari 2012, negara ini abai dan membiarkan ini terus berlangsung tanpa ada penyelesaian. Aku sendiripun sudah sempat lupa tentang berita ini, tapi karena sejak adanya ketimpangan keadilan yang dilakukan oleh pemerintah bangsaku, aku harus bersuara, menyuarakan ini.

jemaat GKI Yasmin dan Filadelfia di Hadapan Istana

Warga gereja GKI Yasmin maupun HKBP Philadelpia awalnya sih senang, ketika dihambat, namun masih bisa menyelenggarakan di depan Istana. Seakan-akan mendapat blessing in disguise berkat ditengah kepahitan. Tapi mau sampai kapan ini berlangsung. Kompas (9/7) memberitakan mereka sudah melaksanakan ibadah ke-147 di depan Istana. Dan sudah dua pemerintahan berlangsung, tapi belum ada penyelesaian.

Mereka punya hak, mereka punya ijin resmi, mereka mendapatkan putusan MA, PTUN, bahkan Ombusdman, tapi, itu semuanya seakan-akan sia-sia dan tak berguna. Jikalau pemerintahnya abai bagi kebutuhan masyarakat ini, yang juga punya hak yang sama dan dilindungi oleh UUD tahun 1945.

Jangankan itu akhir tahun lalu, di Bandung, rekan-rekan yang mau menyelenggarakan ibadah Natal, harus mendapatkan penghentian paksa oleh beberapa ormas yang tidak mengindahkan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang berbhinneka. Meskipun akhirnya mendapatkan kesempatan kedua untuk bisa menggelar hajatan tersebut.

Dimanakah letak keadilan bangsa ini, jika pemerintah ini selalu mengedepankan kebutuhan satu hal dan mengabaikan kebutuhan orang lain. Jika pemerintah saja, sanggup untuk memberangkatkan haji “orang khusus dari Papua” dengan jalur khusus “mendapatkan undangan Raja Arab” secara langsung. Sementara kenapa banyak orang yang harus antri hingga berpuluh-puluh tahun, bahkan sampai masa tua-nya pun akhirnya baru bisa mendapatkan kesempatan berangkat menunaikan panggilan ibadah-nya. Kenapa tidak bisa memperlakukan sama semua penduduknya. Dan kalau bisa juga, kenapa tidak memberangkatkan pendeta-pendeta yang berprestasi untuk berangkat ke ‘tanah suci’-nya juga.

Pasti ada sesuatu yang memang sedang gencar-gencarnya dilakukan untuk bisa menuai para mualaf yang berasal dari ‘Tanah Injil-Papua’. Mengedepankan orang-orang tertentu dan mengabaikan yang lain, pasti ada suatu misi terselubung yang sedang dikerjakan.

Bahkan segala fasilitas-fasilitas untuk bisa memualafkan orang-orang Papua sudah sangat lengkap dibangun di daerah Bekasi, Kec. Setu, di Desa Taman Sari. Dan hampir ribuan orang anak-anak Papua difasilitasi untuk diberangkatkan kesana setiap tahunnya.  

Tulisan ini, bukan untuk menjadi sebuah provokasi, yang mau mencoba menggiring opini supaya bangsa kita tidak damai, bukan. Tapi pengen menjadi sebuah ‘pijakan awal berpikir jernih’ untuk bisa melakukan keadilan bagi bangsa ini. Bukankah Bapak Wakil Presiden, Jusuf Kalla, pernah menyampaikan pada acara peringatan hari Konstitusi, tanggal 18 Agustus lalu, tepat dimana ketika kunjungan para Kepala Suku yang sudah mualaf berkunjung ke Istana Bapak. Bapak menyampaikan supaya bangsa kita tidak boleh mengabaikan keadilan dalam mencapai suatu kemakmuran.

Saya mendukung pernyataan bapak itu, untuk menegakkan keadilan dulu, baru bisa tercipta yang namanya kemakmuran bagi bangsa ini. Artinya, ketika Pemerintah sudah memfasilitasi yang satu, jangan abai memberi fasilitas kepada yang lain juga. Terkhusus masalah kasus dua gereja yang ada di Bogor dan di Bekasi sekarang ini. Dimanakah letak kehadiran Pemerintah bangsa ini?? Perlu dipertanyakan. Masak pemerintah pusat bisa dikalahkan oleh otonom seorang kepala daerah. Juga apakah layak seorang pemerintah atau pejabat daerah melanggar undang-undang yang sudah punya kekuatan hukum tetap.

Bagaimana yah nanti pencalonan walikota tersebut, yang dengar-dengar mau mengajukan diri untuk menjadi pemimpin di tingkat provinsi di pilkada mendatang. Sementara prestasinya dan kemauan untuk menegakkan keadilan ditingkat kota tidak ada.

Berharap keadilan dan rasa keadilan itu bisa terjadi di bangsa ini. Saling membangun dan saling mendukung meskipun kita berbeda secara agama. Keadilan itu juga ditunjukkan dengan adanya saling penerimaan satu dengan yang lain. Baik saling menerima pendapat maupun pendirian masing-masing. Tanpa adanya pemaksaan suatu pemahaman yang lain ke orang tertentu. 

Juga keadilan tersebut tecipta jika tidak ada pembeda-bedaan yang dilakukan oleh pemerintahnya. Ketika melakukan satu hal ke yang satu, minimal jangan abai kepada yang lainnya juga. Yang satu didukung dengan bantuan keuangan maupun fasilitas yang kuat, sedang yang satu dibiarkan sekarat hingga tak berdaya lagi. Jangan sampai.

Serta terakhir, keadilan tercipta jika kita taat hukum dan undang-undang yang sedang berlaku. Tidak ada kita, satupun yang mendapatkan hak istimewa dimata hukum. Sebab semua kita sama dimata hukum. Ketika berani menuntut orang untuk dihukum karena suatu kelalaian yang mungkin dibuatnya, tapi ketika kita melakukan kesalahan, malah lari meninggalkan masalah tersebut dan mau meminta pengampunan pula. Dimana nantinya keadilan itu bisa tercipta.

Kiranya Bangsa kita bisa semakin menjadi bangsa yang berkeadilan sekaligus makmur. Harapannya.

Penulis adalah Komunitas PESAT, pemerhati sosial dan pengajar di STT Terpadu Pesat Sibolangit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...