Beberapa hari lalu menerima pesan
dari grup WA tentang perjalanan rombongan kepala suku yang berasal dari Papua
dan Papua Barat ke kantor Wakil Presiden. Tidak tanggung-tanggung yang datang
itu sebanyak 30 orang. Kupikir cuma berita hoax dan sempat kuabaikan. Ternyata
beritanya betul dan dimuat di detik.news.com (18/8).
Membaca berita ini, sebenarnya
hatiku miris melihat upaya pemerintah bangsa ini yang begitu gigihnya pada satu
agama dan mencoba mengabaikan agama yang sudah ada disitu. Bagiku sebenarnya bukanlah
masalah jika alasan kepindahan mereka karena murni dari hati yang paling dalam.
Tanpa ada banyaknya iming-iming yang begitu menggiurkan mereka. Tapi pada
faktanya “para utusan” lebih sering menggunakan jalur itu sebab memang disokong
oleh “tangan yang kuat” yakni pemerintah.
Sementara mereka yang sudah ada
berpuluh-puluh tahun-tahun menjalankan ibadah dibeberapa wilayah bangsa ini
seperti di Bogor, Bekasi dan lain-lainnya, dirampas haknya untuk bisa
menjalankan ibadah tersebut. Ditutup paksa semua gedung yang sudah
berpuluh-puluh tahun digunakan padahal sudah memiliki ijin. Bahkan ketika sudah
disegelpun dan proses hukum sudah dimenangkan oleh mereka sekalipun dianggap
nihil oleh kepala daerah yang berkuasa saat itu. Seakan-akan kepala daerah yang
lebih berkuasa dari hukum bangsa ini.
Status mereka sekarang, kedua
gereja ini, GKI Yasmin dan HKBP Philadelpia, masih harus menjalankan ibadah
mereka di depan istana. Ternyata sudah lima tahun lebih berlalu sejak Februari
2012, negara ini abai dan membiarkan ini terus berlangsung tanpa ada
penyelesaian. Aku sendiripun sudah sempat lupa tentang berita ini, tapi karena
sejak adanya ketimpangan keadilan yang dilakukan oleh pemerintah bangsaku, aku
harus bersuara, menyuarakan ini.
![]() |
jemaat GKI Yasmin dan Filadelfia di Hadapan Istana |
Warga gereja GKI Yasmin maupun
HKBP Philadelpia awalnya sih senang, ketika dihambat, namun masih bisa
menyelenggarakan di depan Istana. Seakan-akan mendapat blessing in disguise berkat ditengah kepahitan. Tapi mau sampai
kapan ini berlangsung. Kompas (9/7) memberitakan mereka sudah melaksanakan
ibadah ke-147 di depan Istana. Dan sudah dua pemerintahan berlangsung, tapi
belum ada penyelesaian.
Mereka punya hak, mereka punya
ijin resmi, mereka mendapatkan putusan MA, PTUN, bahkan Ombusdman, tapi, itu
semuanya seakan-akan sia-sia dan tak berguna. Jikalau pemerintahnya abai bagi
kebutuhan masyarakat ini, yang juga punya hak yang sama dan dilindungi oleh UUD
tahun 1945.
Jangankan itu akhir tahun lalu,
di Bandung, rekan-rekan yang mau menyelenggarakan ibadah Natal, harus
mendapatkan penghentian paksa oleh beberapa ormas yang tidak mengindahkan bahwa
bangsa kita adalah bangsa yang berbhinneka. Meskipun akhirnya mendapatkan
kesempatan kedua untuk bisa menggelar hajatan tersebut.
Dimanakah letak keadilan bangsa
ini, jika pemerintah ini selalu mengedepankan kebutuhan satu hal dan
mengabaikan kebutuhan orang lain. Jika pemerintah saja, sanggup untuk
memberangkatkan haji “orang khusus dari Papua” dengan jalur khusus “mendapatkan
undangan Raja Arab” secara langsung. Sementara kenapa banyak orang yang harus
antri hingga berpuluh-puluh tahun, bahkan sampai masa tua-nya pun akhirnya baru
bisa mendapatkan kesempatan berangkat menunaikan panggilan ibadah-nya. Kenapa
tidak bisa memperlakukan sama semua penduduknya. Dan kalau bisa juga, kenapa
tidak memberangkatkan pendeta-pendeta yang berprestasi untuk berangkat ke
‘tanah suci’-nya juga.
Pasti ada sesuatu yang memang
sedang gencar-gencarnya dilakukan untuk bisa menuai para mualaf yang berasal
dari ‘Tanah Injil-Papua’. Mengedepankan orang-orang tertentu dan mengabaikan
yang lain, pasti ada suatu misi terselubung yang sedang dikerjakan.
Bahkan segala fasilitas-fasilitas
untuk bisa memualafkan orang-orang Papua sudah sangat lengkap dibangun di
daerah Bekasi, Kec. Setu, di Desa Taman Sari. Dan hampir ribuan orang anak-anak
Papua difasilitasi untuk diberangkatkan kesana setiap tahunnya.
Tulisan ini, bukan untuk menjadi
sebuah provokasi, yang mau mencoba menggiring opini supaya bangsa kita tidak
damai, bukan. Tapi pengen menjadi sebuah ‘pijakan awal berpikir jernih’ untuk
bisa melakukan keadilan bagi bangsa ini. Bukankah Bapak Wakil Presiden, Jusuf
Kalla, pernah menyampaikan pada acara peringatan hari Konstitusi, tanggal 18
Agustus lalu, tepat dimana ketika kunjungan para Kepala Suku yang sudah mualaf
berkunjung ke Istana Bapak. Bapak menyampaikan supaya bangsa kita tidak boleh
mengabaikan keadilan dalam mencapai suatu kemakmuran.
Saya mendukung pernyataan bapak
itu, untuk menegakkan keadilan dulu, baru bisa tercipta yang namanya kemakmuran
bagi bangsa ini. Artinya, ketika Pemerintah sudah memfasilitasi yang satu,
jangan abai memberi fasilitas kepada yang lain juga. Terkhusus masalah kasus
dua gereja yang ada di Bogor dan di Bekasi sekarang ini. Dimanakah letak
kehadiran Pemerintah bangsa ini?? Perlu dipertanyakan. Masak pemerintah pusat
bisa dikalahkan oleh otonom seorang kepala daerah. Juga apakah layak seorang
pemerintah atau pejabat daerah melanggar undang-undang yang sudah punya
kekuatan hukum tetap.
Bagaimana yah nanti pencalonan
walikota tersebut, yang dengar-dengar mau mengajukan diri untuk menjadi
pemimpin di tingkat provinsi di pilkada mendatang. Sementara prestasinya dan
kemauan untuk menegakkan keadilan ditingkat kota tidak ada.
Juga keadilan tersebut tecipta jika tidak ada pembeda-bedaan yang dilakukan oleh pemerintahnya. Ketika melakukan satu hal ke yang satu, minimal jangan abai kepada yang lainnya juga. Yang satu didukung dengan bantuan keuangan maupun fasilitas yang kuat, sedang yang satu dibiarkan sekarat hingga tak berdaya lagi. Jangan sampai.
Serta terakhir, keadilan tercipta jika kita taat hukum dan undang-undang yang sedang berlaku. Tidak ada kita, satupun yang mendapatkan hak istimewa dimata hukum. Sebab semua kita sama dimata hukum. Ketika berani menuntut orang untuk dihukum karena suatu kelalaian yang mungkin dibuatnya, tapi ketika kita melakukan kesalahan, malah lari meninggalkan masalah tersebut dan mau meminta pengampunan pula. Dimana nantinya keadilan itu bisa tercipta.
Kiranya Bangsa kita bisa semakin menjadi bangsa yang berkeadilan sekaligus makmur. Harapannya.
Penulis adalah Komunitas PESAT, pemerhati sosial dan pengajar di STT Terpadu Pesat Sibolangit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar