![]() |
GPdiKlaten.blogspot.co.id |
Begitu banyaknya orang-orang yang
ingin mengejar jabatan. Sebab memang ketika menjadi pejabat ada begitu banyak
otoritas yang bisa dipergunakan. Menjadi pejabat tidaklah salah, jika memiiliki
niat yang baik. Niat yang membangun dan menyejahterahkan rakyat. Sebab terkadang
ketika dia sudah mendapatkan jabatan dia lupa bahwa dia adalah seorang
pemimpin. Yang selayaknya memimpin anggota-anggota yang ada dibawahnya kejalan
yang benar. Bukan malah menjadi contoh yang tidak baik.
Guru dan dosen adalah salah satu
jabatan yang diemban oleh seseorang. Juga sekaligus menjadi pemimpin akademik
setiap mahasiswa yang sedang mengambil mata kuliah tersebut. Tak jarang para
guru maupun dosen yang notabene adalah pendidik, “bermain”. Dalam artian
mengambil keuntungan dikala ada kesempatan.
Mendengar banyaknya keluhan dari
rekan-rekan yang pernah mengecap dunia pendidikan tinggi sekarang ini, plus ditambah pengalaman pribadi penulis
di beberapa puluh tahun yang lalu, ternyata tidak beda pola-pola yang
diterapkan. Hal itu akan sangat terasa sekali ketika akan segera mengakhiri
masa-masa pendidikan, yakni menjelang proposal hingga akhirnya ujian meja
hijau.
Banyak para dosen ataupun
pengajar yang akan bertingkah layaknya seperti seorang dewa. Yang berhak
memutus apakah mahasiswa ini yang oke deal
dan yang ini masih dalam daftar antrian. Artinya ketika si mahasiswa tidak mau
menuruti keinginan para dosen pembimbing yang terkesan semena-mena dan
memaksakan, niscaya karya tulis ataupun tesis-nya akan mengalami banyak
kemandekan. Apalagi ketika itu berbau yang namanya uang. Seakan-akan uang
menjadi pelicin kegiatan akademik supaya cair suasana dan hati para dosen dalam
membimbing dan mengarahkan.
Ketika si mahasiswa turut akan pusaran
keinginan para dosen, yang tak jarang juga mengajak untuk bimbingan di
cafe-cafe terkenal, atau tempat-tempat hiburan dan menyenangkan, pastilah karya
tulis ataupun tesisnya bisa cepat selesai. Cerita dari beberapa teman yang
sempat share kesaya. Meskipun aku tidak mendapatkan pengalaman itu dulu.
Kalau ceritaku beda. Ketika sudah
selesai seminar proposal, si dosen penguji yang kebetulan sudah profesor,
menyatakan bahwa proposalku harus diganti. Kemudian ketika aku bertanya bagian
mana yang mau diganti. Dia menegaskan semua. “Apanya bu?”, kucoba untuk
mempertegas lagi. Panjang dan lebar cerita dan penjelasannya tidak masuk akal,
tapi ujung-ujungnya ternyata dia meminta sejumlah uang kepadaku. Keinginan si
Ibu profesor tersebut tidak kuikuti dan dia akhirnya tetap kepada keputusannya
untuk segera menggagalkan aku. Kebetulan kemarin pengujiku ada tiga, yang dua
dosen ini menyatakan tidak perlu diganti, cukup menambahkan sejumlah materi dan
cukup. Aku menyelesaikan apa yang kurang dan mereka akhirnya mempersilahkan dan
menandatangani berkasku untuk lanjut ke tahap penelitian.
Kemudian atas dorongan dan
nasehat dosen pembimbingku, untuk segera menemui sang ibu profesor. Menjelaskan
bahwa dosen penguji yang lain sudah Acc
atau oke dan menunjukkan tanda tangan mereka, kemudian pada akhirnya diapun
turut menandatanganinya.
Masalah klasik dalam dunia
pendidikan kita adalah uang. Baik uang penghargaan, uang kebersamaan, uang
ujian sidang (untuk konsumsi para penguji), uang bingkisan karena sudah
mendidik. Yang notabene itu tidak terdapat dalam peraturan kampus, mewajibkan
seluruh mahasiswa untuk harus terlibat dalam praktek-praktek seperti itu.
Menyatakan bahwa ini adalah
keputusan bersama dengan para mahasiswa lainnya. Dimana ketika kita tidak ikut
dalam kesepakatan mereka, pastilah kita akan diasingkan sekaligus dizolimi. Penekanan mereka yang paling
tampak adalah menurunkan hasil ujian kita. Yang seharusnya mendapatkan nilai
A akhirnya hanya mendapatkan nilai B. Itupun
masih mending. Bagaimana jika digagalkan? Sulit untuk dibayangkan bagaimana
kisah kelanjutannya.
Ada beberapa kejanggalan lagi
yang tampak jelas dimata penulis saat ini, hal ini perlu disorot supaya bisa
diperbaiki kedepannya.
Adanya perbedaan pelayanan pihak
kampus kepada mahasiswa ataupun organisasi kemahasiswaan yang muslim dengan
yang non-muslim. Seakan-akan mahasiswa non muslim ataupun organisasinya pasti
mendapatkan barang ataupun pelayanan tingkat dua. Adanya pembedaan-pembedaan
yang sulit untuk diterima alasan-alasan yang dikemukakan. Contohnya dalam
pemakaian fasilitas kampus, berupa gedung. Yang dulunya masih bisa digunakan
gedung Auditorium yang nyaman, untuk kegiatan-kegiatan ibadah kristiani,
sekarang dikeluarkan kebijakan tidak boleh lagi. Tapi ketika dicek
pemakaiannya, untuk mahasiswa dan kegiatan kemahasiswaan yang muslim, ternyata
sebegitu gampangnya untuk memakai gedung tersebut.
Minimnya sikap melayani yang
dimiliki oleh para pejabat maupun pemimpin kita saat ini, terkhusus para guru
maupun dosen, perlu untuk dibahas segera. Fenomena-fenomena tersebut memang
masih terbatas hanya dalam dunia pendidikan tinggi, khususnya ketika menjelang
menyelesaikan tugas akhir. Bagaimana dengan bidang lainnya.
Dalam dunia kesehatan
Pelayanan kesehatan juga ada
begitu banyak praktek-praktek pembedaan kepada para pasien. Pasien yang datang
dengan kartu BPJS-nya dipastikan akan mendapatkan pelayanan yang asal-asalan
dari petugas kesehatan. Bahkan cenderung akan mendapatkan pengabaian dari pihak
rumah sakit. Sebab mungkin dalam pikiran petugas kesehatan tersebut, “ah si
pasien ini pasti gak ada uangnya, makanya pakai kartu-kartu itu”.
Lain lagi ketika si pasien datang
dengan menggunakan asuransi yang bonafit ataupun si pasien tersebut punya
kantong tebal, dipastikan apapun yang diminta pasien pasti akan dituruti oleh
si petugas kesehatan. Akan begitu mudahnya mendapatkan layanan kelas atas atau
kelas satu serta mendapatkan prioritas pertama dari rumah sakit. Hal ini bukan
rahasia umum lagi dan kenyataannya sudah banyak yang terjadi. Apalagi kalau
kita cek akun-akun media sosial kita, tak sedikit orang yang memposting
layanan-layanan kesehatan yang sebegitu jeleknya yang ditawarkan oleh pihak
medis, hanya karena menggunakan Kartu BPJS yang ada.
Dilayani memang dilayani oleh
mereka. Tapi semangat dan jiwanya untuk melayani dengan sebaik mungkin sudah
tidak tercermin dari muka para petugas medis. Kecerian dan senyum yang natural
dipastikan tidak terpancar dimuka mereka ketika kita sudah memakai kartu BPJS.
Tantangan Pemimpin kedepan
Ditahun 2018 dan tahun 2019 kita
akan turut dalam pemilihan umum, baik ditingkat regional maupun pusat. Indonesia
membutuhkan pemimpin-pemimpin yang sukanya adalah melayani masyarakat dengan
tulus dan tidak pakai embel-embel. Mencari pemimpin yang melayani bukan untuk
dilayani. Pemimpin yang mau keluar dari zona nyaman dan tidak terus mencari
kemapanan hidup, melainkan terus berimprovisasi dalam membuat
terobosan-terobosan yang mempercepat pembangunan bangsa kita.
Kebijakan-kebijakan yang dibuat
bukan hanya sampai di kertas keputusan semata, melainkan ada implementasi yang
dikerjakan. Kebijakan-kebijakan yang bukan hanya bisa diterapkan ditingkat
pusat saja, melainkan bisa dilihat kinerjanya sampai ke akar masyarakat yang
paling bawah.
Perlunya pemimpin yang turun
langsung ke bawah melihat bagaimana proses kerja yang sudah dilakukan. Dan hal
ini sudah dilakukan oleh Bapak Jokowi selama ia memimpin. Berharap beliau bisa
menang lagi di periode berikutnya. Dan tidak dikalahkan oleh isu-isu miring
yang berusaha menjatuhkan nama baik bapak presiden kita. Seperti yang sedang
gencar-gencarnya dilakukan pihak lawan sekarang ini, memakai isu-isu banci dan murahan tersebut.
Berharap bisa menyelesaikan
masalah minimnya sikap yang mau melayani dengan sungguh-sungguh. Ketika sudah
diberi amanah atau tanggung jawab dalam mengemban jabatan apapun itu, bisa
bekerja dengan sebaikmungkin dan selalu memberikan yang terbaik. Bekerja bukan
karena melihat berapa isi dompetnya, apa profesinya, apa jabatannya. Juga yang
tidak kalah penting, tidak melayani bukan hanya karena adanya perbedaan suku,
agama maupun ras.
Kurangnya memiliki sikap dan jiwa
yang mau melayani dengan sungguh-sungguh. Itu bisa dikikis jika kita memiliki
pemimpin yang sejati, mau bekerja, mau melayani, turun kebawah langsung, melihat,
menyaksikan langsung, serta mengevaluasi apa-apa yang sudah dikerjakan dan
belum dikerjakan.
Berharap dunia kesehatan dan
dunia pendidikan segera berbenah diri lagi, untuk bisa menampilkan bahwa kita
sudah berubah menjadi Indonesia yang lebih baik lagi. Berharap cerita dan
pengalaman-pengalaman dulu dan sekarang ini, tidak terjadi dan terulang lagi di
masa mendatang. Para guru, dosen dan para medis, mari berbenah diri untuk
memberikan layanan yang terbaik kepada semua orang. Terkhusus daerahku Sumatera
Utara yang disingkat dengan SUMUT, di tahun 2018 bisa dipimpin oleh pemimpin
yang memiliki kriteria diatas.
Penulis adalah pemerhati sosial dan pengajar di STT Terpadu Pesat Sibolangit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar