Kamis, 24 Agustus 2017

Masihkah ‘Aku’ Terindikasi (Tidak) Jujur


Sejak kemarin dan hari ini, 23 & 24 Agustus telah terjadi lagi tangkap tangan oleh KPK terhadap pejabat publik kita. Seakan-akan menandakan tiada akan berakhirnya peristiwa ketidakjujuran di bangsa kita ini. Hampir setiap hari peristiwa tangkap tangan dilakukan oleh KPK dan beritanya selalu menghiasi di seluruh media-media yang ada,baik cetak, online, ataupun televisi. Sebelum kejadian terhadap Dirjen Perhubungan, telah terjadi juga peristiwa tangkap tangan kepada panitera pengadilan di Jakarta. Sampai-sampai kita bosan dengarnya dan menyaksikannya.

Sebenarnya melalui peristiwa itu juga, baik secara langsung atau tidak langsung, kita tentunya belajar bagaimana untuk tidak jujur dan akhirnya melakukan korupsi. Sebab kita, saban hari selalu dicokoli dengan pemberitaan-pemberitaan seperti itu. Dan akhirnya mengeluarkan statement, pemimpin saya aja bisa ‘begitu’ masak saya gak bisa.

Menurut Radhar Panca Dahana, seorang budayawan, yang dimuat pada opini Kompas (1/8), menyampaikan ada tiga praktek ketidakjujuran. Pertama adalah “dusta elektoral”, dimana seharusnya rakyat yang menjadi panglima penentu pemimpin mereka, akhirnya berubah. Para pemimpin tersebut yang ada dimulai sejak pemilihan  sudah merupakan barter jatah kekuasaan dari elite penguasa pemimpin ataupun para elit partai. Sehingga terjadinya atau adanya arisan kekuasaan.

Kedua adalah “dusta regulasional”. Membuat kebijakan-kebijakan atau regulasi-regulasi yang seakan-akan mengedepankan kepentingan rakyat jelata, eh tahunya, malah mengakomodir kepentingan pengusaha, elite, maupun pemerintah yang ada. Ketiga adalah “dusta implementasional”, dimana dusta ini yang paling kasat mata bisa kita saksikan sehari-hari di pelbagai media. Menggunakan kekuasaan, amanah, dan fasilitas untuk bisa memperkaya diri sendiri, maupun orang lain.

Dalam kategori ketiga,”dusta implementasional” ada banyak modus-modus baru yang digunakan untuk bisa menelikung uang rakyat. Seperti peristiwa tangkap tangan hari ini, melalui konferensi pers yang digelar KPK tadi sore (24/8), bahwa pengusaha membuatkan atm fiktif yang nantinya akan diserahkan kepihak Dirjen Perhubungan. Jadi seolah-olah membuka rekening baru atas nama perusahaan, tapi akses penggunaannya bisa dilakukan oleh pihak yang menerima. Bersyukur KPK bisa mengendus peristiwa ini dan langsung mengadakan penindakan.

Dulunya bangsa kita adalah bangsa yang sangat beradab, mengenal dan tahu rasa malu itu bagaimana. Tapi sekarang, ketika sudah ada orang yang ditangkap atas tuduhan korupsi, malah bisa dengan gagahnya berjalan dan sambil tersenyum kepada masyarakat. Menyatakan bahwa ini adalah cobaan baginya. Tapi sebelum tertangkap, menyatakan bahwa ini adalah berkat atas semua jerih payahnya.

Virus ketidakjujuran ini sekarang sudah hampir mengena kepada seluruh elemen masyarakat. Baik muda, tua, anak-anak, bahkan balita sekalipun sudah tahu namanya bohong itu bagaimana. Baik pejabat pusat, daerah, bahkan masyarakat biasa sekalipun sudah pasti pernah melakukan kebohongan. Tapi bagaimana bangsa kita bisa menyikapinya.

Abdurahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gusdur, pernah berkata, : “Indonesia tidak akan hancur karena bencana karena Indonesia tempatnya bencana. Indonesiapun tidak akan hancur karena keberagaman karena Indonesia beragam sejak dulu. Namun Indonesia bisa hancur karena kebejatan moral kaum elite dan keputusasaan kaum elite.”

Dan memang benar yang dikatakan beliau, kita bisa hancur, jika semakin banyak orang yang bejat menghuni segala macam bangku kekuasaan. Dengan kebejatan moralnya, bisa melakukan hal apapun itu, asal perutnya bisa dikenyangkan oleh berbagai macam harta duniawi. Tidak peduli bagaimana rakyat yang dia pimpin, asalkan melihat tenang dan ayem kondisi masyarakat secara semu cukuplah itu. Ketika ada orang yang berani mengungkapkan kebejatannya, dengan segala macam upaya, untuk membungkam orang tersebut, baik dengan cara halus sampai dengan cara kekerasan.

Bersyukur juga, bahwa bangsa kita sudah menerbitkan undang-undang yang bisa menindak korporasi, baik akibat kesalahan yang dilakukan karena unsur sengaja maupun karena tidak sengaja. Dan hal itu termuat pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016. Korporasi bisa ditindak jika melakukan hal berikut. Pertama, jika terjadinya kejahatan itu memberikan manfaat atau keuntungan maupun untuk kepentingan korporasi. Kedua, apabila korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.Ketiga, jika korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan guna mencengah dampak lebih besar setelah tindak pidana terjadi.

Jadi bukan hanya pejabat dari korporasi tersebut yang ditindak, lembaga perusahaan, yayasan ataupun partai, semuanya bisa ditindak dan dilakukan segala proses hukumnya. Seperti yang sudah dilakukan KPK terhadap PT Nusa Konstruksi Enjinering TBK, atas dugaan korupsi proyek pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi tahun 2009-2011.   

Artikel ini sebenarnya kutujukan untuk diriku. Menilai sudah sejauh mana ‘kebejatan’ yang mungkin sudah aku lakukan selama ini. Memang tidak bisa kupungkiri bahwa aku selalu berjalan mulus tanpa adanya kecacatan sana-sini yang mungkin sudah terjadi. Baik secara sadar maupun tidak sadar hal tersebut bisa terjadi. Melakukan praktek-praktek curang dalam kegiatanku sehari-hari. Terutama dalam pelaporan keuangan. Melampirkan nota-nota buatan untuk mengesahkan laporan keuangan tersebut.

Awal niatnya sih baik, seperti menghemat untuk tidak makan diluar ketika ada kegiatan diluar, karena memang ada jatah makan, akhirnya membuat nota makan, sudah makan diluar. Juga bensin, meminta nota kosong kemudian mengisinya tidak sesuai bensin yang kita isikan. Dan banyak kebejatan lainnya yang tidak mungkin kuutarakan disini. Yang sebenarnya, ketika melakukan hal-hal tersebut, merasa tidak pantas disebut sebagai Anak Tuhan, yang notabene bekerja dalam tanda kutip, bidang “pelayanan”.

Meskipun nilainya tampaknya kecil bagi kita, itu justru sama saja dihadapan Tuhan. Sebab tidak ada penilaian bahwa ini itu, dosa besar maupun dosa kecil. Bagaimana seandainya ketika aku dipercayakan kepada tanggung jawab yang lebih besar. Masihkah mampu untuk berkata tidak kepada ketidakjujuran tersebut.

Untuk bisa menuliskan hal inipun, aku harus berhati-hati. Tidak mau menyinggung orang lain dan biarlah diriku yang dikenakan sebagai contoh. Sebab memang pada faktanya, ketika kita bisa menyurvei di sekeliling kita, orang lain-pun sepertinya terlibat seperti yang aku lakukan.

Seperti baru-baru ini juga, ada teman yang mau mengurus surat balik nama atas tanah dan rumah di kantor kepala desa hingga ke camat, ada-ada saja oknum, bahkan dengan terang-terangan meminta sejumlah fee dari surat-surat yang mau  diurus tersebut. Padahal hal tersebut tidak ada dalam peraturan ataupun undang-undang yang berlaku. Bahkan berani meminta sebanyak 20 persen dari nilai tanah dan bangunan tersebut di tingkat camat, 10 persennya lagi ditingkat desa. Belum lagi pengurusan surat-surat tersebut kepihak instansi terkait lainnya.

Padahal Pemerintahan Bapak Jokowi dengan tegas menentang praktek-praktek pungli. Tapi sepertinya belum bisa menyasar ke tahap teknis di tingkat desa maupun kecamatan. Sebab hal tersebut akan sulit nantinya dibuktikan,kecuali kalau pembicaraannya direkam sebagai alat bukti. Untuk melakukan hal ini juga pastinya banyak resiko yang nantinya kita akan hadapi. Baik berupa resiko pengancaman ketika hal tersebut sudah disampaikan maupun resiko akan penganiayaan secara langsung oleh si oknum maupun utusannya.

Tapi untuk membuat baik bangsa kita ini, dibutuhkan yang namanya pengorbanan. Tapi sebelum melakukan pengorbanan, ada baiknya kita sendiripun seharusnya lebih bisa berintropeksi diri dulu. Sebab memang pada faktanya lebih mudah untuk melihat selumbar di mata teman, padahal ‘gajah’ dimata kita sendiri sulit untuk  dilihat. Hal-hal ketidakjujuran meskipun tampaknya kecil dan nilainya kecil, tidak pantas untuk dilakukan oleh kita sebagai penerus anak bangsa.

Kedua, berani mengakui kesalahan yang mungkin pernah kita lakukan dan juga sekaligus berani untuk mempertanggungjawabkannya. Bukan hanya dihadapan sesama kita, dihadapan Tuhan tentunya segala perbuatan tersebut akan kita pertanggungjawabkan. Sekaligus tidak mengulangi lagi kesalahan-kesalahan yang sama tersebut dikemudian hari.

Ketiga, hal yang bisa kita lakukan adalah berani untuk selalu berkata jujur dan sekaligus menyuarakan kebenaran dan kejujuran tersebut dihadapan publik meskipun banyak yang pada akhirnya menentang akan keputusan kita. Meskipun banyaknya tekanan, ancaman, dan bahkan penganiayaan yang mungkin diterima ketika berani menyuarakan kebenaran tersebut, tidak akan pernah takut dan goyah.


Keempat, perlunya ada sistem yang jelas dalam pengorganisasian perusahan ataupun lembaga pelayanan, maupun dipemerintahan sekalipun. Pak Ahok sebelumnya juga dulu sewaktu menjabat sebagai Gubernur di DKI, dengan gencar-gencarnya membuat pelaporan keuangan dengan system e-bugdeting  dan pelaporannya semuanya dilakukan dengan online. Sehingga masyarakat bisa mengawasi seluruh penggunaan dananya mulai dari penganggarannya hingga ke implementasinya bagaimana.

Sistem yang jelas, pengorganisasian yang jelas, alur komunikasi yang jelas, serta pembagian tugas yang jelas, bahkan pelaporan yang terinci dan kalau bisa menggunakan sistem daring, tentunya akan bisa menolong untuk berbuat sesuai dengan tugas dan tanggung jawab kita. 

Diakhir dari tulisanku ini, masihkah “Aku” terindikasi tidak jujur. Biarlah kita menjawab dalam diri kita masing-masing. Dan berharap ini bisa menjadi renungan dan refleksi bagi kta bersama didalam menghadapi banyaknya perubahan dan tantangan yang akan semakin sulit dikemudian hari. In God we can do the Best Thing-Didalam Tuhan kita bisa melakukan hal yang paling baik. 

Penulis adalah komunitas PESAT, Pemerhati Sosial, dan Pengajar di STT Terpadu Pesat Sibolangit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...