Jumat, 18 Agustus 2017

Telatnya Ekonomi Kerakyatan Bernama Koperasi

sumber gambar; forum negarawan muda

Tanggal 18 Agustus merupakan hari ulang tahun konstitusi dari negara kita. Setelah memproklamasikan kemerdekaan kita pada tanggal 17 Agustus 2017, para Founding Father kita dahulu, langsung menetapkan secara resmi konstitusi dari negara kita tercinta ini. Yang mana pembahasannya telah lebih dulu dilakukan 8-9 hari sebelum kemerdekaan di tahun 1945.

Ada satu hal yang menarik dibahas pada hari konstitusi negara kita. Bapak Zulkifli Hasan sebagai Ketua MPR RI 2014-2019, menyampaikan tentang ekonomi kerakyatan. Beliau menegaskan bahwa ternyata 40 persen perekonomian bangsa kita dikuasai oleh satu persen penduduk Indonesia. Itu berarti konsep ekonomi kerakyatan yang sudah lama digaungkan oleh Bapak Moh. Hatta dengan sistem koperasinya telah gagal.

Undang-undang yang membahas tentang koperasipun tampaknya mengalami banyak stagnasi. Pemerintah seakan-akan setengah hati untuk membahas dan mengimplementasikan undang-undang koperasi tersebut. Sempat dibentuk UU Koperasi nomor 17 pada tahun 2012, tapi pada akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Untuk menghindari kekosongan hukum, Mahkamah menyatakan berlaku kembali UU Perkoperasian 1992. ”Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya UU yang baru,” kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 28/PUU-XI/2013 di ruang sidang MK, Rabu (28/5).

Mahkamah menilai bahwa undang-undang koperasi no 17 tahun 2012, telah mengalami reduksi dan kehilangan esensi dari roh koperasi itu sendiri. Dan tidak sesuai dengan amanat UU pasal 33, yang menekankan pentingnya asas kekeluargaan, sukarela dan terbuka. Terjadi pergeseran yang seharusnya mengutamakan modal sosial (adanya asas kekeluargaan, dan bersifat sukarela dan terbuka) menjadi lebih mengutamakan skema permodalan materiil dan finansial yang menjadi modal usaha bersama dalam koperasi tersebut.

Sejak Bapak Moh. Hatta yang mencetuskan bahwa ekonomi kebangsaan kita seharusnya berlandaskan koperasi, sekarang semuanya seakan-akan terlambat untuk direalisasikan. Bangsa kita yang tidak memilih sistem perekonomian kapitalisme maupun komunisme, dan cenderung lebih memilih  ekonomi kerakyatan melalui koperasi. Sebab para pendiri bangsa kita tahu, bahwa sistem kapitalisme maupun komunisme, tidak cocok dengan jiwa bangsa kita.

Seperti kata kata Fadli Zon dalam pemaparan disertasinya yang berjudul Pemikiran Ekonomi Kerakyatan Mohammad Hatta (1926-1959), menyatakan,  “Memutar kembali perekonomian, kapitalisme, sosialisme, dan komunisme tidak akan bisa menolong rakyat Indonesia. Hanya pemikiran yang digali dari rakyat Indonesia sendirilah yang bisa menolong. Pemikiran Mohammad Hatta sangat terpatri dalam hati rakyat Indonesia,”. Semua peristiwa besar di dunia mendorong Hatta melahirkan sebuah pemikiran bahwa bukan “isme-isme” bangsa Eropa yang akan menolong Indonesia, tapi pemikiran atau “isme” yang digali dari kehibupan dan kebudayaan Indonesia sendiri yang bisa mengangkat ekonomi Indonesia.  Sungguh suatu pemikiran yang sangat matang dan seharusnya bisa digali lebih lagi oleh pemerintah kita pada saat ini.

Yang terjadi sekarang adalah bahwa semakin maraknya jumlah toko modern di Indonesia itu dan bahkan sudah pada level mengkhawatirkan. Sebab, berdasarkan data IKAPPI (Ikatan Pedagang Pasar Tradisional) bahwa basis pasar tradisional hanya sekitar 12.000 pasar tidak sebanding dengan jumlah gerai ritel modern yang mencapai angka 36.000 gerai. Dikatakan lagi bahwa keberadaan supermarket dan hypermarket telah memengaruhi eksistensi pasar tradisional. Banyak pasar tradisional mulai sepi pembeli karena konsumen beralih ke pasar-pasar modern. Supermarket dan pasar modern secara perlahan mengambil alih peran pasar tradisonal di masyarakat.

Pemerintah seakan-akan memiliki sikap dualisme dalam sistem perekonomian bangsa kita. Yang seharusnya bisa mencerminkan sistem perekonomian kerakyatan melalui koperasi, tapi implementasi yang dikerjakan adalah sistem perekonomian kapital. Dan kegagalan itu juga diakibatkan karena belum mantapnya pemerintah kita dalam membuat undang-undang koperasi yang berlandaskan kepada UUD 1945 maupun Pancasila.  Sudah dibahas ditahun 2012, tapi akhirnya gagal lagi dan kembali lagi ke sistem UU Perkoperasian Tahun 1992.

Berharap melalui penekanan yang sudah dilaporkan oleh Bapak Zulkifi Hasan dalam memperingati Hari Konstitusi Negara kita, maka pemerintah bisa semakin serius untuk menggarap tentang perekonomian kerakyatan. Bapak Jusuf Kalla juga senada dan mendukung apa yang dinyatakan oleh Bapak Ketua MPR kita pada acara peringatan Hari Konstitusi tersebut.

Melalui moment peringatan Hari Konstitusi ini, pemerintah kita bisa segera mengejar mengesahkan UU Koperasi yang terbaru yang bisa mengejewantahkan jiwa Pancasila kedalamnya. Sehingga akhirnya kita bisa mendorong perekonomian bangsa ini semakin lebih baik lagi.

Dampak Proses Kekiniannya

Seharusnya ketika ada UU Koperasi yang betul-betul mendorong perekonomian kerakyatan, maka kita bisa membuat usaha-usaha yang baru. Sebagai generasi millenial yang sedang produktif-produktifnya disaat  masa sekarang ini, seharusnya tidak lagi menggantungkan diri kepada usaha mencari kerja semata.  Melainkan para generasi Millenial bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.

Bagaimana yah wujudnya jika perusahaan-perusahaan kedepannya, bukan lagi dikuasai oleh satu atau dua orang yang menguasainya. Melainkan perusahaan-perusahaan besar itu berdiri karena sistem perkoperasian yang betul-betul terealisasi. Tentunya ekonomi kerakyatan sebagaimana yang sudah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 33, akan bisa terwujud pula.

Ketika aku berencana membuat suatu usaha, dan diperhadapkan dengan sistem Usaha Perkoperasian yang sudah diundang-undangkan, tentunya beban akan merealisasikan suatu peluang usaha baru tersebut tidak akan serumit ketika sendirian saja. Mempresentasikan peluang usaha baru tersebut kepada koperasi yang ada, dan akhirnya Pengurus Koperasi, bisa memutuskan dan memberikan masukan dan bahkan melibatkan beberapa anggota koperasi yang lain, yang punya minat yang sama, maka bisa dipastikan peluang usaha tersebut akan bisa terwujud dengan cepat.

Kelebihannya adalah tidak terbentur kepada permodalan sebab dimodali oleh koperasi. Proses perwujudan peluang usaha baru tersebut bisa dilakkan secara bersama-sama. Tidak stress sendirian, melainkan beban untuk merealisasikan usaha baru tersebut bisa dipikul bersama-sama. Bahkan mendapatkan tenaga-tenaga ahli yang tentunya bisa dikoneksikan oleh koperasi kita kepada koperasi lain yang mungkin sudah berhasil dibidang usaha tersebut.

Pemasaran dari produk usaha kita, juga tentunya bukan lagi menjadi masalah, sebab sudah ada yang akan menampung dari produk usahat tersebut. Baik antara koperasi dan seluruh masyarakat yang bernaung dalam koperasi tersebut yang bisa menikmati produk yang dihasilkan. Juga tentunya antara satu koperasi dengan koperasi lain yang ada didaerah lainnya. Sebab sudah terjalinnya kerjasama yang bak dan konektivitas yang baik antara satu koperasi dan koperasi yang lainnya yang ada di Indonesia ini.

Melibatkan pasar-pasar tradisional yang sudah dimodernkan, karena sudah memiliki tempat yang baik dan nyaman. Adanya fasilitas-fasilitas yang tentunya baik dan sangat menunjang keefektifan dari pengunjung maupun konsemen dalam mengakses maupun berbelanja di pasar tradisional. Koperasi dan pasar tradisional saling bersinergi dan saling mendukung, maka niscaya ekonomi kerakyatan yang sudah diimpikan oleh para Founding Father kita, tentunya akan terealisasi.

Pemerintah kita sekarang, memang sudah sangat memperhatikan pasar tradisional, dan membangun fasilitas yang juga baik, tapi akan menjadi menjadi sia-sia jika tidak adanya pembatasan kepada minimarket-minimarket, maupun hypermarket yang semakin menjamur dimana-mana. Berharap pemerintah, bukan hanya di pusat, di tingkat daerah-daerah juga tidak tergiur akan keuntungan semata yang ditawarkan oleh kaum kapital (pemilik modal) melalui minimarket maupun hypermarket. Sehingga bisa menumbuhkan geliat perekonomian di tingkat pasar-pasar tradisional.

Dan akhirnya, koperasi melalui anggota-anggotanya, juga diberikan kesempatan yang seluas-luasnya baik dalam merencanakan, memulai, mengelola dan bahkan mengevaluasi ‘usaha bersama’ tersebut. Sehingga  menghasilkan suatu produk atau jasa yang berkualitas tinggi.  Semuanya itu bisa dilakukan jika adanya payung hukum yang jelas dalam mengatur semua itu. Juga undang-undang tersebut bersifat mudah diaplikasikan secara langsung dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 maupun pancasila.  Maka pada akhirnya kita bisa mewujudkan dan merealisasikan Ekonomi Kerakyatan yang berkeadilan dan memakmurkan seluruh warga negara Indonesia.  
  
Ketika adanya akses usaha permodalan yang tentunya dipermudah, dan hal itu bisa didapatkan melalui sistem koperasi. Tentunya kita bisa mewujudkan usaha bersama dan untuk bersama. Sebab didalam koperasi tersebut ada rasa kebersamaan yang diciptakan dan bukan sikap individualisme.

Penulis adalah pemerhati Sosial dan Pengajar di STT Terpadu Pesat Sibolangit. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...