Baru-baru ini Tirto.id menyampaikan
sebuah investigasi yang dilakukan oleh Tim Evaluasi kinerja Kemeristekdikti
terhadap dunia pendidikan tinggi kita. Dan ini berkaitan dengan Universitas
yang terkenal di Jakarta, UNJ-Universitas Negeri Jakarta. Tak
tanggung-tanggung, Rektor berani menerbitkan gelar akademik setingkat doktor kepada
sejumlah orang yang notabene adalah kepala daerah yang berasal dari Provinsi
Sulawesi Tenggara.
Berdasarkan hasil temuan tersebut,
Tim EKA mencoba mengkonfirmasi dulu ke pihak kampus akan segala tindak-tanduk
perjalananan dunia pendidikan tinggi kita ini. Setelah menyempaikan hal
tersebut, pihak kampus terkesan menolak segala tuduhan tersebut.
Dan serta merta pihak kampus
mengajak para alumninya untuk membuat surat keberatan kepada Kemenristekdikti atas segala tindakan tidak
etis yang dilakukan oleh Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Kemenristekdikti.
Sebab disinyalir hal ini akan membawa dampak buruk kepada seluruh alumni-alumni
yang ada. Rektor mengakui bahwa tindakan para alumni tersebut murni, bukan
karena disuruh atau mendapatkan tugas dari pihak rektor. Padahal pada
kenyataannya rektor sendirilah yang berusaha menggalang kekuatan para alumni.
Terduga ada 5 pejabat Sulawesi Tenggara
yang menjadi plagiator untuk bisa
mendapatkan gelar doctor yang telah diterbitkan UNJ. Yakni Nur Alam (Gubernur
dan juga tersangka KPK), Nur Endang Abbas (Kepala Badan Kepegawaian Daerah),
Sarifuddin Saffa (Asisten I Sekda), Muhammad Nasir Andi Baso (Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah), Hado Hasina (Kepala Dinas Perhubungan).
Disinyalir mereka menyelesaikan
disertasinya hanya dalam waktu 1-2 bulan sebelum ujian terbuka dimulai. Dan semuanya
disertasinya hanya dikerjakan pada satu komputer doang. Wau dasyat cara kerja
mereka. Padahal untuk menyelesaikan skripsi saja butuh waktu kurang lebih satu
tahun, apalagi ini namanya sudah tingkat S-3, bisa selesai hanya dalam waktu
paling lama dua bulan. Perlu dipertanyakan.
Berdasarkan data SCImago, Untuk jumlah dokumen yang terpublikasi internasional,
di tingkat dunia, Indonesia menempati peringkat 45. Di kawasan Asia, posisi
Indonesia berada di urutan 11, sementara di tingkat ASEAN peringkat keempat.
Dengan jumlah karya ilmiah yang terpublikasi ditahun 2016 sebanyak 11.740 saja.
Sangat jauh jika dibandingkan dengan Negara Malaysia yang sudah mencapai angka
28.560 karya terpublikasi internasional. Hampir lebih dua kali dari pencapaian
Malaysia. maka tak heran jika Indonesia jauh
tertinggal dari Negara-negara tetangga kita.
Praktek kecurangan UNJ bisa
didapatkan karena adanya temuan berikut. Terdapat ketidakcocokan antara jumlah yang
menyelesaikan studi tingkat pascasarjana dengan nomor ijasah yang sudah
diterbitkan. Dari kurun waktu Desember 2004 hingga September 2016, UNJ
meluluskan 2.104 mahasiswa doktoralnya. Sementara dari jumlah Ijasah yang sudah
diterbitkan, meluluskan sekitar 2.557 mahasiswa. Ada selisih 453 jumlah doctor yang
dihasilkan selama kurang lebih 12 tahun.
Juga temuan lain yang semakin
menunjukkan bahwa adanya praktek kecurangan yang dilakukan dalam dunia
pendidikan di UNJ adalah adanya beban berlebih untuk mempromosikan seorang doktor.
Menurut peraturan menristekdikti nomor 44 tahun 2015 tentang Standar Nasional
Pendidikan, Pasal 28 menyebutkan bahwa beban seseorang dosen dalam membimbing
karya ilmiah hanya 10 orang dalam satu tahun.
Didapati bahwa Djaali,yang merupakan rektor dari UNJ juga sekaligus sebagai promotor
doktoral mahasiswa, ditahun 2016 bisa mempromotori dan meluluskan 118 orang
mahasiswa, dan ditahun 2015-nya meluluskan sebanyak 64 mahasiswa. Sungguh angka
yang fantastis dalam pencapaiannya.
Ini masih temuan pada satu
kampus, bagaimana dengan institusi atau perguruan tinggi yang lain yah. Mempraktekkan
hal yang sama atau tidak sama sekali. Menjadi tanda tanya besar bagi kita.
Bagaimana bisa dunia pendidikan kita semakin maju jika adanya praktek-praktek
kecurangan dalam menghasilkan lulusan orang-orang yang berkarakter sekaligus berintelektual
tinggi. Padahal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ada ditangannya
sendiri. Sebab dia sudah berada di puncak tertinggi dari jenjang sistem pendidikan
ini .
Pengaruh Uang dan Jabatan dalam Dunia Pendidikan
Uang bisa merusak dunia
pendidikan kita. Bahkan dengan uang apapun kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
bisa diubah seenaknya. Seperti kasus penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Ternyata dari tahun ke tahun, sistem PPDB yang dilakukan terkhusus di kota
Medan pasti selalu ada kecurangan. Seperti temuan baru-baru ini oleh Ombusdman
pada SMAN 2 dan SMAN 13, berurutan, ditemukan adanya siswa sisipan sebanyak 108
siswa dan 72 siswa.
Di tahun 2016 dan tahun 2015 yang
lalu, praktek menyisipkan siswa baru pada sekolah-sekolah yang ada di Medan
juga telah terjadi. Ditahun 2016, SMAN 4 Medan, membuat 3 kelas siluman kepada
hampir 150 orang siswa. Dan di tahun 2015 juga, SMAN 5 Medan, menambahkan 2 kelas
siluman asal orangtua mampu membayarkan 7,5 juta uang.
Itu baru Medan, mungkin
peristiwa-peristiwa ini juga terjadi dibeberapa kota-kota yang lainnya juga.
Meskipun sudah ada perbaikan dalam system PPDB di tahun ini dengan system online, tapi masih banyak juga oknum-oknum
yang bermain asalkan bisa mengeruh keuntungan sebanyak-banyaknya.
Sampai kapan kita bisa melakukan sistem
pendidikan yang betul-betul paten seperti jargon yang sering diucapkan oleh
Bapak Gubernur Sumut. Pendidikan yang bisa menciptakan generasi penerus yang
berkarakter sekaligus juga pintar.
Ternyata praktek tindakan curang
bukan hanya dilakukan oleh masyarakat saja. Yang rela melakukan apa saja seperti
dengan memalsukan surat keterangan miskin padahal dia kaya. Ataupun dengan membayarkan
sejumlah uang berapun asal anaknya bisa masuk di sekolah yang katanya sekolah unggulan. Para
penyelenggara pendidikan juga tak henti-hentinya selalu berusaha melihat ada
peluang yang baik dalam menambah pundi-pundi uangnya dengan melakukan beberapa
kebijakan yang berbeda sekaligus bertentangan.
Bukan juga hanya pada pendidikan dasar, dalam pendidikan tinggi kita pun, mengalami banyak praktek-praktek kecurangan. Seharusnya para doktor-doktor yang ada di Indonesia ini, bisa menghasilkan karya ilmiah atau hasil penelitian yang betul-betul bisa membawa perubahan dalam dunia pendidikan kita. Sebaliknya bukan dengan memanfaakan jabatannya untuk bisa mempengaruhi oknum pelaksana pendidikan, supaya digolkan niatnya untuk mendapatkan gelar tertinggi dalam dunia pendidikan ini.
Berharap ditahun-tahun berikutnya
hal-hal seperti ini, tidak patut untuk terulang kembali. Sebab kalau masih
terulang, dipastikan kita akan semakin tertinggal dari Negara-negara lain yang
ada di dunia. Terkhusus di tingkat regional kita sajapun, kita bisa akan jauh
tertinggal.
Berharap uang atau jabatan apapun
juga tidak diperbolehkan merusak sistem tatanan pendidikan yang sudah kita
susun sedemikian baik.
Salam pembaharuan.
Penulis adalah anggota komunitas
PESAT, pengajar di STT Terpadu PESAT Sibolangit, sekaligus pemerhati sosial.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar