Sumber ilustrasi : merdeka.com |
Manusia memang pintar untuk
berdalih. Sebab dari sononya, sejak
awal manusia diciptakan, Adam dan Hawa sendiripun berdalih ketika melakukan
pelanggaran.
Seperti kejadian baru-baru ini,
terkuaknya kasus Saracen, yakni kasus kelompok penyebaran berita-berita hoax,
fitnah dan kebencian. Melibatkan banyak para tokoh berpengaruh didalamnya,
sampai-sampai kepolisianpun harus hati-hati dalam mengungkapkan kasus ini.
Masuk menjadi dewan penasehat
pada situs Saracen, maupun disinyalir pernah menggunakan jasa Saracen, tokoh-tokoh
tersebut berusaha untuk buat klarifikasi. Seperti Eggi Sudjana dan Kivlan Zein
yang berusaha menepis segala isu keterlibatan mereka dalam kasus tersebut.
Menolak dipanggil oleh kepolisian
atas pencatutan nama mereka, menjadi suatu sikap yang tidak perlu sebenarnya
dilakukan oleh seorang ahli hukum, seperti Eggi Sudjana. “Jangan
panggil-panggil saya, atau undang-undang saya, gak perlu. Tapi cari tahu dulu
kenapa nama saya ada di dewan penasehat Saracen itu, kenapa selidiki dong,”berikut
perkataan beliau.
Begitu juga pernyataan dari
Purnawirawan jenderal, Bapak Kivlan Zein, yang dulunya sempat menjadi tersangka
dalam kasus Makar, dan sekarang disebut-sebut pernah menggunakan jasa Saracen,
membantah akan keterlibatan dirinya. Berdasarkan berita yang ditayangkan oleh
Metro TV pada wawancara eksklusif, beliau dengan tegas-tegasnya membantah
segala tuduhan akan keterlibatannya dalam kasus ini.
Kivlan Zein menyatakan, bahwa
dirinya baru seminggu mengenal akan Saracen. Padahal menurut seorang tersangka
yang sudah ditahan, Sri Rahayu bahwa dia sudah pernah ketemuan dengan Kivlan
Zein dulu. (Berita Nusantara, Metro TV, 27/8).
Padahal kepolisian kita bertindak
selalu bertindak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Oleh Petrus
Selestinus, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia. Menyayangkan sikap
dari Eggi Sudjana yang mengatakan bahwa dirinya sedang dikriminalisasi. Petrus
mengatakan, polisi merupakan penegak hukum yang harus dipatuhi siapapun, tak
terkecuali pengacara. “Klarifikasi apa saja yang bisa disumbangkan kepada
penyidik untuk mengungkapkan secara tuntas siapa saja pelaku penyebar Hoax Saracen.” Kata Petrus lebih lanjut.
Berdalih atau mengklarifikasi
Ada dua sikap yang tampak jelas dimata
kita, ketika sudah menjadi temuan oleh pihak berwajib. Berdalih atau mengklarifikasi akan keterlibatan dirinya. tentunya sebagai upaya untuk bisa terhindar dari temuan tersebut.
Berdalih dan menghindarkan
tanggung jawab merupakan suatu kebiasaan kita rata-rata orang Indonesia. Jauh
beda dengan kebiasaan orang Jepang. Ketika dirinya sudah tersebut saja dalam
satu kasus, akan langsung mengundurkan diri kalau kebetulan dirinya adalah
seorang pejabat. Mengakui bahwa dirinya telah gagal dalam menjalankan suatu tugas.
Dan hal itu tercermin dalam menggunakan
kalimat-kalimat dalam bahasa sehari-hari mereka untuk menyatakan suatu hal.
Orang Jepang secara tegas menggunakan kata kerja transitif (tadoushi) bukan
kata kerja intransitif (jidoushi). Mereka memaknai ketika memakai kata kerja intransitive,
seakan-akan lupa bahwa yang seharusnya
bertanggung jawab adalah kita, dan bukan karena terjadi dengan sendirinya.
Contohnya, kata ‘bertabrakan’ (kata
intransitive) dan ‘menabrak’ (transitif). Orang Jepang tidak mau menggunakan
kata “bertabrakan” dalam mengungkapkan pernyataannya ketika terjadi suatu
kecelakaan. Melainkan menggunakan kata “menabrak”. Mereka menggunakan kalimat
berikut: “Saya menabrakkan mobil saya”. “Kuruma
wo butsuketa”. Bukan dengan kalimat berikut, “Kuruma ga butsukatta.” Mobil
saya bertabrakan.
Begitu juga dengan kata ‘merusak’=kowasu (kata transitif) dan ‘rusak’=kowareru. Meskipun kondisinya alat
tersebut rusak dengan sendirinya, orang Jepang tidak akan menggunakan Kowareru dalam pernyataannya melainkan kowasu. Sebab orang Jepang tidak mau
mengingkari tanggung jawab mereka ketika dipercayakan memegang alat atau sarana
apapun dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Dalam keseharian mereka,
berbahasa saja, mencerminkan mereka adalah orang-orang yang penuh dedikasi dan
tanggung jawab. Apalagi dalam hal melakukan suatu tugas. Makanya tepat, ketika
mereka tersandung sedikit sajapun dalam suatu kasus apapun itu, mereka akan
langsung meminta maaf dan langsung mengundurkan diri.
Apa maknanya bagi kita.
Kita perlu meniru budaya yang
penuh bertanggungjawab. Tidak perlu sikap seperti ketangkap tangan dulu baru
mengakui perbuatannya. Atau sebenarnya tidak perlu harus melalui banyak
pembuktian yang alot dulu dalam persidangan baru mengakui bahwa itu adalah
perbuatannya. Sebenarnya kita bisa mempermudah kerja hakim kita, seandainya
jika kita mau dan berani bertanggung jawab. Kalau pada faktanya kitalah
pelakunya.
Tapi yang sering terjadi adalah,
sudah ketangkap tanganpun, masih melakukan banyak dalih. Dengan menyatakan
bahwa itu adalah suatu kehilafan atau suatu kecelakaan yang naas sedang menimpa
dirinya. Juga hal inipun sering kita dengar dalam eksepsi maupun pledoi-pledoi yang disampaikan oleh para terdakwa, sebelum vonis dijatuhkan oleh
hakim, menyatakan bahwa dirinya adalah orang yang sedang disakiti, atau
dikhianati.
Lain lagi kalau ceritanya, ketika
kita bukanlah pelakunya. Langkah-langkah hukum, mulai dari awal sampai putusan sidangpun,
harus menunjukkan segala jerih payah untuk bisa membuktikan dan memenangkan bahwa
kita bukanlah pelakunya. Bahwa segala yang dituduhkan itu tidaklah benar. Dan jikapun
divonis oleh hakim bahwa kita dinyatakan bersalah, mari kita bisa mencontoh
kebesaran seperti yang pernah dilakukan Bapak Ahok dulu, menerima dengan lapang
dada dan mau menjalani putusan hukum yang dijatuhkan kepadanya.
Tapi itulah hukum bangsa kita,
masih mengenal asas praduga tak bersalah.
Artinya setiap kita wajib mengikuti segala prosedur-prosedur hukum yang
sudah ditetapkan oleh bangsa kita. Bahkan sebelum melaksanakan pengadilan yang
sebenarnya, masih diberi kesempatan kepada pihak tersangka untuk melakukan upaya
hukum seperti pra-peradilan. Sehingga ketika sudah memenangkan status hukumnya
di pra-peradilan, kemungkinan status hukumnya tidak akan dilanjutkan lagi.
Kemudian juga bisa melakukan
pengajuan SP-3 jika merasa status hukumnya tidak layak untuk dilanjutkan lagi.
Meskipun hal ini, masih tergantung kepada pihak kepolisian. Menerima atau
menolak upaya SP-3 tersebut.
Hal yang saya mau tekankan dalam
tulisan saya ini adalah marilah menjadi orang-orang yang bertanggung jawab
terhadap segala hal apapun yang sudah kita lakukan. Baik perbuatan yang tidak
sengaja maupun disengaja. Tidak mau berusaha mencari cela-cela hukum yang
kemungkinan akan bisa meloloskan kita dari jerat hukum.
Atau juga tidak memiliki sikap,
ketika sudah menjadi ‘temuan’, mati-matian untuk membuat dalih dan pada akhirnya
menyangkal bahwa dirinya tidak terlibat. Sebab sekecil apapun keterlibatan
kita, tidak akan bisa menyangkal fakta hukum bahwa memang nama kita ada terlibat.
Klarifikasi sih oke. Tapi tidak harus menyampaikannya dengan sikap arogan,
marah-marah, merasa dikriminalisasi dan lain sebagainya. Ketika diminta datang untuk
memenuhi panggilan polisi, hukumnya yah wajib datang.
Terakhir, berharap bangsa kita
bisa menjadi orang-orang yang penuh dedikasi dan bertanggung jawab dalam
hidupnya. Tidak memiliki rencana untuk berbuat curang, seperti menyerang dengan
berita-berita hoax dan sebagainya. Atau
menggunakan jasa-jasa seperti Saracen lakukan ketika melakukan suatu kontestasi
pemilihan. Melainkan berjuang secara gentlemen,
jujur dan penuh integritas. Dan tak lupa memiliki sikap pemberani, yakni berani
untuk menang sekaligus berani juga untuk mengakui kekalahannya dengan jiwa yang
besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar