Senin, 28 Agustus 2017

Jadi Temuan, Berdalih atau Klarifikasi

Sumber ilustrasi : merdeka.com

Manusia memang pintar untuk berdalih. Sebab dari sononya, sejak awal manusia diciptakan, Adam dan Hawa sendiripun berdalih ketika melakukan pelanggaran.

Seperti kejadian baru-baru ini, terkuaknya kasus Saracen, yakni kasus kelompok penyebaran berita-berita hoax, fitnah dan kebencian. Melibatkan banyak para tokoh berpengaruh didalamnya, sampai-sampai kepolisianpun harus hati-hati dalam mengungkapkan kasus ini.

Masuk menjadi dewan penasehat pada situs Saracen, maupun disinyalir pernah menggunakan jasa Saracen, tokoh-tokoh tersebut berusaha untuk buat klarifikasi. Seperti Eggi Sudjana dan Kivlan Zein yang berusaha menepis segala isu keterlibatan mereka dalam kasus tersebut.

Menolak dipanggil oleh kepolisian atas pencatutan nama mereka, menjadi suatu sikap yang tidak perlu sebenarnya dilakukan oleh seorang ahli hukum, seperti Eggi Sudjana. “Jangan panggil-panggil saya, atau undang-undang saya, gak perlu. Tapi cari tahu dulu kenapa nama saya ada di dewan penasehat Saracen itu, kenapa selidiki dong,”berikut perkataan beliau.

Begitu juga pernyataan dari Purnawirawan jenderal, Bapak Kivlan Zein, yang dulunya sempat menjadi tersangka dalam kasus Makar, dan sekarang disebut-sebut pernah menggunakan jasa Saracen, membantah akan keterlibatan dirinya. Berdasarkan berita yang ditayangkan oleh Metro TV pada wawancara eksklusif, beliau dengan tegas-tegasnya membantah segala tuduhan akan keterlibatannya dalam kasus ini.

Kivlan Zein menyatakan, bahwa dirinya baru seminggu mengenal akan Saracen. Padahal menurut seorang tersangka yang sudah ditahan, Sri Rahayu bahwa dia sudah pernah ketemuan dengan Kivlan Zein dulu. (Berita Nusantara, Metro TV, 27/8).

Padahal kepolisian kita bertindak selalu bertindak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Oleh Petrus Selestinus, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia. Menyayangkan sikap dari Eggi Sudjana yang mengatakan bahwa dirinya sedang dikriminalisasi. Petrus mengatakan, polisi merupakan penegak hukum yang harus dipatuhi siapapun, tak terkecuali pengacara. “Klarifikasi apa saja yang bisa disumbangkan kepada penyidik untuk mengungkapkan secara tuntas siapa saja pelaku penyebar Hoax Saracen.” Kata Petrus lebih lanjut.

Berdalih atau mengklarifikasi

Ada dua sikap yang tampak jelas dimata kita, ketika sudah menjadi temuan oleh pihak berwajib. Berdalih atau mengklarifikasi akan keterlibatan dirinya. tentunya sebagai upaya untuk bisa terhindar dari temuan tersebut.

Berdalih dan menghindarkan tanggung jawab merupakan suatu kebiasaan kita rata-rata orang Indonesia. Jauh beda dengan kebiasaan orang Jepang. Ketika dirinya sudah tersebut saja dalam satu kasus, akan langsung mengundurkan diri kalau kebetulan dirinya adalah seorang pejabat. Mengakui bahwa dirinya telah gagal dalam menjalankan suatu tugas.

Dan hal itu tercermin dalam menggunakan kalimat-kalimat dalam bahasa sehari-hari mereka untuk menyatakan suatu hal. Orang Jepang secara tegas menggunakan kata kerja transitif (tadoushi) bukan kata kerja intransitif (jidoushi). Mereka memaknai ketika memakai kata kerja intransitive, seakan-akan  lupa bahwa yang seharusnya bertanggung jawab adalah kita, dan bukan karena terjadi dengan sendirinya.

Contohnya, kata ‘bertabrakan’ (kata intransitive) dan ‘menabrak’ (transitif). Orang Jepang tidak mau menggunakan kata “bertabrakan” dalam mengungkapkan pernyataannya ketika terjadi suatu kecelakaan. Melainkan menggunakan kata “menabrak”. Mereka menggunakan kalimat berikut: “Saya menabrakkan mobil saya”. “Kuruma wo butsuketa”. Bukan dengan kalimat berikut, “Kuruma ga butsukatta.” Mobil saya bertabrakan.

Begitu juga dengan kata ‘merusak’=kowasu (kata transitif) dan ‘rusak’=kowareru. Meskipun kondisinya alat tersebut rusak dengan sendirinya, orang Jepang tidak akan menggunakan Kowareru dalam pernyataannya melainkan kowasu. Sebab orang Jepang tidak mau mengingkari tanggung jawab mereka ketika dipercayakan memegang alat atau sarana apapun dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Dalam keseharian mereka, berbahasa saja, mencerminkan mereka adalah orang-orang yang penuh dedikasi dan tanggung jawab. Apalagi dalam hal melakukan suatu tugas. Makanya tepat, ketika mereka tersandung sedikit sajapun dalam suatu kasus apapun itu, mereka akan langsung meminta maaf dan langsung mengundurkan diri.

Apa maknanya bagi kita.

Kita perlu meniru budaya yang penuh bertanggungjawab. Tidak perlu sikap seperti ketangkap tangan dulu baru mengakui perbuatannya. Atau sebenarnya tidak perlu harus melalui banyak pembuktian yang alot dulu dalam persidangan baru mengakui bahwa itu adalah perbuatannya. Sebenarnya kita bisa mempermudah kerja hakim kita, seandainya jika kita mau dan berani bertanggung jawab. Kalau pada faktanya kitalah pelakunya.

Tapi yang sering terjadi adalah, sudah ketangkap tanganpun, masih melakukan banyak dalih. Dengan menyatakan bahwa itu adalah suatu kehilafan atau suatu kecelakaan yang naas sedang menimpa dirinya. Juga hal inipun sering kita dengar dalam eksepsi maupun pledoi-pledoi yang disampaikan oleh  para terdakwa, sebelum vonis dijatuhkan oleh hakim, menyatakan bahwa dirinya adalah orang yang sedang disakiti, atau dikhianati.  

Lain lagi kalau ceritanya, ketika kita bukanlah pelakunya. Langkah-langkah hukum, mulai dari awal sampai putusan sidangpun, harus menunjukkan segala jerih payah untuk bisa membuktikan dan memenangkan bahwa kita bukanlah pelakunya. Bahwa segala yang dituduhkan itu tidaklah benar. Dan jikapun divonis oleh hakim bahwa kita dinyatakan bersalah, mari kita bisa mencontoh kebesaran seperti yang pernah dilakukan Bapak Ahok dulu, menerima dengan lapang dada dan mau menjalani putusan hukum yang dijatuhkan kepadanya.

Tapi itulah hukum bangsa kita, masih mengenal asas praduga tak bersalah. Artinya setiap kita wajib mengikuti segala prosedur-prosedur hukum yang sudah ditetapkan oleh bangsa kita. Bahkan sebelum melaksanakan pengadilan yang sebenarnya, masih diberi kesempatan kepada pihak tersangka untuk melakukan upaya hukum seperti pra-peradilan. Sehingga ketika sudah memenangkan status hukumnya di pra-peradilan, kemungkinan status hukumnya tidak akan dilanjutkan lagi.

Kemudian juga bisa melakukan pengajuan SP-3 jika merasa status hukumnya tidak layak untuk dilanjutkan lagi. Meskipun hal ini, masih tergantung kepada pihak kepolisian. Menerima atau menolak upaya SP-3 tersebut.

Hal yang saya mau tekankan dalam tulisan saya ini adalah marilah menjadi orang-orang yang bertanggung jawab terhadap segala hal apapun yang sudah kita lakukan. Baik perbuatan yang tidak sengaja maupun disengaja. Tidak mau berusaha mencari cela-cela hukum yang kemungkinan akan bisa meloloskan kita dari jerat hukum.

Atau juga tidak memiliki sikap, ketika sudah menjadi ‘temuan’, mati-matian untuk membuat dalih dan pada akhirnya menyangkal bahwa dirinya tidak terlibat. Sebab sekecil apapun keterlibatan kita, tidak akan bisa menyangkal fakta hukum bahwa memang nama kita ada terlibat. Klarifikasi sih oke. Tapi tidak harus menyampaikannya dengan sikap arogan, marah-marah, merasa dikriminalisasi dan lain sebagainya. Ketika diminta datang untuk memenuhi panggilan polisi, hukumnya yah wajib datang.


Terakhir, berharap bangsa kita bisa menjadi orang-orang yang penuh dedikasi dan bertanggung jawab dalam hidupnya. Tidak memiliki rencana untuk berbuat curang, seperti menyerang dengan berita-berita hoax dan sebagainya. Atau menggunakan jasa-jasa seperti Saracen lakukan ketika melakukan suatu kontestasi pemilihan. Melainkan berjuang secara gentlemen, jujur dan penuh integritas. Dan tak lupa memiliki sikap pemberani, yakni berani untuk menang sekaligus berani juga untuk mengakui kekalahannya dengan jiwa yang besar.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...