![]() |
Didik Thowok |
Tidak
kebetulan diriku menonton art insight kemarin di Metro TV. Menampilkan seorang
tokoh lintas gender. Dimana awalnya beliau ini adalah orang yang paling tidak
saya sukai sewaktu masih kecil dulu. Tapi melihat karirnya di usiaku kini yang
sudah semakin dewasa, ternyata aku baru mengerti jalan hidup yang telah
dilaluinya.
Tulisan
ini kubuat bukan berarti aku menjadi pendukung gerakan LGBT (Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender). Melainkan hanya menjadi sebuah pemikiran saja,
bahwa berkarya dibidang selain gender kita, adalah sah-sah saja untuk
dikerjakan dan ditekuni.
Didik
Nini Thowok adalah seorang penari dan koreografer Indonesia. Menari telah
menjadi bagian dalam hidupnya dan bahkan menjadi nafas hidup hidupnya sendiri.
Artinya kalau sudah ditaraf menjadi nafas berarti tingkatannya bukan lagi suatu
keharusan melainkan suatu tindakan yang otomatis dikerjakannya. Itu sama
artinya ketika dia berhenti bernafas, dia akan mati. Begitu juga ketika dia
berhenti menari, tentunya dia juga akan mati.
Melihat
sekilas biografi beliau, nama aslinya adalah Didik Hadiprayitno. Ternyata dia
keturunan Tionghoa, dengan memiliki nama lahir Kwee Tjoen Lian. Lahir di
Temanggung, 13 November 1954. Berarti sekarang umurnya 63 tahun. Memulai karirnya
di tahun 1971, dan menghasilkan karya tari ciptaannya sendiri, yakni “Tari
Persembahan”, gabungan antara tarian Bali dan Jawa.
Untuk bisa memperdalam ilmu tarinya, dia belajar
di sebuah kampus di Yogyakarta, dan mendapatkan gelar SST (Sarjana Seni Tari).
Kemudian dia mengasah ilmu tariannya
dengan berguru langsung ke sang maestro tarian. Mulai dari tarian Bali, tarian
Sunda, tarian Jawa Klasik, hingga ke Jepang, tari klasik Noh (Hagoromo), bahkan
ke Spanyol dengan tarian Flamenco.
Mengulik sekilas masa
kecilnya-pergulakan konflik Batin
Ternyata
sewaktu dia masih kecil, ia lebih menyukai permainan perempuan dibanding dengan
permainan laki-laki. Sehingga ia cenderung menjadi seperti seorang perempuan. Permainan
dimasa kecil yang sering dimainkan bersama teman-teman perempuan yang lain,
adalah bermain pasar-pasaran (berjualan), masak-masakan, dan ibu-ibuan.
Aku
sendiri juga pernah memiliki kasus seperti Bapak Didik di masa kecil. Lebih
sering bermain dan bergaul dengan perempuan-perempuan, dan memainkan permainan
mereka juga. Satu permainan yang tak pernah kulupa adalah permainan
bepe-bepean. Semacam permainan keluarga-keluargaan yang terbuat dari kertas.
Ada karakter Bapak, Ibu, anak-anak dan dilengkapi dengan baju-bajunya. Jadi
mencoba mengekspresikan peran-peran tokoh tersebut, bermain rumah-rumahan.
Mulai dari aktivitas bangun tidur, pergi ke kantor atau ke pasar, pulang ke
rumah, bermain dengan anak-anak, makan-minum hingga akhirnya tidur di malam
harinya.
Tapi
aku bersyukur, tidak terlibat lebih jauh lagi dengan permainan seperti itu. Sebab
ternyata, aku lebih menyukai aktivitas anak laki-laki. Pergi berlari-lari
kesana-sini, suka jahilin orang, dan bergulat sana-sini dengan teman laki-laki
yang sebaya.
Masa
anak-anak adalah masa banyak belajar untuk mencoba menemukan jati diri kita
yang sebenarnya. Kutemukan beberapa fakta, bahwa ada temanku yang laki-laki,
ternyata pada akhirnya tidak bisa menghindari sifat kewanitaannya muncul. Sebab
setiap hari selalu bergaul dengan yang namanya anak-anak perempuan dan
melakukannya hingga bertahun-tahun. Dan akhirnya beranjak remaja dan dewasa,
dia sudah terpola dengan sifat kebanci-bancian dan tidak bisa berubah lagi.
Jadi
setiap orang punya potensi untuk mendapatkan sifat perubahan gender. Yang anak
laki-laki pengen menjadi perempuan, demikian juga yang perempuan pengen menjadi
anak laki-laki. Itu semua dipengaruhi oleh lingkungan kita sehari-hari. Juga ditambah
dengan adanya dorongan kerelaan untuk terus melakukannya setiap hari, dan
akhirnya tiba pada suatu titik akhir, bahwa dirinya yang sebenarnya adalah yang
seperti ini, peran yang sering dimainkannya baik menjadi banci atau menjadi
tomboy.
Mengalahkan Stigma
yang Muncul dengan Prestasi
Masyarakat
kita memang saat ini belum bisa menerima keberadaan mereka. Mereka yang merasa
dirinya laki-laki tapi perempuan atau mereka yang merasa dirinya perempuan tapi
laki-laki. Bahkan masyarakat kita akan
langsung memberikan stigma yang kurang baik disematkan ke orang-orang seperti
itu.
Disamping
Didik Nini Thowok, ternyata tokoh transgender Indonesia yang juga terkenal
adalah Dorce. Tapi untuk kasus Dorce Gamalama, yang nama laki-lakinya adalah
Dedi Yuliardi Ashadi, melakukan perubahan total jenis kelaminnya. Dan sekarang
menjadi perempuan tulen yang juga berprestasi di dunia hiburan tanah air
Indonesia.
Dia
berhasil mengalahkan stigma negatif yang diberikan kepadanya dengan segudang
prestasi yang ia torehkan dalam masa-masa hidupnya. Baik menjadi presenter,
penyanyi, menjadi bintang film hingga memiliki program tersendiri dalam
beberapa TV swasta yang kemunculannya di TV hampir setiap hari hingga beberapa
tahun. Sempat mendapatkan rekor MURI dikarenakan peluncuran sembilan album
sekaligus dalam waktu hanya lima bulan.
Kembali
ke Bapak Didik, yang juga berhasil mengalahkan dan bahkan mematahkan stigma
negatif yang disematkan masyarakat kepadanya. Menunjukkan segudang prestasi
yang tak terbantahkan, bahkan sampai diminta show dibeberapa negara-negara di luar
Indonesia untuk menampilkan kebudayaan dan kekayaan tarian dari tradisi
Indonesia. Bapak Didik menjadi tokoh yang membawakan nama harum bagi bangsa
kita.
Satu
hal yang menjadi penilaian positif yang pantas kita sematkan kepada Bapak Didik
jika dibandingkan dengan Ibu Dorce. Dengan profesinya sebagai penari, dan memang
sudah menunjukkan sifat-sifat kewanitaannya sejak kecil, tapi dia tidak berniat
untuk mengubah jati dirinya yang utama, yakni menjadi laki-laki.
Diakhir
dari kisahnya yang diliput dalam Metro TV kemarin, bahwa dia adalah seorang
Kristen yang sangat taat untuk beribadah. Sempat mengeluarkan air mata, apakah
Tuhan akan berkenan kepadanya melalui pilihan hidup yang sudah ditorehkannya
selama ini. Satu yang ia yakini, bahwa Tuhan akan mengangkat orang-orang yang
bersungguh-sungguh hati kepadanya. Asal orang itu tetap taat dan setia, serta
tekun untuk berjuang mewujudkan talenta-talenta yang telah ditaruh kepadanya.
Juga
beberapa pelajaran berharga lainnya yang dikemukakannya di Metro TV kemarin
dalam program Art Insight.Yang mungkin bisa kita petik dan menjadi perenungan
tersendiri bagi kita.
Pertama,
baginya, seorang penari itu harus bisa menjiwai setiap tarian yang ia bawakan. Sehingga
ketika dilihat oleh penonton atau penikmat tarian, ada pesan yang boleh
ditangkap dan dimaknai melalui ekspresi-ekspresi gerakan yang ditampilkan. Mencoba
mengenali setiap karakter topeng-topeng yang akan dipakainya juga penting. Sebab
menurutnya, bahwa topeng-topeng tersebut punya karakter sendiri-sendiri. Sehingga
ketika sudah mengenali karakter dari masing-masing topeng tersebut, niscaya
akan sendirinya bisa bergerak dan berinovasi untuk menampilkan tarian-tarian
yang menginspirasi.
Kemudian
jangan malu untuk terus berkarya dalam bidang passion yang sudah Tuhan taruh ke
kita. Sekalipun itu sepertinya bertentangan dengan gender kita yang semula,
tetaplah untuk bertahan dan menunjukkan segala potensi-potensi terdalam kita.
Sebab awalnya memang akan digunjingi oleh masyarakat sekitar, tapi percayalah
bahwa suatu ketika akan tiba momentnya orang-orang yang selama ini menentang
kita, niscaya akan menjadi pendukung kita.
Ketika
sudah mulai merasa bahwa passion kita ada di lintas gender, coba lakukan yang
terbaik. Dengan belajar dari yang terbaik, latihan sungguh-sungguh, dan
mempraktekkannya sehingga passion tersebut menjadi sebuah karya maestro yang
tentunya bisa menginspirasi dunia dan khususnya Indonesia.
Dan
satu lagi pesan terakhir, ketika sudah punya hal itu, jangan coba sekali-kali untuk
mengubah diri dan status kita. Dari yang sebenarnya adalah laki-laki tapi
menjadi perempuan, demikian juga sebaliknya. Tetap untuk mempertahankan jati
diri kita. Sebab setiap orang punya potensi untuk menjadi transgender. Jadi berhati-hatilah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar