Senin, 14 Agustus 2017

Ketika Passion Kita Ada Di Lintas Gender


Didik Thowok


Tidak kebetulan diriku menonton art insight kemarin di Metro TV. Menampilkan seorang tokoh lintas gender. Dimana awalnya beliau ini adalah orang yang paling tidak saya sukai sewaktu masih kecil dulu. Tapi melihat karirnya di usiaku kini yang sudah semakin dewasa, ternyata aku baru mengerti jalan hidup yang telah dilaluinya.

Tulisan ini kubuat bukan berarti aku menjadi pendukung gerakan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Melainkan hanya menjadi sebuah pemikiran saja, bahwa berkarya dibidang selain gender kita, adalah sah-sah saja untuk dikerjakan dan ditekuni.

Didik Nini Thowok adalah seorang penari dan koreografer Indonesia. Menari telah menjadi bagian dalam hidupnya dan bahkan menjadi nafas hidup hidupnya sendiri. Artinya kalau sudah ditaraf menjadi nafas berarti tingkatannya bukan lagi suatu keharusan melainkan suatu tindakan yang otomatis dikerjakannya. Itu sama artinya ketika dia berhenti bernafas, dia akan mati. Begitu juga ketika dia berhenti menari, tentunya dia juga akan mati.

Melihat sekilas biografi beliau, nama aslinya adalah Didik Hadiprayitno. Ternyata dia keturunan Tionghoa, dengan memiliki nama lahir Kwee Tjoen Lian. Lahir di Temanggung, 13 November 1954. Berarti sekarang umurnya 63 tahun. Memulai karirnya di tahun 1971, dan menghasilkan karya tari ciptaannya sendiri, yakni “Tari Persembahan”, gabungan antara tarian Bali dan Jawa.

Untuk bisa memperdalam ilmu tarinya, dia belajar di sebuah kampus di Yogyakarta, dan mendapatkan gelar SST (Sarjana Seni Tari). Kemudian dia mengasah ilmu  tariannya dengan berguru langsung ke sang maestro tarian. Mulai dari tarian Bali, tarian Sunda, tarian Jawa Klasik, hingga ke Jepang, tari klasik Noh (Hagoromo), bahkan ke Spanyol dengan tarian Flamenco.

Mengulik sekilas masa kecilnya-pergulakan konflik Batin
Ternyata sewaktu dia masih kecil, ia lebih menyukai permainan perempuan dibanding dengan permainan laki-laki. Sehingga ia cenderung menjadi seperti seorang perempuan. Permainan dimasa kecil yang sering dimainkan bersama teman-teman perempuan yang lain, adalah bermain pasar-pasaran (berjualan), masak-masakan, dan ibu-ibuan.

Aku sendiri juga pernah memiliki kasus seperti Bapak Didik di masa kecil. Lebih sering bermain dan bergaul dengan perempuan-perempuan, dan memainkan permainan mereka juga. Satu permainan yang tak pernah kulupa adalah permainan bepe-bepean. Semacam permainan keluarga-keluargaan yang terbuat dari kertas. Ada karakter Bapak, Ibu, anak-anak dan dilengkapi dengan baju-bajunya. Jadi mencoba mengekspresikan peran-peran tokoh tersebut, bermain rumah-rumahan. Mulai dari aktivitas bangun tidur, pergi ke kantor atau ke pasar, pulang ke rumah, bermain dengan anak-anak, makan-minum hingga akhirnya tidur di malam harinya.

Tapi aku bersyukur, tidak terlibat lebih jauh lagi dengan permainan seperti itu. Sebab ternyata, aku lebih menyukai aktivitas anak laki-laki. Pergi berlari-lari kesana-sini, suka jahilin orang, dan bergulat sana-sini dengan teman laki-laki yang sebaya.

Masa anak-anak adalah masa banyak belajar untuk mencoba menemukan jati diri kita yang sebenarnya. Kutemukan beberapa fakta, bahwa ada temanku yang laki-laki, ternyata pada akhirnya tidak bisa menghindari sifat kewanitaannya muncul. Sebab setiap hari selalu bergaul dengan yang namanya anak-anak perempuan dan melakukannya hingga bertahun-tahun. Dan akhirnya beranjak remaja dan dewasa, dia sudah terpola dengan sifat kebanci-bancian dan tidak bisa berubah lagi.

Jadi setiap orang punya potensi untuk mendapatkan sifat perubahan gender. Yang anak laki-laki pengen menjadi perempuan, demikian juga yang perempuan pengen menjadi anak laki-laki. Itu semua dipengaruhi oleh lingkungan kita sehari-hari. Juga ditambah dengan adanya dorongan kerelaan untuk terus melakukannya setiap hari, dan akhirnya tiba pada suatu titik akhir, bahwa dirinya yang sebenarnya adalah yang seperti ini, peran yang sering dimainkannya baik menjadi banci atau menjadi tomboy.

Mengalahkan Stigma yang Muncul dengan Prestasi

Masyarakat kita memang saat ini belum bisa menerima keberadaan mereka. Mereka yang merasa dirinya laki-laki tapi perempuan atau mereka yang merasa dirinya perempuan tapi laki-laki.  Bahkan masyarakat kita akan langsung memberikan stigma yang kurang baik disematkan ke orang-orang seperti itu.

Disamping Didik Nini Thowok, ternyata tokoh transgender Indonesia yang juga terkenal adalah Dorce. Tapi untuk kasus Dorce Gamalama, yang nama laki-lakinya adalah Dedi Yuliardi Ashadi, melakukan perubahan total jenis kelaminnya. Dan sekarang menjadi perempuan tulen yang juga berprestasi di dunia hiburan tanah air Indonesia.

Dia berhasil mengalahkan stigma negatif yang diberikan kepadanya dengan segudang prestasi yang ia torehkan dalam masa-masa hidupnya. Baik menjadi presenter, penyanyi, menjadi bintang film hingga memiliki program tersendiri dalam beberapa TV swasta yang kemunculannya di TV hampir setiap hari hingga beberapa tahun. Sempat mendapatkan rekor MURI dikarenakan peluncuran sembilan album sekaligus dalam waktu hanya lima bulan.

Kembali ke Bapak Didik, yang juga berhasil mengalahkan dan bahkan mematahkan stigma negatif yang disematkan masyarakat kepadanya. Menunjukkan segudang prestasi yang tak terbantahkan, bahkan sampai diminta show dibeberapa negara-negara di luar Indonesia untuk menampilkan kebudayaan dan kekayaan tarian dari tradisi Indonesia. Bapak Didik menjadi tokoh yang membawakan nama harum bagi bangsa kita.

Satu hal yang menjadi penilaian positif yang pantas kita sematkan kepada Bapak Didik jika dibandingkan dengan Ibu Dorce. Dengan profesinya sebagai penari, dan memang sudah menunjukkan sifat-sifat kewanitaannya sejak kecil, tapi dia tidak berniat untuk mengubah jati dirinya yang utama, yakni menjadi laki-laki.

Diakhir dari kisahnya yang diliput dalam Metro TV kemarin, bahwa dia adalah seorang Kristen yang sangat taat untuk beribadah. Sempat mengeluarkan air mata, apakah Tuhan akan berkenan kepadanya melalui pilihan hidup yang sudah ditorehkannya selama ini. Satu yang ia yakini, bahwa Tuhan akan mengangkat orang-orang yang bersungguh-sungguh hati kepadanya. Asal orang itu tetap taat dan setia, serta tekun untuk berjuang mewujudkan talenta-talenta yang telah ditaruh kepadanya.

Juga beberapa pelajaran berharga lainnya yang dikemukakannya di Metro TV kemarin dalam program Art Insight.Yang mungkin bisa kita petik dan menjadi perenungan tersendiri bagi kita.
Pertama, baginya, seorang penari itu harus bisa menjiwai setiap tarian yang ia bawakan. Sehingga ketika dilihat oleh penonton atau penikmat tarian, ada pesan yang boleh ditangkap dan dimaknai melalui ekspresi-ekspresi gerakan yang ditampilkan. Mencoba mengenali setiap karakter topeng-topeng yang akan dipakainya juga penting. Sebab menurutnya, bahwa topeng-topeng tersebut punya karakter sendiri-sendiri. Sehingga ketika sudah mengenali karakter dari masing-masing topeng tersebut, niscaya akan sendirinya bisa bergerak dan berinovasi untuk menampilkan tarian-tarian yang menginspirasi.

Kemudian jangan malu untuk terus berkarya dalam bidang passion yang sudah Tuhan taruh ke kita. Sekalipun itu sepertinya bertentangan dengan gender kita yang semula, tetaplah untuk bertahan dan menunjukkan segala potensi-potensi terdalam kita. Sebab awalnya memang akan digunjingi oleh masyarakat sekitar, tapi percayalah bahwa suatu ketika akan tiba momentnya orang-orang yang selama ini menentang kita, niscaya akan menjadi pendukung kita.

Ketika sudah mulai merasa bahwa passion kita ada di lintas gender, coba lakukan yang terbaik. Dengan belajar dari yang terbaik, latihan sungguh-sungguh, dan mempraktekkannya sehingga passion tersebut menjadi sebuah karya maestro yang tentunya bisa menginspirasi dunia dan khususnya Indonesia.

Dan satu lagi pesan terakhir, ketika sudah punya hal itu, jangan coba sekali-kali untuk mengubah diri dan status kita. Dari yang sebenarnya adalah laki-laki tapi menjadi perempuan, demikian juga sebaliknya. Tetap untuk mempertahankan jati diri kita. Sebab setiap orang punya potensi untuk menjadi transgender. Jadi berhati-hatilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...