![]() |
sumber gambar: Media Indonesia |
Ada banyak perilaku-perilaku yang
seyogiyanya tidak pantas dilakukan oleh kemanusiaan kita. Seperti tindakan main
hakim sendiri. Seakan-akan rasa kemanusiaan kita sudah digilas oleh rasa
ketidakpedulian akan sesama. Seakan-akan punya prinsip lakukan dulu baru pikir
kemudian. Bertindak dulu, akibatnya nanti kemudian.
Seperti kasus penganiayaan plus
pembakaran korban tuduhan pencurian ampli mesjid baru-baru ini di Bekasi. Sekarang
sudah ditetapkan lima tersangka, dan satu yang paling sadis tindakannya. Entah direncanakan
sebelumnya atau tidak, yang pasti dia sudah bawa bensin dalam kantungan,
kemudian langsung diguyur ke korban tersebut. Dan langsung disulut dengan api.
Mengakibatkan si bapak tersebut
mati dengan meninggalkan istri dan anaknya yang ada di dalam kandungan. Si
istri tidak rela, kok tega-teganya melakukan perbuatan tersebut. Seandainyapun
terbukti bersalah mencuri, kan tidak perlu bakar-membakar.
Terus kalau kita perhatikan,
tidak sebanding hukuman yang ditimpakan ke si korban. Antara ampli mesjid dengan
jiwa manusia. Tapi karena sudah disulut
emosi yang sangat berlebihan, akhirnya bertindak diluar skenario kemanusian
yang sebenarnya. Sepertinya kita sudah kehilangan kasih dan cinta diantara sesama
kita.
Merasa menjadi hakim yang benar,
ketika bertindak dengan memukuli, meninju, menendang, meludahi, hingga
membakar. Seakan-akan merasa terpuaskan jiwa ganas yang sudah lama mendekam di
dalam batin. Padahal itu bukan ranahnya untuk bisa memberikan hukuman yang
setimpal.
Disamping kejadian tersebut,
ternyata sudah banyak kejahatan yang terjadi diluar nalar kemanusiaan kita.
Memang sih kalau masih dalam ranah kemanusiaan kita, kejahatan tidak akan
pernah muncul. Sebab masih bisa dikelola oleh jiwa manusia itu sendiri.
Seperti beberapa kasus berikut,
yakni kasus pembunuhan yang terjadi kepada Tukang Pajak di Nias yang dilakukan
oleh si wajib pajak, yang sebenarnya sudah menjadi kewajibannya dalam membayar
pajak. Kemudian juga seperti kasus pembunuhan oleh si pemilik sapi, dimana
sapinya hilang dan menuduh orang yang sedang memotong sapi waktu itu, dimana
kejadiannya terjadi di NTT setahun yang lalu. Yang seharusnya si bapak tanya
dulu sapi siapa itu, bukan langsung main hajar saja. Dan banyak kasus-kasus lainnya.
Yang juga mungkin sepele, tapi
perlu diperhatikan dengan seksama. Yakni kasus yang baru terjadi dan viral. Pemukulan oleh oknum
TNI kepada seorang polantas di Riau. Memang si Oknum tersebut sudah diproses
dan diamankan oleh pihak TNI. Tapi aneh, ketika sudah didalam penjara, tangan
dan kakipun masih diborgol. Pengamanan berlapis dilakukan. Kok sampai
sebegitunya yah tindakan untuk pengamanannya.
Teman-temannya mengakui bahwa dia
akhir-akhir ini melakukan tindakan-tindakan aneh. Ketika rekan-rekannya memakai
baju dinas TNI, eh dianya malah memakai baju preman datang ke kantor. Kemudian ucapan-ucapannya
selalu kasar, dan wajahnya tampak tegang terus, seperti mau memakan orang saja.
Tapi kalau aku melihat video
aksinya, sebenarnya tidaklah sebegitu parahnya perlakuannya kepada Bapak
Polantas tersebut. Memukul helm kemudian menendang motor dan adu mulut terus melanjutkan
perjalanan. Tapi untungnya si Bapak Polisi tersebut tidak melakukan aksi yang
sama, sehingga tidak terjadi perkelahian lebih lanjut. Si bapak polisi tampak
begitu bisa menguasai dirinya untuk tidak termakan oleh perbuatan si oknum TNI
tersebut.
Aku tidak berani beropini
macam-macam mengapa dan apa penyebab terjadinya perilaku tersebut. Mari kita
serahkan semuanya kepada pihak TNI maupun Polri dalam penyelesaiannya.
Untuk memberikan hukuman yang
sepadan kepadanya, dibutuhkan olah TKP yang lebih lengkap dan matang, serta
menanyakan saksi-saksi yang sedang hadir pada saat itu. Juga pasti membutuhkan
analisa kedokteran yang lebih sahih untuk menentukan bahwa dia sedang sakit
jiwa atau tidak. Memang itu semua membutuhkan waktu dan proses yang lumayan
lama, kemudian baru bisa memutuskan konsekuensi hukum yang akan diterimanya
kelak.
Pertanyaannya yang muncul
kemudian, apakah main hakim langsung memang diperlukan? Melihat semakin
banyaknya kejahatan yang sedang marak terjadi. Apakah memang benar tindakan main hakim
sendiri bisa memberikan rasa ’kapok’ kepada si pelaku kejahatan.
Atau sebaliknya, yang penting si
pelaku kejahatan tersebut tertangkap dulu, kemudian menyerahkannya kepada yang
berwajib. Manakah tindakan yang lebih mulia untuk kita kerjakan. Hajar dulu si
pelaku sampai babak belur, kemudian menyerahkannya kepada aparat, atau tangkap
saja kemudian serahkan kepada yang berwajib.
Saya kira yang lebih elok dan
manusiawi yang bisa kita kerjakan sebenarnya adalah yang kedua. Tangkap saja
sipelaku kemudian menyerahkannya kepada yang berwajib.
Kemudian muncul lagi pertanyaan, kenapa kejahatan kriminal kok bisa ada dan
semakin massif terjadi akhir-akhir ini. Kejahatan yang bahkan sampai mau
menghilangkan nyawa sesama kita.
Tidak bisa kita pungkiri, kita
hidup dan tinggal dikeadaan yang serba sulit dan menyakitkan. Dan kalau kita
teliti lebih dalam, selain faktor dendam, benci, dan iri hati, serta tamak, ternyata
faktor ekonomi juga menjadi penunjang semakin suburnya tindak kejahatan yang
dilakukan. Alih-alih untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, akhirnya dia rela
untuk mencuri. Hanya untuk bisa mendapatkan sesuap makanan, akhirnya jalan
pintas dilaluinya supaya bisa menenangkan perut yang sejengkal ini yang terus
menerus meronta.
Bagaimana kita bisa menyikapi tindak kejahatan yang ternyata sedang
terjadi dimuka kita sendiri. Ketika ada orang berteriak, “maling..maling!!!”,
atau “tolong...tolong..!!” Memang dengan kondisi tersebut kita akan bereaksi
dengan cepat untuk segera menolong orang yang minta tolong tersebut. Kita berusaha
untuk secepatnya menangkap si pelaku tersebut bersama-sama dengan seluruh
masyarakat yang kebetulan sedang ada disitu.
Dan ketika si pelaku tertangkap,
bagaimana reaksi kita yang muncul pertama. Apakah memukul, menghajar ataupun
menganiya si pelaku merupakan naluri pertama kita yang muncul. Kemudian ketika
orang yang disamping kita sudah mulai bertindak menghajar dan main hakim
sendiri, apakah kitapun akhirnya
terimbas untuk meniru gerakannya dan melakukan hal yang sama. Bahkan kemungkinan bisa melakukan tindakan yang lebih
sadis lagi, yaitu dengan membakar ataupun yang sejenisnya.
Hal-hal itupun pasti akan terjadi
dan sebagian besar akan dilakukan oleh masyarakat secara bersama-sama dan
spontan. Bagaimana kita mengubah
paradigma kita yang mungkin bisa dimasukkan dalam kategori barbar dan sadis
tersebut.
Mungkin hal yang bisa kita
lakukan adalah dengan memunculkan rasa
kasih yang lebih kepada sesama kita manusia. Seperti ungkapan yang berikut,
Kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri.
Pernah suatu peristiwa terjadi
dikehidupan sejarah manusia. Yakni ketika ada seorang yang tertangkap tangan
melakukan perbuatan zinah dan akhirnnya diarak-arak dan dihadapkan ke Yesus. Para
imam melakukan itu, untuk bisa menguji
dan menyalahkannya. Tapi Yesus tidak begitu menggubris hal itu dan malah
mengeluarkan statement, “Barangsiapa
yang tidak pernah melakukan dosa hendaklah dia yang pertama melempari si
perempuan itu.” Kemudian tidak ada satu orangpun yang berani untuk melemparinya
dengan batu dan malah meninggalkan si perempuan zinah itu.
Perlunya tindakan kolektif tersebut untuk dievaluasi secara
bersama-sama. Perbuatan main hakim sendiri, dan bahkan bertindak diluar
kewajaran kita sebagai manusia, sebenarnya tidak perlu terjadi. Asal kita sudah
bisa memiliki rasa kasih yang dalam kepada sesama. Ketika kita sudah bisa memiliki
kasih yang murni, niscaya pemikiran jahat sekalipun mungkin tidak akan
terlintas dikepala kita. Sebab bahasa kasih itu universal, bukan hanya dimiliki
oleh golongan tertentu.
Mempelajari agama kita dengan baik dan benar itu juga perlu untuk
dilakukan. Tidak mudah terprovokasi dengan ajaran-ajaran kebencian,
permusuhan, bahkan sampai bunuh membunuh, dengan orang yang berbeda paham atau
agama dengan kita. Mari kita pelajari kitab suci kita masing-masing, dan coba
merenungkan kekayaan yang ada didalamnya serta kebenaran yang mungkin bisa kita
terapkan dalam kehidupan kita masing-masing.
Memperhatikan hidup orang-orang yang mengajarkan kebenaran kitab suci
itu juga penting. Apabila hidupnya sehari-hari berbarengan sama dengan apa yang
diajarkannya, untuk berbuat baik, itulah yang patut kita dengar, dan menghidupi
pola kehidupannya. Sebab itu menjadi contoh teladan yang baik untuk bisa kita
tiru dalam kehidupan kita sehari-hari.
Oleh karena itu, diakhir tulisan
saya ini, mari kita bersedia untuk mengelola emosi kita yang berlebihan. Tidak
terlalu reaktif terhadap segala kejadian yang ada disekeliling kita. Mari
memberikan sikap dan tindakan porsi yang wajar, meskipun tindak kejahatan tersebut
sedang terjadi di depan mata kita. Ketika
kita berusaha untuk melumpuhkan si pelaku, bukan berarti kita berhak untuk
lebih dari itu. Melainkan dengan sigap dan tenang untuk membawanya ke pihak
yang berwajib.
Alangkah indahnya negeri kita,
bila rasa kemanusiaan itu yang lebih
dominan kita miliki. Apalagi rasa tersebut ditambah dengan sikap saling mengasihi,
dipastikan kejahatan tidak akan terjadi lagi dibumi Indonesia ini.
Penjara-penjara kita semakin berkurang penghuninya dan tidak perlu penambahan
sel-sel penjara. Dan kejadian yang pernah terjadi di Belanda, akan terjadi di
Indonesia. Dimana Pemerintah Belanda akhirnya menutup banyak penjara-penjara di
negerinya karena sudah tidak ada lagi penjahat yang perlu dimasukkan ke
tahanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar