Berikut perkataan Ustad Baasyir yang enggan untuk meminta maaf.
“Ngapain aku minta maaf ke
manusia? Aku minta maaf ke Tuhan. Lagi, aku tidak bersalah,” ucap Baasyir.
“Ustaz tidak mau (pemberian
grasi). Makanya kita juga bingung yang mewacanakan siapa, Ustaz sendiri tidak
mau. Itu yang disampaikan kepada kami.”demikian kata Kyai Basyir yang
disampaikan oleh penasehat hukumnya pada metroTv (1/3/2018) dan kepada sejumlah
wartawan. Dan sama seperti yang dilansir oleh Tribunnews.com juga.
Alasannya untuk tidak mau
menerima grasi karena beliau tidak pernah merasa bersalah atas segala
perbuatannya. Dimana sejatinya pemberian grasi adalah adanya pengakuan bersalah
di mata hukum. Tapi ketika si pelaku merasa tidak bersalah bagaimanakah proses
kelanjutan pemberian grasi tersebut?
Seperti yang dilansir dari
suduthukum.com (12/2017), sebuah portal hukum Indonesia, menyatakan bahwa pemberian grasi hanya kepada terpidana mati,
seumur hidup, dan penjara paling rendah dua tahun. Dan surat permohonan grasi
itu sendiripun harus ditulis tangan dan ditandatangi oleh si terpidana tersebut dan ditujukan
kepada Presiden.
Dan hal itu dipertegas oleh
Wiranto, Menko Bidang Politik dan HAM, di kantor Menkopolhukam, bahwa pemberian grasi atau abolisi
tidak bisa diberikan begitu saja kepada terpidana, apalagi kasus terorisme. Dia
mengatakan, perlu prosedur hukum dan proses yang cukup dapat
dipertanggungjawabkan dari sisi hukum. (Kompas.com, 2/3/2018).
Dipastikan akan sulit dan menemui
kendala untuk pemberian grasi ini. Sehbab sang ustad sendiri tidak merasa
bersalah, bagaimana mungkin untuk bisa menulis sebuah surat permohonan
pengampunan kepada Presiden?
Pemerintah kita sebenarnya sangat
tanggap dengan situasi dan kondisi mengenai masalah ustad Baasyir ini. Mulai
dari beliau mengijinkan Baasyir untuk berobat dan diperiksa kesehatannya di
RSCM pada Kamis (1/3/2018). Dengan alasan kemanusiaan.
“Ya, ini kan
sisi kemanusiaan, yang juga saya kira untuk semuanya kalau ada yang sakit,
tentu saja kepedulian kita untuk membawa ke rumah sakit guna disembuhkan,"
tutur Jokowi.
Bahkan sedang menunggu
bagaimana langkah keluarga Baasyir di dalam penanganan hukum yang akan diambil
oleh keluarga dan kuasa hukumnya. Seperti yang dilansir oleh news.detik.com
(1/3/2018), pilihan keluarga akan segera mengajukan permohanan status tahanan
rumah dan bukan tahanan kota jika akan dipindahkan ke Solo.
Dimana sebenarnya permohanan untuk segera diberikan
tahanan rumah, sudah sangat lama dan bahkan pernah diajukan di masa Bapak SBY
memimpin. Tapi tidak mendapatkan tanggapan.
Kepolisian sendiripun belum mengetahui rencana akan ada
pemberitan status tahanan rumah kepada terpidana Baasyir. Dimana menurut Kepala
Divisi Hubungan Masyarakat, Irjen Pol Setyo Wasisto, seperti yang dilansir oleh
nasional.tempo(2/3/2018), bahwa pemberian status tahanan rumah harus
membutuhkan kajian yang panjang dan mendalam. Harus mengkaji mudarat dan
manfaatnya serta baik dan buruknya. Sehingga keputusan itu keluar, bukan
asal-asalan.
Itu dari aspek hukum kedepan yang akan mungkin diambil
oleh Baasyir sebagai terpidana kasus terorisme. Tapi yang mau saya bahas di
dalam tulisan ini, bahwa beliau merasa tidak bersalah ketika sudah membunuh
banyak orang. Dimana mis-nya atau
salahnya ini? Ketika hanya mengucapkan ujaran kebencian aja akan kena pasal dan
undang-undang yang berlaku di negara kita, apalagilah yang namanya kasus
penghilangan nyawa orang. Bukan hanya satu atau dua, tapi ratusan hingga
ribuan.
Berikut kasus yang disangkakan, seperti yang dilansir
viva.co.id (9/8/2010) dan dinyatakan bersalah oleh hukum di bangsa kita.
Pertama sekali, tahun 1982, beliau bersama rekannya
Abdullah Sungkar di tahan kepolisian atas dugaan menolak asas tunggal
Pancasila. Tapi di dua tahun setelah masa tahanan, saat kasusnya memasuki
kasasi di MA, mereka melarikan diri ke Malaysia.
Tahun 2002, kembali ditahan atas kasus tahun 1982,padahal
kala itu,peristiwa bom bali I, tapi kemudian MA memutuskan untuk tidak jadi
menghukumnya. Padahal beliau inisiator pelaku pada saat itu. Tapi di tahun
2005, dimana terjdi bom Bali II, baru beliau divonis 2,6 tahun hukuman penjara.
Kemudian pada tanggal 9 Agustus 2010, menjadi puncak
penahanan beliau terlama yakni divonis 15 tahun penjara. Beliau dicokok oleh
densus 88 ketika sedang beriring-iringan hendak menuju Jawa Tengah. Dengan
banyak dugaan keterlibatan beliau. Mulai dari penyiapan pelatihan pasukan jihad
di Aceh, hingga rencana pengeboman Presiden SBY dan sejumlah pejabat tinggi
sewaktu memperingati hari kemerdekaan kita 17 Agustus kala itu. Dimana kalau
itu sukses akan melakukan deklarasi Indonesia menjadi Negara Syariat Islam.
Sejumlah dan serentetan kasus yang mengenainya, dan sudah
dinyatakan bersalah oleh pihak
pengadilan negara kita, tapi merasa tidak bersalah. Dan sungguh memang tidak
mengakui hukum Indonesia, dan inginnya mengakui hukum bangsa Arab.
Mungkin ustad Bassyir belum mendengar cerita
korban-korban dari kasus terorisme tersebut. Seperti yang disaksikan oleh
Chusnul, korban Bom Bali I, tahun 2002, sewaktu pemerintah mengadakan
rekonsilasi antara pelaku teror dan korbannya melalui satu forum kebersamaan
Rabu lalu (28/2/2018) (Kompas.com). Betapa harus menderitanya mereka. Selama 15
tahun, pemerintah tidak menolong pengobatan pemulihan mereka. Dengan luka cacat
di muka mereka yang akan seperti itu selamanya. Dan tentunya banyak cerita dan
pengalaman para korban teror tersebut yang tidak bisa diungkapkan satu persatu.
Masihkah akan tetap ngotot bahwa ustad tidak merasa
bersalah akan hal itu? Sebegitu kuatnya kah iman ustad sehingga merasa yang
paling benar mengikuti ajaran agama yang ustad yakini. Sehingga ketika boleh
melakukan perbuatan teror dan mengakibatkan banyak jatuh korban, akankah merasa
hal itu sah-sah saja dimata ustad? Dan meyakini sekali bahwa ustad tidak
melakukan kesalahan sehingga tidak perlu meminta maaf? Dimana seandainya ustad
sendiri punya kesempatan untuk bisa mendengarkannya curahan hati atau keluhan
mereka, akibat tindakan teror yang ustad lakukan, akankah ustad akan berubah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar