Tertegun melihat kompas cetak
kemarin (12/3/2018). Dinyatakan bahwa jumlah
calon guru kita saat ini melimpah. Dimana tiap tahun jumlah lulusan
sarjana pendidikan sekitar 260.000 orang, tetapi yang terserap untuk program
pendidikan profesi guru hanya sekitar 27.000 orang saja. Dengan kondisi yang
seperti itu, yang terserap dalam profesi keguruan dari jumlah lulusan sarjana
pendidikan hanya berkisar kurang lebih 10 persen saja.
Ternyata hal itu ditenggarai oleh
semakin meningkatnya kesejahteraan para guru. Dan semakin diperkuat dengan
setelah adanya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 yang mengatur dan menjanjikan
tentang kesejahteraan para guru berupa penghasilan diatas kebutuhan hidup
minimum.
Dimana guru yang bersertifikat pendidik dapar meraih tiga kali lipat
daripada PNS lainnya.
Adapun tunjangan yang akan
didapatkan berdasarkan UU tersebut yakni selain gaji pokok yang akan
diterimanya, dimungkinkan juga setiap guru dan dosen akan menerima tunjangan
yang melekat pada gajinya, yaitu tunjangan profesi, tunjangan fungsional, dan
tunjangan lainnya (termasuk tunjangan kemahalan jika bertugas di daerah
terpencil).
Melihat kondisi seperti itu,
memicu banyak anak-anak SMA atau SMK yang akhirnya memilih untuk melanjutkan
studinya di keguruan. Dan akhirnya untuk memenuhi permintaan kebutuhan akan
program studi tersebut, maka semakin menjamurlah Lembaga Pendidikan Tenaga
Keguruan (LPTK) di seluruh wilayah Indonesia.
Berdasarkan data Kementrian
Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, seperti yang dilansir oleh kompas.id
(12/3/2018), bahwa sebelum tahun 2005 jumlah LPTK hanya berkisar 90 institusi
saja. Namun setelah UU yang mengatur kesejahteraan Guru dan Dosen itu
digulirkan, maka jumlahnya terus bertambah. Tahun 2012 bertambah hingga menjadi
381 institusi. Di tahun 2014 menjadi 381 institusi. Dan di tahun 2016 sudah
mencapai angkat 421 insititusi di bidang LPTK, baik dalam bentuk universitas
ataupun dalam bentuk akademi keguruan.
Kemudian dari 421 institusi
tersebut, hanya 18 LPTK yang terakreditasi A, dan yang terakreditasi B hanya 81
institusi. Dari sisi program studinya, terakreditasi A hanya 209 jurusan
program studi, sedang terakreditasi B hanya 811 program studi. Padahal kalau
dibandingkan dengan total program studi ilmu pendidikan yang ternyata totalnya
paling banyak yakni berkisar 5.724 program studi, berarti yang terakreditasi
hanya berkisar 20 persen saja. Lainnya terakreditasi cukup dan bahkan mungkin
belum punya akreditasi.
Bahkan dinyatakan lagi bahwa
jumlah mahasiswa calon guru saat ini berkisar 1,2 juta orang. Sangat tidak
sebanding dengan jumlah kebutuhan guru yang diproyeksikan oleh Kemenristek
dikti yang hanya diperlukan di tahun 2018, yakni hanya berkisar 43.258 orang
saja. Bahkan hingga proyeksi di tahun 2024 pun dimana jumlah kebutuhan yang dibutuhkan
hanya berkisar 126.435 orang saja, dari jumlah 1,2 juta orang mahasiswa
keguruan saat ini, yang hanya terserap baru berkisar 10 persennya saja. Itupun
kalau angkanya tetap di 1,2 juta orang saja setiap tahunnya. Angka tersebutpun
diperkirakan akan naik hingga lima atau sepuluh kali lipat dari jumlah
tersebut. Yang berarti akan banyak sekali jumlah penganguran terdidik di bangsa
ini.
Banyaknya orang muda yang
akhirnya untuk memilih jurusan kependidikan menjadi bidangnya, disamping faktor
yang akan didapatkan nantinya yakni melalui gaji yang akan didapatkan, juga
didukung oleh faktor biaya pendidikan yang terbilang murah untuk bisa kuliah
pada jurusan itu. Tidak semahal dengan biaya pendidikan untuk jurusan bidang
non kependidikan.
Seperti yang disaksikan oleh Lita
pada kompas.id (12/3/2018), bahwa ia mulai kuliah pada tahun 2012 lalu. Dia
mendaftarkan dirinya di STKIP Jakarta. Biaya awal yang dikeluarkan ketika itu
hanya Rp.3 juta rupiah, sedangkan uang semesternya hanya berkisar Rp.600 ribuan
per semester. Kemudian setelah menyelesaikan studinya di bidang ekonomi.
Harapannya tak seindah yang diinginkannya. Jurusan yang ditempuhnya ternyata
tidak dibutuhkan di banyak sekolah yang ia sudah jatuhkan lamaran. Tapi
akhirnya kesempatan itu terbuka ketika dia menjatuhkan lamarannya di SD dekat
rumahnya. Yang hanya memberikan gaji 1,2 juta perbulannya, sepertiga dari
jumlah upah minimum buruh pada saat ini.
Melihat kondisi sekarang ini
juga, uang kuliah tunggal (UKT) yang diterapkan di UNIMED (Universitas Negeri
Medan dulu dikenal dengan IKIP Medan) seperti yang dilansir oleh
spmb.unimed.ac.id (tahun ajaran 2018/2019),bahwa rata-rata pembayaran mahasiswa
untuk kuliah di Universitas itu hanya sebesar Rp.8.391.500 sampai lulus.
Kemudian Tarif UKT yang akan diberlakukan di
Unimed yang terdiri dari beberapa kategori yakni : kategori tidak mampu Rp.
500.000,-, kategori tidak mampu Rp. 750.000,-, kategori cukup mampu Rp.
1.050.000,-, kategori mampu Rp. 1.250.000,-, dan kategori sangat mampu Rp.
1.600.000,-. Sejumlah itulah yang akan dibayarkan oleh para mahasiswa
Indonesia. Sangat murah bukan.
Dengan kondisi yang seperti itu, anak-anak muda niscaya akan merebut
jalur bidang pendidikan sebagai pilihan masa depannya. Tidak mempertimbangkan
lagi kebutuhan riil yang ada di lapangan sekarang. Dimana yang diserap dari
seluruh lulusan kependidikan tersebut hanya berkisar 10 persen saja. 90
persennya lagi mereka akan kemana? Dipastikan akan menganggur kalau tidak
memilih bidang pekerjaan yang lain diluar jalur yang mereka tempuh.
Bagaimana solusinya?
Apa yang harus kita kerjakan atau
persiapkan dengan kondisi-kondisi yang sedemikian tidak menguntungkan bagi kita
para muda-mudi ataupun para mahasiswa. Berikut solusi yang mungkin bisa saya
bagikan, semoga berkenan.
Pertama, memastikan dulu bahwa
untuk kuliah di kependidikan itu, haruslah benar-benar merupakan passion atau hasrat kita yang
sebenarnya. Bukan hanya karena melihat biaya yang murah untuk menempuh bidang
studi tersebut, tapi karena memang betul-betul bergumul untuk bisa mendidik dan
mencerdaskan anak-anak generasi Indonesia selanjutnya.
Kedua, meskipun akhirnya karena
kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan untuk bisa melanjutkan studi di jurusan
yang lain, dan memilih jurusan kependidikan, mari berupaya untuk bisa
mempersiapkan diri kita dengan skill atau kemampuan yang lain. Dan yang paling
untuk memungkinkan yang bisa dikerjakan atau dipersiapkan adalah dengan
mengasah kemampuan entrepreneurship
atau bakat kewirausahaan kita.
Ketiga, mencoba untuk mencari
peluang bisnis yang akan dikembangkan kedepannya. Sehingga itu bisa menjadi
modal kita untuk mempersiapkan masa depan kita yang lebih baik lagi. Dan kalau
memang lebih memungkinkan lagi, mengembangkan usaha rintisan kita itu menjadi
sukses lagi, kemudian sambil bisa bergiat dibidang usaha, sambil bisa kuliah di
jurusan yang kita sukai atau minatin.
Dimana ketika semangat
entrepreneurship tersebut sudah kita kembangkan, maka niscaya kita bukan lagi
masuk ke golongan orang-orang pencari kerja. Dimana golongan ini merupakan
golongan yang paling banyak dimiliki oleh bangsa kita saat ini. Mencoba memupus
harapan untuk bisa PNS. Sebab memang pada kenyataannya kemungkinan lolos
sangatlah kecil, karena sudah memiliki saingan ratusan ribu hingga jutaan orang
yang sudah lama mengantri untuk bisa mendapatkan status tersebut.
Akhirnya untuk bisa memajukan
pendidikan di bangsa kita ini,diharapkan yang terlibat didalamnya adalah
orang-orang yang betul-betul punya niat maupun passion yang betul-betul
untuk bisa memajukan pendidikan kita saat ini. Bukan hanya karena azas mumpung.
Artinya mumpung diterima yah apa boleh buat. Menjalani hari-hari dengan penuh kebiasaan tanpa adanya gairah di
dalam hidupnya sehari-hari. Dan hal itu bisa kita saksikan bersama pada kondisi
kita sekarang ini.
Tidak ada terobosan yang begitu
berarti di dalam pengembangan dunia pendidikan kita. Sebab hari-harinya hanya
untuk bisa menyelesaikan tugas dan tanggungjawab sesuai dengan prosedur atau
ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar