Selasa, 06 Maret 2018

Qlue dan RPTRA Sejumlah Warisan Ahoh Yang Terancam BerhentI


 

Bambang Surya Putra, Kepala Subbidang Peringatan Dini BNPB, mengatakan, “Komitmen penerapan Qlue juga berada di tangan Pemda karena sumber daya kita di Pemda tidak banyak. Namun, banyak Pemda yang enggak siap dengan komitmen, seolah kalau memakai Qlue menelanjangi dirinya sendiri,”

Pemakaian Qlue yang katanya identik dengan Ahok, ternyata dipakai juga di daerah-daerah lain. Seperti di Manado, Sidoarjo, Cilegon, Probolinggo, dan Bima. Tapi terkhusus buat Bima, dengan aplikasi Qlue ternyata bisa menanggulangi masalah banjir di daerahnya. Seperti yang dilansir oleh Tirto.id (12/2/2018).

Awalnya laporan bawahan ke Walikota Bima, menggunakan laporan ABS (Asal Bapak Senang), sehingga penanganan masalah bencana semakin sangat lambat. Akhirnya Pemkotnya berubah dan memutuskan untuk memakai aplikasi Qlue di dua minggu setelah terjadi bencana banjir. Demikian kata Syahrial Nuryadin, Humas Kota Bima.

Dengan aplikasi Qlue tersebut masyarakat luas bisa berpartidipasi secara langsung dengan memfoto dan melaporkannya secara langsung, sehingga dengan cepat diketahui permasalahannya, lokasinya secara tepat dan langsung mendapatkan penanganan langsung oleh relawan,polisi maupun TNI. Dan hasilnya Kota Bima dalam waktu dua minggu kurang, Kota Bima kembali terpulihkan 40 % dan hampir pulih 100% dalam waktu tiga minggu.

Melihat fenomena yang terjadi di Jakarta saat ini,  akibat dari penurunan laporan aplikasi Qlue oleh masyarakat, dari tahun ke tahun, bisa kemungkinan hal ini akan dihentikan. Alasan penurunannya disebabkan oleh partisipasi masyarakat yang mulai berkurang dan rerata penyelesaiannya juga semakin lama.

Dimana Sejak kepemimpinan Anies Sandi, seperti yang dilansir Tirto.id (12/2/2018) bahwa pola manajemen pengaduan warga itu akan berubah dengan menggunakan 7 kanal pengaduan, yakni Facebook,Twitter, Email, SMS, Calling 1708, Balai Warga melalui Kelurahan, dan Aplikasi Qlue. Meskipun tidak lagi memprioritaskan qlue,tapi aplikasi ini tetap digunakan.

Penurunan penggunaan aplikasi tersebut tentu tidak lepas dari prioritas dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemprov DKI. Jika bukan prioritas, tentunya bagaimana cara cepat dalam penyelesaian suatu masalah yang dilaporkan oleh masyarakat, tidak akan dikerjakan.

Kemudian dengan berkurangnya laporan qlue sebagai media untuk memonitoring Jakarta, akankah Kota Jakarta akan semakin bertambah masalah? Silahkan warga Jakarta sendiri yang menjawab. Padahal ketika kita berkaca dalam pengalaman Kota Bima, tentunya bisa sangat efektif dalam menangani banjir.  Dan akankah teruji pernyataan Bapak Bambang, bahwa pemda yang enggan menggunakan aplikasi qlue adalah orang yang enggan untuk menelanjangi dirinya sendiri?

Masalah RPTRA

Di tahun 2019 nanti, RPTRA resmi tidak masuk dalam APBD DKI Jakarta tahun 2019. Karena dengan alasan bahwa pembangunan RPTRA dinyatakan sudah cukup dan ideal. Hal itu dikatakan Agustino Darmawan, Kadis Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman DKI Jakarta. Seperti yang dilansir Tribunnews.com (5/3/2018). Dinyatakan lagi bahwa pembangunan RPTRA tersebut bisa dilanjutkan dengan skema pembiayaan yang tentunya berasal dari dana CSR. 

Padahal kenyataannya, berdasarkan Pemerintah Kota DKI Jakarta Timur, masih membutuhkan sekitar 799 RPTRA lagi. Seperti yang dilansir Jakarta.bisnis.com (5/3/2018). Dimana berdasarkan pengakuannya bahwa warga Jakarta Timur masih membutuhkan RPTRA untuk sarana bermain anak serta berkumpul masyarakat di sekitar wilayah. Padatnya permukiman di kawasan tersebut tentunya akan membuat anak-anak kesulitan mencari lokasi untuk bermain dan beraktivitas.

Padahal Gubernurnya kemarin memegang tagline, maju kotanya, bahagia warganya. Dimana kemajuan kotanya, sedangkan cara-caranya mengelola Jakarta kembali ke sistem yang konvensional? Yang artinya penanganan masalahnya tentu akan semakin lama. Seperti penggunaan aplikasi qlue yang diharapkan bisa membuat masyarakat maupun pemerintah semakin modern di dalam melaksanakan tata kelola pengaduan masyarakat terhadap segala permasalahan di DKI, kini akan menggunakan cara-cara konvensional dengen pergi melapor ke kelurahan.

Dimana kebahagiaan warganya, jika Kota Jakarta sudah tidak menjadi kota yang ramah bagi anak lagi? Kurangnya sarana bermain untuk anak-anak apalagi dengan kondisi lingkungan nya yang amat sangat padat. Juga kurangnya RPTRA sebagai tempat bagi masyarakat untuk bisa berkumpul, bercanda ria maupun  bisa berbagi di antara masyarakat komunitas tertentu.

Dimana ketika kegagalan pemprov DKI di dalam memberdayakan dana CSR yang berasal dari swasta, tentunya pembangunan RPTRA akan berhenti total.

Dengan kondisi yang demikian apakah yang akan terjadi bagi DKI Jakarta setahun atau dua tahun ke depan? Tercapaikah tagline nya Gubernur Anies maupun Wagub Sandi ketika pada masa kampanye dulu, maju kotanya,bahagia warganya?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...