Bambang Surya Putra, Kepala
Subbidang Peringatan Dini BNPB, mengatakan, “Komitmen penerapan Qlue juga
berada di tangan Pemda karena sumber daya kita di Pemda tidak banyak. Namun,
banyak Pemda yang enggak siap dengan komitmen, seolah kalau memakai Qlue
menelanjangi dirinya sendiri,”
Pemakaian Qlue yang katanya
identik dengan Ahok, ternyata dipakai juga di daerah-daerah lain. Seperti di
Manado, Sidoarjo, Cilegon, Probolinggo, dan Bima. Tapi terkhusus buat Bima,
dengan aplikasi Qlue ternyata bisa menanggulangi masalah banjir di daerahnya.
Seperti yang dilansir oleh Tirto.id (12/2/2018).
Awalnya laporan bawahan ke
Walikota Bima, menggunakan laporan ABS (Asal Bapak Senang), sehingga penanganan
masalah bencana semakin sangat lambat. Akhirnya Pemkotnya berubah dan
memutuskan untuk memakai aplikasi Qlue di dua minggu setelah terjadi bencana
banjir. Demikian kata Syahrial Nuryadin, Humas Kota Bima.
Dengan aplikasi Qlue tersebut
masyarakat luas bisa berpartidipasi secara langsung dengan memfoto dan
melaporkannya secara langsung, sehingga dengan cepat diketahui permasalahannya,
lokasinya secara tepat dan langsung mendapatkan penanganan langsung oleh
relawan,polisi maupun TNI. Dan hasilnya Kota Bima dalam waktu dua minggu
kurang, Kota Bima kembali terpulihkan 40 % dan hampir pulih 100% dalam waktu
tiga minggu.
Melihat fenomena yang terjadi di
Jakarta saat ini, akibat dari penurunan
laporan aplikasi Qlue oleh masyarakat, dari tahun ke tahun, bisa kemungkinan
hal ini akan dihentikan. Alasan penurunannya disebabkan oleh partisipasi
masyarakat yang mulai berkurang dan rerata penyelesaiannya juga semakin lama.
Dimana Sejak kepemimpinan Anies
Sandi, seperti yang dilansir Tirto.id (12/2/2018) bahwa pola manajemen
pengaduan warga itu akan berubah dengan menggunakan 7 kanal pengaduan, yakni
Facebook,Twitter, Email, SMS, Calling 1708, Balai Warga melalui Kelurahan, dan
Aplikasi Qlue. Meskipun tidak lagi memprioritaskan qlue,tapi aplikasi ini tetap
digunakan.
Penurunan penggunaan aplikasi
tersebut tentu tidak lepas dari prioritas dari kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemprov DKI. Jika bukan prioritas, tentunya bagaimana cara cepat dalam
penyelesaian suatu masalah yang dilaporkan oleh masyarakat, tidak akan
dikerjakan.
Kemudian dengan berkurangnya
laporan qlue sebagai media untuk memonitoring Jakarta, akankah Kota Jakarta
akan semakin bertambah masalah? Silahkan warga Jakarta sendiri yang menjawab.
Padahal ketika kita berkaca dalam pengalaman Kota Bima, tentunya bisa sangat
efektif dalam menangani banjir. Dan
akankah teruji pernyataan Bapak Bambang, bahwa pemda yang enggan menggunakan
aplikasi qlue adalah orang yang enggan untuk menelanjangi dirinya sendiri?
Masalah RPTRA
Di tahun 2019 nanti, RPTRA resmi
tidak masuk dalam APBD DKI Jakarta tahun 2019. Karena dengan alasan bahwa pembangunan
RPTRA dinyatakan sudah cukup dan ideal. Hal itu dikatakan Agustino Darmawan,
Kadis Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman DKI Jakarta. Seperti yang dilansir
Tribunnews.com (5/3/2018). Dinyatakan lagi bahwa pembangunan RPTRA tersebut
bisa dilanjutkan dengan skema pembiayaan yang tentunya berasal dari dana
CSR.
Padahal kenyataannya, berdasarkan
Pemerintah Kota DKI Jakarta Timur, masih membutuhkan sekitar 799 RPTRA lagi.
Seperti yang dilansir Jakarta.bisnis.com (5/3/2018). Dimana berdasarkan
pengakuannya bahwa warga Jakarta
Timur masih membutuhkan RPTRA untuk sarana bermain anak serta berkumpul
masyarakat di sekitar wilayah. Padatnya permukiman di kawasan tersebut tentunya
akan membuat anak-anak kesulitan mencari lokasi untuk bermain dan beraktivitas.
Padahal Gubernurnya kemarin
memegang tagline, maju kotanya, bahagia warganya. Dimana kemajuan kotanya,
sedangkan cara-caranya mengelola Jakarta kembali ke sistem yang konvensional?
Yang artinya penanganan masalahnya tentu akan semakin lama. Seperti penggunaan
aplikasi qlue yang diharapkan bisa membuat masyarakat maupun pemerintah semakin
modern di dalam melaksanakan tata kelola pengaduan masyarakat terhadap segala
permasalahan di DKI, kini akan menggunakan cara-cara konvensional dengen pergi
melapor ke kelurahan.
Dimana kebahagiaan warganya, jika
Kota Jakarta sudah tidak menjadi kota yang ramah bagi anak lagi? Kurangnya
sarana bermain untuk anak-anak apalagi dengan kondisi lingkungan nya yang amat
sangat padat. Juga kurangnya RPTRA sebagai tempat bagi masyarakat untuk bisa
berkumpul, bercanda ria maupun bisa
berbagi di antara masyarakat komunitas tertentu.
Dimana ketika kegagalan pemprov
DKI di dalam memberdayakan dana CSR yang berasal dari swasta, tentunya
pembangunan RPTRA akan berhenti total.
Dengan kondisi yang demikian
apakah yang akan terjadi bagi DKI Jakarta setahun atau dua tahun ke depan?
Tercapaikah tagline nya Gubernur
Anies maupun Wagub Sandi ketika pada masa kampanye dulu, maju kotanya,bahagia warganya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar