Senin, 24 Juli 2017

Belajar Dari Kesalahan Yohanes Surya

sumber gambar : ISMOC on twitter

Yohanes Surya adalah salah satu tokoh favorit saya, dan dia juga merupakan mentor tidak langsung, Hidup beliau yang terus menginspirasi dunia pendidikan terus berjalan. Mencoba untuk menggebrak dunia pendidikan yang ada di Indonesia ini. Melalui segala idealisme yang dimiliki oleh beliau.

Salah satu hal pelajaran yang sangat menolong saya adalah teori Mestakung-semesta mendukung. Teori ini mengilustrasikan pasir yang dituang terus menerus dalam suatu titik fokus, maka seluruh pasir tersebut akan menyebar dengan rapi dan semakin tajam dan tinggi puncaknya. Artinya ketika kita sudah fokus terhadap suatu hal, seperti pasir yang difokuskan, maka akan tersebar merata sebaran pasirnya, sampai pada akhirnya akan membentuk titik fokus.

Usaha-usaha yang sudah kita alirkan akan terus mencari ruangnya dan bentuknya, hingga pada akhirnya juga akan membentuk suatu titik fokus. Amati dan cermati juga ketika usaha itu terus dikerjakan maka hal-hal yang diluar kita akan mengikuti arah kita, dan menolong kita sampai ke titik puncak dari impian kita (semesta mendukung).

Pasir itu juga berbicara tentang suatu hal yang kecil bahkan sangat kecil. Tapi ketika sudah banyak usaha-usaha kecil atau percobaan-percobaan yang sangat kecil kita lakukan, niscaya pasir-pasir itu juga akan membentuk satu hal fokus dalam kehidupan kita. Seperti keberhasilan dalam kehidupan karir atau pekerjaan  maupun kepribadian kita sekalipun.

Dikatakan lagi, dan bahkan sudah dibuktikan oleh beliau, bahwa tidak ada anak yang bodoh. Yang ada hanya anak yang tidak atau belum mendapatkan guru yang baik dalam mendidiknya. Ketika sudah ketemu dengan guru tersebut, niscaya si anak akan semakin bersinar lambat laun. Akan segera meninggalkan ‘kebodohan’ dalam dirinya sendiri.

Membawa dan mendidik anak Papua secara langsung ke sumber pembelajaran terkonsentrasi di sebuah wadah pendidikan, dalam hitungan tidak begitu lama, niscaya si anak Papua tersebut bisa bersaing dengan rekan-rekan yang lain. Artinya ketika si anak sudah berkata ‘ia’ untuk berangkat, ia tidak diberi kesempatan untuk bisa kembali ke kehidupannya yang dulu. Melainkan seperti Napoleon sewaktu berperang melawan musuhnya, ia membakar kapal yang memberangkatkan mereka ke medan perang, sehingga ketika sudah terlihat mau kalah, terus berjuang, sebab tidak ada jalan kembali lagi untuk pulang, selain kemenangan adalah tujuan akhir berperang.

Hari ini dikejutkan dengan pemberitaan yang kurang elok dipandang oleh mata. Kampus yang sudah dibangun dan sudah dioperasikan sejak di 2013 tahun yang lalu, akhirnya ditinggalkan oleh banyak mahasiswa dan juga para dosen. Bahkan sekarang sudah punya utang hampir 16 milyar ke salah satu bank yang ada di Indonesia. Akibat pengelolaan manajemen yang kurang baik selama kurang lebih empat tahun yang lalu.

Padahal banyak mimpi dan harapan yang ditaruh melalui berdirinya kampus tersebut. Disamping mencetak para mahasiswa-mahasiswi ilmuwan, juga diharapkan bisa memimpin perubahan teknologi dan sains di bangsa kita. Mencoba untuk menggiring percepatan teknologi dan sains untuk segera kita miliki. Segala penemuan dan teknologi yang inovasi tersebut berharap bisa diaplikasikan ke kehidupan masyarakat secara langsung. Sehingga bisa mengurangi cost penelitian yang sudah dikembangkan.

Berharap bisa mengejar ketertinggalan dari negara-negara yang sudah maju, seperti China, Amerika, Jerman, bahkan India sekalipun. Tapi sepertinya mimpi itu akankah terkubur dan tidak tercapai lagi? Seakan-akan Bapak Yohanes Surya sendirian untuk bisa membuat perubahan itu. Sendirian berjuang hidup dengan idealisme yang sangat tinggi. Melakukan banyak pengorbanan, meninggalkan zona nyaman seperti pekerjaan di Negara Paman Sam,yang tentunya menjamin kehidupannya dan masa depannya yang lebih baik. Hanya supaya untuk bisa melihat Indonesia menjadi Pemimpin Perubahan dalam bidang Sains dan Teknologi.

Berani membayar mahal para doktor-doktor yang direkrut untuk membangun sistem pendidikan di kampusnya. Dan banyak pengorbanan lainnya yang mungkin tidak bisa kasat mata terlihat.

Tampaknya pemerintah kita tidak begitu suka untuk membantu segala operasional dari universitas ini. Yang sebenarnya bagi pemerintah, itu bukanlah angka yang fantastis untuk bisa dibantu penyelesaiannya. Hanya 16 milyar, jika dibanding dengan uang yang sudah dikorupsi, seperti proyek e-KTP yang mencapai kerugian 2,3 trilyun Rupiah, sekitar 0,69% saja dari total korupsi e-KTP.

Pemerintah kita seharusnya bisa jeli melihat, mana-mana kampus yang begitu kuat passion-nya dalam membangun bangsa, dan mana-mana saja kampus yang hanya diajarkan untuk saling membenci, mengumpat atau memfitnah, sehingga tidak ada sama sekali kontribusi yang nyata yang bisa dikerjakan oleh pihak kampus tersebut. Para dosennya sibuk mengejar bisnis diluar, atau bahkan tetap kekeh dalam pemahaman radikalis-nya pada ormas-ormas yang jelas-jelas sudah dinyatakan dilarang.

Jadi bangsa kita perlu banyak belajar dan evaluasi dari beberapa kesalahan yang sudah dilakukan oleh  Bapak Yohanes Surya. Supaya generasi-generasi mendatang, bisa meng-handle dengan baik setiap Idealisme-nya yang kuat. Meng-eksekusi dengan baik dan matang setiap perancanaan yang sudah dibuat.

Tak lupa juga, urutan dan kegiatan proses-pengaktualisasian idealisme tersebut juga penting untuk diperhatikan. Termasuk bagaimana pembiayaan-pembiayaannya mulai dari hulu hingga ke hilir, 
supaya bisa tercover dengan baik.

Bahkan kalau perlu, melihat peluang bagaimana keterlibatan pemerintah maupun swasta bisa membantu menolong kita, sebab memang kita tidak bisa sendirian bekerja dan berkarya. Disamping itu juga pemerintah punya sumber kapital atau modal yang besar yang tentunya

Mencari orang yang sama passionnya dengan kita, sehingga kita bisa menemukan mentor sejawat yang juga akan membantu kita dalam proses pengaktualisasian dari idealisme tersebut. Ketika kita buntu, ada teman yang akan mengingatkan dan menasehati kita, sehiingga kita tidak stagnan  dalam kondisi kesulitan yang ada.



Penulis berdomisili di Sibolangit, alumni UNIMED dan Pengajar di STT Terpadu Sibolangit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...