![]() |
Bapak Setya Novanto, Ketua DPR RI (2014-2019) |
Melihat, menonton secara live Mata
Najwa kemarin, saya dapat suatu pelajaran yang lumayan berharga untuk
dilewatkan begitu saja. Mencoba membandingkan antara norma etika maupun hukum.
Seakan-akan bahwa dengan kekuatan hukum tetap atau inkrah-lah bahwa status
seorang dalam sebuah jabatan bisa ditarik atau dialihkan ke yang lain.
Padahal melihat kasus kebelakang,
ternyata bukan hanya satu dua kasus yang melibatkan bapak Setya Novanto ini.
Ada begitu banyak kasus yang terjadi dan ternyata beliau selalu ada tercantum
dan dilibat-libatkan. Meskipun status hukumnya sepertinya sulit untuk
ditegakkan.
Entah apa kekuatan maupun power dari Bapak ini, seakan-akan hukum
kita bertekuklutut dibawahnya. Mungkin pembawaannya yang tenang dan kalem, dan
tidak pernah menunjukkan muka yang panik maupun gelisah, sehingga para
lawan-lawannya seakan sulit untuk bisa menembus kelemahannya yang sudah jelas
tampak nyata.
Apakah status tersangka yang kini
sudah resmi dimiliki bapak ini dari KPK, akan kandas begitu saja dan tidak akan
ada episode berikutnya. Sebab sudah pernah kita lihat bagaimana juga dulu,
seorang calon Kapolri di tahun 2015 lalu, Bapak Budi Gunawan melalukan proses
pra-peradilan dan akhirnya dimenangkan oleh pihak terlapor. Status hukumnya
berhenti, dan KPK tidak menindaklanjuti, dan bahkan sekarang juga menjadi
pejabat di bidang intelijen bangsa kita.
Yang pastinya bapak SN ini, akan
melakukan banyak cara untuk bisa kembali memulihkan namanya. Baik melalui jalur
resmi maupun tidak. Ketika status masih tersangka, undang-undang mengijinkan untuk tidak langsung mengundurkan diri. Atau bahkan
jabatan yang diemban langsung dicabut. Sebab status “tersangka” belum final
untuk bisa menjebloskan seseorang ke tahanan.
Apalagi, ditambah pekerjaan dewan
akan sangat banyak akhir-akhir ini, disamping harus segera menyesahkan RUU
Pemilu yang akan dipakai dipilkada tahun depan dan pemilu 2019, juga harus
menetapkan Rancangan Undang-Undang lainnya. Seperti UU tentang terorisme, yang
juga sangat mendesak untuk proses legitimasinya.
Perlukah Keberanian untuk berkata jujur didepan publik?
Saya rasa ketika kita sudah
mendapatkan amanah untuk memerintah, hendaknya kita harus bersikap jujur kepada
diri kita sendiri terlebih dahulu. Apakah motivasi awal kita? Jika motivasinya
hanya untuk menggerus uang sebanyak-banyaknya, lebih baik tidak usah
memimpinlah. Sebab akan percuma hasilnya. Tidak akan ada hasilnya. Pembangunan
tak tampak, uangpun sudah raib menghilang kemana. Belum lagi akan berhadapan
dengan hukum. Dan akhirnya penjara, rasa malu yang akan kita dapatkan.
Ada dua sikap Bapak Setnov kita
tercinta ini yang sudah kita saksikan sendiri. Pertama, ketika dia berani
langsung mengundurkan diri, ketika kasus PT Freeport “Papa minta saham”,
kemudian, kasus yang terakhir ini, menjadi tersangka atas proyek mega proyek
E-KTP. Sekarang beliau belum berani menyatakan untuk mengundurkan diri.
Seharusnya sudah bisa untuk
mengundurkan diri. Sebab sudah melanggar norma kepatutan atau etika. Meskipun
belum berkekuatan inkrah dihadapan hukum. Tapi, ketika tidak mundur, berarti,
akan menjadi preseden yang buruk dikemudian hari. Menjadi teladan yang tidak
baik bagi generasi-generasi pemimpin dimasa mendatang.
Beda ketersangkaan “Ahok” dan “Setnov”
Kenapa Pak Ahok, pada waktu
kemarin juga tidak langsung mengundurkan diri. Meskipun sama-sama memiliki
status sebagai ‘tersangka’. Ini juga menjadi suatu yang unik untuk dicermati
oleh kita bersama.
Posisi Gubernur ataupun posisi di
Ketua Dewan itu sangatlah vital bagi bangsa kita. Ketika seseorang sudah
mendapatkan status ‘tersangka’, jangan harap menjalankan roda pemerintahan kedepan
akan semulus ketika tidak mendapatkan status tersebut. Terus kenapa Pak Ahok
tidak segera ambil keputusan untuk mengundurkan diri.
Yang bisa saya lihat, ada
perbedaan yang sangat signifikan dikedua kasus ini. Kasus Pak Ahok,
ketersangkaan-nya, karena banyak orang yang tidak suka terhadap kejujuran,
keberaniannya, ketika bekerja membangun Jakarta. Sehingga ketika sudah
mendapatkan cela untuk menjatuhkan, makanya kesempatan itu tidak disia-siakan.
Sedang, kasus Pak Setnov beda.
Meskipun tidak langsung tertangkap tangan, tapi sudah ada niatan yang jahat dalam
proyek E-KTP ini. Meskipun goncangan politik yang ditimbulkan akan sangat runyam,
tapi saya melihat KPK berani menetapkan Bapak Setnov ini menjadi tersangka.
Dilihat dari perkembangan analisa dari banyak saksi dan sejumlah fakta-fakta
persidangan kasus yang sama dengan dua terdakwa sebelumnya.
Jika kita melihat jauh
kebelakang, tepatnya dibawah tahun 2000-an, bahwa ketika orang sudah dinyatakan
sebagai tersangka, maka akan ada rasa malu yang sangat besar. Ekspresi mukanya
akan menunjukkan rasa penyesalan yang dalam, tertunduk terus dan tidak berani
menunjukkan mukanya di media. Sekarang beda. Setiap orang-orang yang sudah
tertangkap, apalagi jika itu adalah kasus korupsi, menunjukkan muka yang tampak
bersemangat, tidak ada rasa penyesalan yang dalam, dan kepala yang akan tampak
tegak terus.
Melihat hal ini,sebenarnya negara
kita sedang mengalami degradasi nilai-nilai yang baik. Kita semakin sering menunjukkan
rasa ketidakmaluan ketika sudah berbuat salah, rasa kebencian yang sangat dalam
kepada oknum tertentu dan bahkan tidak segan-segan untuk mengancam, maupun
membunuh.
Mari kita belajar dari
negara-negara lain, seperti Jepang, maupun Tiongkok. Ketika sudah gagal saja
dalam menjalankan tugas sajapun, mereka akan langsung mengundurkan diri. Tidak
harus menjadi tersangka dulu karena melakukan suatu kejahatan yang terselubung.
Mereka memilih sikap untuk Berani berbuat berani bertanggung jawab.
Harapannya dengan artikel ini,
kita semakin mencintai negeri kita. Jika diberi amanat untuk menjadi pemimpin
di pemerintahan, lakukanlah itu dengan niat yang baik dan jujur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar