![]() |
ilustrasi (okezone news.com) |
Salah satu garda terdepan dalam
penegakan hukum yang ada di Indonesia adalah polisi. Polisi menjadi ujung
tombak dalam memulai suatu upaya proses hukum. Awalnya harus dimulai dari
sebuah laporan polisi oleh orang atau sekelompok orang.
Minggu lalu saya menonton Mata
Najwa episode Tak Kuasa Dipidana. Mulai dari Kasus Fidelis, yang harus dibui
karena menggunakan ganja untuk pengobatan istrinya. Dikatakan bahwa dia sudah
melapor ke pihak BNN untuk bisa mengkompensasi hukum tentang ganja yang akan
ditanam dirumahnya. Sebab dikatakan ganja tersebut bisa mengobati penyakit
langka istrinya. Tapi akhirnya oleh pihak BNN menyatakan belum pernah menerima
laporan tersebut, dan akhirnya dirinya disikat oleh aparat penegak hukum, serta
istri yang dicintai juga meninggal
selang beberapa lama dia di sel penjara. Sepertinya penegakan hukum
untuk masyarakat bawah, sangat tegas sekali sedangkan untuk orang-orang
tertentu sulit sekali penegakannya.
Juga akhir-akhir melihat banyak
kasus hukum yang penyelesaian hukumnya bertentangan dengan rasa keadilan kita.
Dimulai dari Pak Ahok dulu, terkesan memang dipaksakan sejak awal penegakan
hukumnya. Bahkan ketika gelar perkarapun, suara para peserta yang ikut dalam
gelar perkara tidak bulat untuk menyatakan bahwa Pak Ahok bisa ditindaklanjuti
perkaranya. Tapi akhirnya karena banyaknya desakan dengan menggunakan
penanggalan angka-angka cantik, semua proses penegakan hukumnya sangatlah cepat
dan terkesan dipaksakan.
Yang seharusnya, menurut Perkap di tahun 2014 dan sudah ditandatangani oleh
Bp. Badrodin Haiti, bahwa harus diadakan penangguhan penanganan kasus terhadap
seluruh calon kepala daerah yang sedang dilapor oleh satu atau beberapa
pelapor. Sampai proses pilkada selesai baru penanganan kasusnya dilanjutkan.
Penegakan hukum yang sudah melanggar beberapa aturan, toh tetap dikejar tayang
penanganannya, bahkan ketika sudah putus vonis terhadap beliau, kita selalu
merasa terkhianati oleh vonis tersebut. Ada ketidakadilan yang sedang terjadi.
Kemudian datang kasusnya dari
salah satu ulama yang katanya besar, Sang Habib. Statusnya sudah ditetapkan
menjadi tersangka, tapi sampai sekarang tidak bisa diproses karena sudah lari terbirit-birit, pergi ke negeri orang
yang bukan wilayah hukum kita. Disitu tampak kelemahan dari aparat penegak hukum
kita. Sudah dikeluarkan Red Notice ke
pihak interpol, tapi oleh pihak interpol menolak surat tersebut dan tidak bisa
dilanjutkan untuk penangkapan paksa atau penjemputan paksa di luar negeri. Sang
Habib perusak hukum tersebut, bisa hongkang-hongkang
menikmati indahnya alam luar sana. Dan tidak tahu, sampai kapan begini. Sudah
hampir dua bulan sejak penetapan beliau menjadi tersangka, mandek hanya karena
tidak bisa ditangkap.
Sebenarnya polisi kita bukan
karena tidak sanggup untuk menangkap, tapi karena ketidakjelasan hukum di
negeri kita, banyak sekali wilayah abu-abunya, dan penafsirannya bisa ganda
sehingga sulit diproses ke tahap selanjutnya. Disamping itu juga karena
banyaknya desakan-desakan massa maupun tekanan demi tekanan baik yang
terorganisir maupun tidak terhadap para aparat kita ini. sehingga aparat kita
menjadi bulan-bulanan Sang Habib yang katanya besar tapi perusak tatanan hukum
kita.
Belum lagi dalam penanganan kasus
terorisme. Aparat kepolisian juga sulit untuk menangkap para pelaku terorisme
ini. Sebab undang-undang terorisme di negara kita sedang dikatung-katung oleh anggota dewan terhormat kita di pusat. Malah
sekarang mereka lebih sibuk untuk mengurusi orang-orang yang nyata-nyata sudah
jelas di dalam penjara dalam kasus korupsi, untuk dimintai keterangan mereka.
Mungkin mereka mencari peluang-peluang yang belum sempat dikerjakan oleh para
terpidana korupsi tersebut. Peluang untuk bisa lepas dari jebakan Batman oleh pihak KPK. Sehingga mereka akhirnya tidak
bernasib sama seperti mereka.
Para anggota dewan terhormat kita ini sedang
sibuk-sibuk mengurusi hak angket kepada
KPK. Tapi untungnya KPK tidak bergeming sedikitpun terhadap upaya-upaya para
politikus kita ini. Mereka tetap melanjutakan proses penanganan Kasus Proyek
E-KTP. Dimana besok, sang ketua Pansus Hak Angket juga akan diproses untuk
dimintai keterangannya dalam proyek pengadaan E-KTP yang telah merugikan negara
kita lebih dari 2 trilyun. Dan mereka sedang was-was, sebab KPK akan segera
merilis tersangka baru. Berarti mereka sedang siap-siap, bagaimana untuk bisa
lepas dari jeratan hukum tersebut. Berupaya juga untuk bisa menyamarkan ataupun
menghilangkan bukti-bukti keterlibatannya.
Melihat kondisi tersebut, sungguh
sangat jelas bagaimana hasil kinerja para anggota dewan yang terhormat kita
ini. Dari seharusnya ada 34 pembahasan rancangan undang-undang yang harus
diselesaikan dimasa kerja tahun kedua periode 2015-2016, ternyata tak satupun
RUU tersebut selesai.(Sumber) Bagaimana bisa selesai jika para anggota dewan
terhormat kita ini tidak ada rasa kenyamanan maupun kedamaian dalam dirinya,
sebab sibuk untuk menangkis kehilafan atau kesalahan yang sudah
dilakukan kemarin. Tapi saya masih percaya, bahwa masih banyak juga
anggota dewan kita yang jujur dan berintegritas dalam melaksanakan
kedewanannya.
![]() |
sumber : sinar harapan |
Kembali kepada masalah terorisme,
akhir-akhir ini sudah banyak jatuh korban dari pihak kepolisian, bahkan
akhirnya meninggal ataupun terluka, dikarenakan tindakan para terorisme
tersebut. Tidak ada undang-undang yang bisa melindungi mereka terhadap para
calon pelaku teror. Sepertinya tidak ada kepastian hukum dalam negeri kita ini.
Bahkan kemarin tanggal 11 Juli saya mendengar dari Jurnal sembilan smart FM,
bahwa Bapak Kapolri kita sekarang ini, Bapak Tito Karnavian, mau mengundurkan
diri dari jabatannya, dan tidak harus menunggu masa pensiun yang masih lama. Disebabkan
karena peliknya masalah kehidupan berbangsa dan bernegara kita pada saat ini.
Disamping beberapa kasus
tersebut, ada juga kasus yang sedang menimpa anak Bapak Presiden kita. Kaesang
dilaporkan oleh warga Bekasi, Muhammad
Hidayat Sitompul, atas vlog yang diunggahnya beberapa waktu yang lalu. Dia
dianggap telah melakukan ujaran kebencian, hanya karena mengatakan “ndeso” dalam
vlog-nya. Ada yang menarik, ketika di Mabes Polri dikatakan kasusnya tidak bisa
dilanjut dan dinyatakan mengada-ada oleh Bapak Wakapolri kita, tapi ditingkat
Polsek, kasusnya masih terus dilanjutkan, karena ada Perkap-nya. Ada dua
pertentangan yang terjadi antara atasan dan bawahan dijajaran kepolisian kita
ini. Untuk perkap yang ini tidak bisa dilanggar tapi perkap untuk Kasus Ahok
bisa ditiadakan. Tapi saya masih tetap percaya bahwa kepolisian kita sekarang
ini adalah profesional dalam mengerjakan tupoksi mereka.
Meskipun demikian, saya masih
tetap percaya,bahwa bangsa kita adalah bangsa hukum. Artinya hukum-lah yang
menjadi panglima dalam penegakan masalah-masalah hukum yang terjadi. Tanpa
melihat status dan posisi kita. Kita semua sama dimata hukum. Tidak ada orang
yang kebal hukum. Dan saya pastikan itu, bahwa kita bisa menang terhadap
terorisme, terhadap koruptor, terhadap seluruh penjahat yang mengedokkan
agama dan massa sebagai tameng
perlindungannya. Dan proses penegakan hukumnya bisa semakin transparan serta
menciptakan rasa keadilan.
Sibolangit, 12 Juli 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar