Selasa, 11 Juli 2017

SULITNYA PENEGAKAN HUKUM YANG TRANSPARAN BERKEADILAN DI INDONESIA



ilustrasi (okezone news.com)


Salah satu garda terdepan dalam penegakan hukum yang ada di Indonesia adalah polisi. Polisi menjadi ujung tombak dalam memulai suatu upaya proses hukum. Awalnya harus dimulai dari sebuah laporan polisi oleh orang atau sekelompok orang. 

Minggu lalu saya menonton Mata Najwa episode Tak Kuasa Dipidana. Mulai dari Kasus Fidelis, yang harus dibui karena menggunakan ganja untuk pengobatan istrinya. Dikatakan bahwa dia sudah melapor ke pihak BNN untuk bisa mengkompensasi hukum tentang ganja yang akan ditanam dirumahnya. Sebab dikatakan ganja tersebut bisa mengobati penyakit langka istrinya. Tapi akhirnya oleh pihak BNN menyatakan belum pernah menerima laporan tersebut, dan akhirnya dirinya disikat oleh aparat penegak hukum, serta istri yang dicintai juga meninggal  selang beberapa lama dia di sel penjara. Sepertinya penegakan hukum untuk masyarakat bawah, sangat tegas sekali sedangkan untuk orang-orang tertentu sulit sekali penegakannya.

Juga akhir-akhir melihat banyak kasus hukum yang penyelesaian hukumnya bertentangan dengan rasa keadilan kita. Dimulai dari Pak Ahok dulu, terkesan memang dipaksakan sejak awal penegakan hukumnya. Bahkan ketika gelar perkarapun, suara para peserta yang ikut dalam gelar perkara tidak bulat untuk menyatakan bahwa Pak Ahok bisa ditindaklanjuti perkaranya. Tapi akhirnya karena banyaknya desakan dengan menggunakan penanggalan angka-angka cantik, semua proses penegakan hukumnya sangatlah cepat dan terkesan dipaksakan.

Yang seharusnya, menurut Perkap  di tahun 2014 dan sudah ditandatangani oleh Bp. Badrodin Haiti, bahwa harus diadakan penangguhan penanganan kasus terhadap seluruh calon kepala daerah yang sedang dilapor oleh satu atau beberapa pelapor. Sampai proses pilkada selesai baru penanganan kasusnya dilanjutkan. Penegakan hukum yang sudah melanggar beberapa aturan, toh tetap dikejar tayang penanganannya, bahkan ketika sudah putus vonis terhadap beliau, kita selalu merasa terkhianati oleh vonis tersebut. Ada ketidakadilan yang sedang terjadi.

Kemudian datang kasusnya dari salah satu ulama yang katanya besar, Sang Habib. Statusnya sudah ditetapkan menjadi tersangka, tapi sampai sekarang tidak bisa diproses karena sudah lari terbirit-birit, pergi ke negeri orang yang bukan wilayah hukum kita. Disitu tampak kelemahan dari aparat penegak hukum kita. Sudah dikeluarkan Red Notice ke pihak interpol, tapi oleh pihak interpol menolak surat tersebut dan tidak bisa dilanjutkan untuk penangkapan paksa atau penjemputan paksa di luar negeri. Sang Habib perusak hukum tersebut, bisa hongkang-hongkang menikmati indahnya alam luar sana. Dan tidak tahu, sampai kapan begini. Sudah hampir dua bulan sejak penetapan beliau menjadi tersangka, mandek hanya karena tidak bisa ditangkap.

Sebenarnya polisi kita bukan karena tidak sanggup untuk menangkap, tapi karena ketidakjelasan hukum di negeri kita, banyak sekali wilayah abu-abunya, dan penafsirannya bisa ganda sehingga sulit diproses ke tahap selanjutnya. Disamping itu juga karena banyaknya desakan-desakan massa maupun tekanan demi tekanan baik yang terorganisir maupun tidak terhadap para aparat kita ini. sehingga aparat kita menjadi bulan-bulanan Sang Habib yang katanya besar tapi perusak tatanan hukum kita.

Belum lagi dalam penanganan kasus terorisme. Aparat kepolisian juga sulit untuk menangkap para pelaku terorisme ini. Sebab undang-undang terorisme di negara kita sedang dikatung-katung oleh anggota dewan terhormat kita di pusat. Malah sekarang mereka lebih sibuk untuk mengurusi orang-orang yang nyata-nyata sudah jelas di dalam penjara dalam kasus korupsi, untuk dimintai keterangan mereka. Mungkin mereka mencari peluang-peluang yang belum sempat dikerjakan oleh para terpidana korupsi tersebut. Peluang untuk bisa lepas dari jebakan Batman oleh pihak KPK. Sehingga mereka akhirnya tidak bernasib sama seperti mereka.

Para  anggota dewan terhormat kita ini sedang sibuk-sibuk mengurusi hak  angket kepada KPK. Tapi untungnya KPK tidak bergeming sedikitpun terhadap upaya-upaya para politikus kita ini. Mereka tetap melanjutakan proses penanganan Kasus Proyek E-KTP. Dimana besok, sang ketua Pansus Hak Angket juga akan diproses untuk dimintai keterangannya dalam proyek pengadaan E-KTP yang telah merugikan negara kita lebih dari 2 trilyun. Dan mereka sedang was-was, sebab KPK akan segera merilis tersangka baru. Berarti mereka sedang siap-siap, bagaimana untuk bisa lepas dari jeratan hukum tersebut. Berupaya juga untuk bisa menyamarkan ataupun menghilangkan bukti-bukti keterlibatannya.

Melihat kondisi tersebut, sungguh sangat jelas bagaimana hasil kinerja para anggota dewan yang terhormat kita ini. Dari seharusnya ada 34 pembahasan rancangan undang-undang yang harus diselesaikan dimasa kerja tahun kedua periode 2015-2016, ternyata tak satupun RUU tersebut selesai.(Sumber) Bagaimana bisa selesai jika para anggota dewan terhormat kita ini tidak ada rasa kenyamanan maupun kedamaian dalam dirinya, sebab sibuk untuk menangkis kehilafan atau kesalahan  yang sudah  dilakukan kemarin. Tapi saya masih percaya, bahwa masih banyak juga anggota dewan kita yang jujur dan berintegritas dalam melaksanakan kedewanannya.

sumber : sinar harapan

Kembali kepada masalah terorisme, akhir-akhir ini sudah banyak jatuh korban dari pihak kepolisian, bahkan akhirnya meninggal ataupun terluka, dikarenakan tindakan para terorisme tersebut. Tidak ada undang-undang yang bisa melindungi mereka terhadap para calon pelaku teror. Sepertinya tidak ada kepastian hukum dalam negeri kita ini. Bahkan kemarin tanggal 11 Juli saya mendengar dari Jurnal sembilan smart FM, bahwa Bapak Kapolri kita sekarang ini, Bapak Tito Karnavian, mau mengundurkan diri dari jabatannya, dan tidak harus menunggu masa pensiun yang masih lama. Disebabkan karena peliknya masalah kehidupan berbangsa dan bernegara kita pada saat ini.

Disamping beberapa kasus tersebut, ada juga kasus yang sedang menimpa anak Bapak Presiden kita. Kaesang dilaporkan oleh  warga Bekasi, Muhammad Hidayat Sitompul, atas vlog yang diunggahnya beberapa waktu yang lalu. Dia dianggap telah melakukan ujaran kebencian, hanya karena mengatakan “ndeso” dalam vlog-nya. Ada yang menarik, ketika di Mabes Polri dikatakan kasusnya tidak bisa dilanjut dan dinyatakan mengada-ada oleh Bapak Wakapolri kita, tapi ditingkat Polsek, kasusnya masih terus dilanjutkan, karena ada Perkap-nya. Ada dua pertentangan yang terjadi antara atasan dan bawahan dijajaran kepolisian kita ini. Untuk perkap yang ini tidak bisa dilanggar tapi perkap untuk Kasus Ahok bisa ditiadakan. Tapi saya masih tetap percaya bahwa kepolisian kita sekarang ini adalah profesional dalam mengerjakan tupoksi mereka.

Meskipun demikian, saya masih tetap percaya,bahwa bangsa kita adalah bangsa hukum. Artinya hukum-lah yang menjadi panglima dalam penegakan masalah-masalah hukum yang terjadi. Tanpa melihat status dan posisi kita. Kita semua sama dimata hukum. Tidak ada orang yang kebal hukum. Dan saya pastikan itu, bahwa kita bisa menang terhadap terorisme, terhadap koruptor, terhadap seluruh penjahat yang mengedokkan agama  dan massa sebagai tameng perlindungannya. Dan proses penegakan hukumnya bisa semakin transparan serta menciptakan rasa keadilan.

Sibolangit, 12 Juli 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...