Sebenarnya
kiita tidak perlu takut terhadap para terorisme yang selalu berupaya mengancam
kedaulatan bangsa kita. Mengenai masalah keberanian, hal itu sudah ditunjukkan
oleh pemimpin nomor satu di bangsa kita, yakni Bapak Jokowi. Meskipun
kunjungannya ke Negara Afganistan waktu lalu dipenuhi dengan sejumlah aksi bom
yang menewaskan ratusan orang di negara tersebut. Beliau tidak membatalkan
kunjungan kenegaraan yang sudah dijadwalkan tersebut.
Seperti yang
pernah dingkapkan oleh Pramono Anung pada akun twitternya, “Besok tetap akan ke
Afghanistan, walau banyak yang menyarankan untuk menunda kunjungannya karena
adanya ledakan bom di Kabul. Presiden enggak ada takutnya," Sabtu, 27
Januari 2018.
Ketika keberanian itu sudah
ditunjukkan oleh Bapak Presiden kita, bahkan bersama dengan Ibu Negara dan
sejumlah menteri, hal tidak boleh berbanding terbalik dengan masyarakat Indonesia.
Kitapun, sebagai masyarakat, harus menunjukkan bahwa bangsa kita adalah bukan
bangsa penakut apalagi merasa gentar ketika semakin maraknya aksi bom yang
dilakukan oleh terorisme tersebut.
Melihat kaleidoskop aksi
terorisme yang pernah terjadi disepanjang tahun 2017, seperti yang dilansir
oleh tempo.co (29/12/2017) lalu, ada sekitar tujuh kali aksi terorisme yang
dilaporkan. Dari seluruh aksi yang dilakukan, hampir semuanya menyasar kepada
aparat hukum negara kita, yakni kepolisian. Para terorisme berupaya menciutkan
nyali kepolisian kita, tapi hal itu sepertinya tidak berhasil.
Mulai dari penembakan di
Pos Satuan Lalu Lintas Resor Tuban, Jawa Timur; menerobos markas Polres
Banyumas, Jawa Tengah; bom bunuh diri yang meledak didekat beberapa polisi yang
berjaga di Kampung Melayu, Jakarta Timur; menyusup ke pos pintu keluar Polda
Sumatera Utara; menikam dua personel polri di Mesjid Falatehan, tak jauh dari
Markas Besar Polri, Kebayoran Baru; dan terakhir pembakaran Markas Polres
Dharmasraya, Sumatera Barat.
Kemudian kisah
selanjutnya, seperti yang dilansir oleh kupang.tribunnews.com, yakni keberhasilan
para polisi kita didalam menangkap orang-orang yang terduga terlibat terorisme.
Yakni di akhir tahun 2017 lalu, penangkapan dua orang tersangka di Sumatera Selatan
dan di awal Februari tahun 2018, tiga orang terduga terorisme ditangkap oleh
Tim Densus 88, tepatnya di Solo dan Karanganyar (4/2/2018).
Aksi terorisme
yang terjadi di bangsa kita ini, selalu ditengarai
dan diotaki kelompok Jamaah Ansharut Daulah. Dimana peran seorang Muhammad
Bahrunna’im Anggih Tamtomo alias Bahrun Naim, pria 34 tahun asal Pekalongan,
Jawa Tengah, yang pergi ke Suriah sejak 2015 lalu, sangatlah sentral di dalam
seluruh aksi-aksi teror ini. Dia diduga aktif merekrut dan mendanai jaringan
teror di Indonesia dengan menggunakan teknologi layanan pesan dan dengan pembiayaan online. Sehingga
peran pendiri JAD sendiri, Aman Abdurrahman, seolah tenggelam
karena melambungnya nama seorang Bahrun Naim, seseorang yang diyakini sebagai
muridnya.
Banyak faktor
keberhasilan sejumlah aparat kepolisian kita, terutama Tim Densus 88, di dalam
menangkap sejumlah orang yang terlibat dalam jaringan terorisme ini. Dimulai
dari peran aktif pemerintah, supaya berdaulat terhadap seluruh
aplikasi-aplikasi teknologi layanan pesan yang sering dipakai di banyak negara,
termasuk kita. Yakni dengan melakukan pemblokiran sejumlah teknologi layanan
pesan tersebut, ketika aplikasi teknologi tersebut tidak mau memberikan akses
datanya ke pemerintah, lebih tepatnya ke Kementerian Kominfo.
Aplikasi tersebut yakni telegram. Meskipun
yang diblokir adalah telegram.web, belum sampai ke telegram.chat. Aktifnya
diblokir pada 14/7/22017 lalu, kita tidak bisa lagi mengakses aplikasi
tersebut. Sebab disinyalir bahwa aplikasi itu lebih banyak memuat konten-konten
radikalisme maupun terorisme.
Hal ini diungkapkan oleh Semuel A. Pengarepan, Dirjen
Aplikasi dan Informatika Kemenkominfo, “Pemblokiran ini harus dilakukan karena
banyak sekali kanal yang ada di layanan tersebut bermuatan propaganda
radikalisme, terorisme, paham kebencian, ajakan atau cara merakit bom, cara
melakukan penyerangan, disturbing images, dan lain-lain yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan di Indonesia,” seperti yang dilansir oleh
tekno.kompas.com (14/7/2017).
Aplikasi Telegram tersebut baru dibuka di minggu pertama
Agustus, sejak CEO sekaligus Pendiri Telegram, Pavel Durov, sudah bertemu
dengan Bapak Rudiantara, untuk membahas mengenai masalah tersebut.
Tentunya dengan menguasai dan mengetahui segala informasi
tentang kejahatan radikalisme maupun terorisme melalui aplikasi teknologi pesan
tersebut, maka upaya pencegahan tindak terorisme bisa diminimalisir. Bahkan
tentunya bisa melacak aksi-aksi yang sedang mau direncanakan dan langsung menindak.
Seperti terungkapnya terduga terorisme di Solo maupun Karanganyar minggu lalu.
Aksi brilian kedua yang sedang
diupayakan pemerintah pada saat ini, yakni menerbitkan undang-undang Anti
Terorisme, dimana sebelum tanggal 14 Februari nanti, Undang-Undang ini akan
diresmikan oleh Pemerintah bersama dengan DPR. Undang-undang ini sebenarnya
sudah cukup lama dibahas, yakni sejak Mei 2016 lalu. Seperti yang dilansir dari
nasional.tempo.com (7/2/2018).
Perlunya
Undang-undang yang baru untuk bisa menindak aksi terorisme tersebut, disebabkan
undang-undang yang lama, yakni UU No 15/2003 tidak relevan lagi di dalam
menanggulangi masalah terorisme yang semakin menjadi-jadi belakangan ini. Diperlukan payung hukum
baru agar langkah aparat di lapangan dalam memberantas terorisme
lebih trengginas namun tidak melanggar aturan. Beberapa hal yang dinilai
bolong-bolong dalam undang-undang yang ada, misalnya, tidak adanya ancaman
pidana terhadap perbuatan makar atau aktivitas seseorang, atau organisasi
masyarakat yang mendukung tindak pidana terorisme.
Kemudian hal
yang mencuat tentang RUU Anterorisme ini, nama populernya, yakni melibatkan
unsur TNI didalamnya. TNI bersama dengan Polri saling bekerjasama didalam
menanggulangi masalah terorisme ini. Menurut Ryamizard jika sebuah serangan sudah menggunakan
bom, masalah itu sudah masuk dalam ancaman negara karena menggunakan alat
perang. "Ya yang menanganinya pasukan perang pertahanan, yaitu TNI,"
turur dia di Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, 28 Januari 2018 lalu. Kemudian,
beliau mengingatkan bahwa tugas pokok TNI sebagai penjaga keutuhan dan
keselamatan bangsa. Maka penyelesaian terorisme, juga harus melibatkan TNI.
Aksi brilian ketiga, yakni adanya
rencana rekonsiliasi antara mantan narapidana
terorisme dengan keluarga korban. Pertemuan itu dimaksudkan agar bekas
narapidana bisa menyampaikan maaf kepada keluarga korban secara langsung.
Seperti yang dikutip pada tempo.co (6/2/2018),
pertemuan dijadwalkan pada akhir Februari 2018 nanti. Adapun kriteria mantan narapidana yang akan
dipertemukan, menurut Bapak Wiranto adalah orang-orang yang telah dibina dan
mau bekerjasama dengan pemerintah.
Wakil Presiden, Jusuf Kalla mendukung
rencana Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan untuk
mempertemukan mantan narapidana terorisme dengan
keluarga korban.
"Ya, supaya mantan napi terorisme tuh
melihat dengan jelas korbannya apa," kata pria yang akrab disapa
JK itu di kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa, 6
Februari 2018.
JK menjelaskan, para mantan napi terorisme
perlu bertemu dengan keluarga korban agar memahami bahwa tindakan
mereka membuat orang lain kehilangan keluarganya. "Karena di pikiran
mereka kadang-kadang, oh, melawan ingin ngebom orang asing. Tentu mengebom
orang asing sama salah. Semua salah. Tapi, jangan lah menyebabkan orang
kehilangan keluarganya," ujar JK.
Adapun Wakil Kepala Kepolisian RI, Komisaris
Jenderal Syafruddin mengatakan, ada sekitar 150 orang bekas terpidana teroris
yang akan dipertemukan dengan korban. Sebanyak 150 orang itu telah mendapatkan
pembekalan dan pembinaan oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT).
Wiranto menuturkan bahwa langkah-langkah yang
diambil pemerintah Indonesia di dalam melakukan pencegahan perkembangan
terorisme di Indonesia telah mendapatkan dukungan dari dunia internasional.
Mengapresiasi langkah-langkah Pemerintah Indonesia yang melakukan
deradikalisasi para pelaku terorisme tersebut dari hulu ke hilir.
Kemudian Kementerian Sosialpun mengambil
perannya dengan memberikan perlindungan sosial kepada para eks narapidana
terorisme tersebut. Dengan memberikan bantuan sosial melalui Kartu Indonesia
Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan jaminan untuk bisa mendapatkan pekerjaan
yang lebih layak. Sehingga mereka tidak kembali lagi ke pola yang dulu.
Terakhir, sangat mengapresiasi segala upaya
pemerintah kita. Juga mendukung segala aksi brilian dari pemerintah ini. Sebab
tanpa dukungan kita, mustahil pemerintah mampu merealisasikan seluruh
langkah-langkah maupun kebijakan yang telah diambil maupun diputuskan.
Penulis adalah
pegiat dan pemerhati masalah sosial sekaligus pengajar di STAK Terpadu PESAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar