Minggu, 04 Februari 2018

Perlukah Para Guru Membekali Diri Dengan Ilmu Bela Diri


Sekolah Perempuan Muslim di SMA St.Maaz India Selatan



Peristiwa yang dialami oleh seorang guru honorer asal Madura, yang dianiaya oleh muridnya sendiri sehingga berujung kepada kematian, patut menjadi keprihatinan kita bersama. Bapak Ahmad Budi Cahyono harus meninggalkan istri dan anak yang masih di dalam kandungan. Padahal orang Madura dikenal sebagai masyarakat yang sangat memuliakan guru. Orang Madura menempatkan guru di posisi kedua setelah orang tua sebagai orang yang patut dimuliakan. Sehingga dikenal dalam kebudayaan Madura ada istilah : Bapa’Bapu’Guru’Rato yang artinya Bapak, Ibu, Guru, Raja. Raja atau pemimpin ada di nomor tiga setelah Guru.  Dikutip dari emadura.com (2/6/2015).

Bahkan ada dua istilah untuk mengajarkan anak-anak Madura yang kaya akan nilai-nilai moral dan merupakan warisan kebudayaan dari para leluhur dan orang tua yang sangat bijaksana. Dimana bahasa ini menjadi semacam jimat yang harus dihindari oleh anak-anak Madura, supaya bisa terhindar dari perbuatan jelek dan tidak sopan. Yakni istilah ‘Jube’ dan ‘ Cangkolang’

Jube dipakai ketika orang tua hendak melarang anaknya berbuat hal yang tidak patut atau sopan. Contohnya ketika makan sambil berdiri, tidur diwaktu subuh, tidak menanggapi saat dinasehati, dan lain-lain. Sedangkan Cangkolang dipakaikan kepada orang yang sudah melakukan pelanggaran etika sopan santun. Ketika menyematkan istilah ini pada seorang anak, biasanya istilah atau perkataan ini langsung mengena ke sisi emosional anak atau jiwa, sehingga akhirnya dia bisa berubah. 

 Dalam pemikiranku, hanyalah Bapak Ahmad Budi yang mengalami hal tersebut. Ternyata ada juga teman seorang guru, ketika melihat postingannya di media sosial, juga pernah mengalami hal yang sama. Hanya mengalami memar luka dan berdarah tidak sampai geger otak. 

Apakah karena postur badannya yang kecil, sehingga murid yang tampaknya bongsor, langsung main tangan kepada seorang guru? Ketika melihat body gurunya besar, makanya tidak mungkin untuk melakukan aksi preman dan biadab  seperti itu. Dan rekan guru temanku yang dipukuli ini, kebetulan postur tubuhnya memang ceking.

Kemudian, ada balasan seorang guru yang lain dalam postingan tersebut, yang menyatakan bahwa itulah pentingnya bagi guru-guru untuk membekali dirinya bukan hanya dengan ilmu pengetahuan tapi ilmu beladiri juga. 

Jadi pertanyaannya perlukah bagi seorang guru menguasai ilmu beladiri. Sebagai cara kita untuk mengantisipasi hal-hal yang demikian. Mungkin banyak jawaban atau alasan yang akan mungkin bisa kita kemukakan.

Tapi pada prinsipnya, ketika ilmu beladiri tersebut kita kuasai hanya untuk mengantisipasi banyaknya murid yang mulai terdistorsi oleh zaman sekarang ini, dan akhirnya bertingkah layaknya preman di pasar maka jawabannya bisa salah. Seakan-akan anak didik kita sekarang ini, sudah sama atau lebih parah dari hewan. Ketika main pukul dulu baru bisa mengerti apa yang kita maksudkan. Sebab kelas bukanlah ring tempat orang berduel. Melainkan tempat yang harapannya terjadinya perubahan karakter si anak.

Tapi akhirnya ketika kita bisa menguasainyapun bukan dengan misi hanya untuk bisa lebih berjaga-jaga terhadap aksi tindakan preman  seorang murid. Sehingga para guru yang memiliki postur kecil akan berbondong-bondong untuk menambah waktunya dalam menguasai ilmu beladiri tersebut. 

Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa tempat kita dimana tinggal, semakin lama akan semakin jahat. Ketika pendidikan kita gagal untuk mencetak anak-anak yang berkarakter baik, beretika dan memiliki sopan santun, tapi lebih menghasilkan banyak anak-anak yang hanya berpengetahuan luas dan pintar, maka kita akan mempercapat proses diatas, yakni dunia semakin lama akan semakin jahat. Sebab dunia ini hanya dipenuhi oleh orang-orang pintar minus karakter baik di dalam dirinya.

Apakah kekuatan kata-kata seperti kebudayaan Madura tersebut, sudah tidak lagi memberikan efek bagi jiwanya ketika mendengarkan hal tersebut diutarakan. Apakah perkembangan dunia ini yang semakin canggih, dan segala macam di dalamnya, lebih menarik dan akhirnya mengubahkan anak-anak didik kita?

Ternyata permasalahannya terletak kepada keteladanan. Ketika orang tua, guru, atau pemimpin berkata jangan berbohong, jangan mencuri, jangan korupsi, eh, ternyata kitalah yang kedapatan berbohong, kitalah yang mencuri dan kitalah yang korupsi. Sehingga kekuatan kata-kata yang kita berikan tidak lagi mengena kepada si anak yang kita didik. 

Oleh karena itu perlunya keteladanan yang baik yang bisa diberikan orang tua, guru, maupun para pemimpin kita. Sebab ternyata banyak orang yang dewasa sekarang ini, yang sudah tidak lagi menjadi contoh yang baik bagi anak-anak di sekitarnya. Ketiadaan figur yang baik atau sulit dijumpai oleh anak-anak kita, mengakibatkan mereka bertindak sama dengan kita, bahkan mungkin lebih buruk lagi. 

Terakhir, apakah perlu bagi seorang guru untuk belajar ilmu beladiri? Jawabannya perlu, ketika kita memiliki motivasi yang benar untuk menguasainya. Dan cenderung untuk tidak memaksakan diri supaya bisa menguasai itu. Tapi yang lebih perlu sekarang ini adalah menjadikan diri kita teladan yang baik bagi anak-anak kita. Dan akhirnya anak-anak kita, bisa menemukan figur teladan yang baik yang ditampilkan oleh para orang tua, guru-guru dan para pemimpin bangsa kita. 

So, Make the world better. Sehingga dunia kita, apalagi dunia pendidikan kita adalah tempat yang terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...