![]() |
Sekolah Perempuan Muslim di SMA St.Maaz India Selatan |
Peristiwa yang dialami oleh
seorang guru honorer asal Madura, yang dianiaya oleh muridnya sendiri sehingga
berujung kepada kematian, patut menjadi keprihatinan kita bersama. Bapak Ahmad
Budi Cahyono harus meninggalkan istri dan anak yang masih di dalam kandungan.
Padahal orang Madura dikenal sebagai masyarakat yang sangat memuliakan guru.
Orang Madura menempatkan guru di posisi kedua setelah orang tua sebagai orang
yang patut dimuliakan. Sehingga dikenal dalam kebudayaan Madura ada istilah : Bapa’Bapu’Guru’Rato yang artinya Bapak,
Ibu, Guru, Raja. Raja atau pemimpin ada di nomor tiga setelah Guru. Dikutip dari emadura.com (2/6/2015).
Bahkan ada dua istilah untuk
mengajarkan anak-anak Madura yang kaya akan nilai-nilai moral dan merupakan
warisan kebudayaan dari para leluhur dan orang tua yang sangat bijaksana.
Dimana bahasa ini menjadi semacam jimat yang harus dihindari oleh anak-anak Madura,
supaya bisa terhindar dari perbuatan jelek dan tidak sopan. Yakni istilah ‘Jube’ dan ‘ Cangkolang’.
Jube dipakai ketika orang tua hendak melarang anaknya berbuat hal
yang tidak patut atau sopan. Contohnya ketika makan sambil berdiri, tidur
diwaktu subuh, tidak menanggapi saat dinasehati, dan lain-lain. Sedangkan Cangkolang dipakaikan kepada orang yang
sudah melakukan pelanggaran etika sopan santun. Ketika menyematkan istilah ini
pada seorang anak, biasanya istilah atau perkataan ini langsung mengena ke sisi
emosional anak atau jiwa, sehingga akhirnya dia bisa berubah.
Dalam pemikiranku, hanyalah Bapak Ahmad Budi
yang mengalami hal tersebut. Ternyata ada juga teman seorang guru, ketika
melihat postingannya di media sosial, juga pernah mengalami hal yang sama.
Hanya mengalami memar luka dan berdarah tidak sampai geger otak.
Apakah karena postur badannya
yang kecil, sehingga murid yang tampaknya bongsor, langsung main tangan kepada
seorang guru? Ketika melihat body gurunya
besar, makanya tidak mungkin untuk melakukan aksi preman dan biadab seperti itu. Dan rekan guru temanku yang
dipukuli ini, kebetulan postur tubuhnya memang ceking.
Kemudian, ada balasan seorang
guru yang lain dalam postingan tersebut, yang menyatakan bahwa itulah pentingnya
bagi guru-guru untuk membekali dirinya bukan hanya dengan ilmu pengetahuan tapi
ilmu beladiri juga.
Jadi pertanyaannya perlukah bagi
seorang guru menguasai ilmu beladiri. Sebagai cara kita untuk mengantisipasi
hal-hal yang demikian. Mungkin banyak jawaban atau alasan yang akan mungkin
bisa kita kemukakan.
Tapi pada prinsipnya, ketika ilmu
beladiri tersebut kita kuasai hanya untuk mengantisipasi banyaknya murid yang
mulai terdistorsi oleh zaman sekarang ini, dan akhirnya bertingkah layaknya
preman di pasar maka jawabannya bisa salah. Seakan-akan anak didik kita
sekarang ini, sudah sama atau lebih parah dari hewan. Ketika main pukul dulu
baru bisa mengerti apa yang kita maksudkan. Sebab kelas bukanlah ring tempat
orang berduel. Melainkan tempat yang harapannya terjadinya perubahan karakter si
anak.
Tapi akhirnya ketika kita bisa
menguasainyapun bukan dengan misi hanya untuk bisa lebih berjaga-jaga terhadap aksi
tindakan preman seorang murid. Sehingga
para guru yang memiliki postur kecil akan berbondong-bondong untuk menambah
waktunya dalam menguasai ilmu beladiri tersebut.
Memang tidak bisa dipungkiri,
bahwa tempat kita dimana tinggal, semakin lama akan semakin jahat. Ketika
pendidikan kita gagal untuk mencetak anak-anak yang berkarakter baik, beretika
dan memiliki sopan santun, tapi lebih menghasilkan banyak anak-anak yang hanya
berpengetahuan luas dan pintar, maka kita akan mempercapat proses diatas, yakni
dunia semakin lama akan semakin jahat. Sebab dunia ini hanya dipenuhi oleh
orang-orang pintar minus karakter baik di dalam dirinya.
Apakah kekuatan kata-kata seperti
kebudayaan Madura tersebut, sudah tidak lagi memberikan efek bagi jiwanya ketika
mendengarkan hal tersebut diutarakan. Apakah perkembangan dunia ini yang
semakin canggih, dan segala macam di dalamnya, lebih menarik dan akhirnya mengubahkan
anak-anak didik kita?
Ternyata permasalahannya terletak
kepada keteladanan. Ketika orang tua, guru, atau pemimpin berkata jangan
berbohong, jangan mencuri, jangan korupsi, eh, ternyata kitalah yang kedapatan berbohong,
kitalah yang mencuri dan kitalah yang korupsi. Sehingga kekuatan kata-kata yang
kita berikan tidak lagi mengena kepada si anak yang kita didik.
Oleh karena itu perlunya keteladanan
yang baik yang bisa diberikan orang tua, guru, maupun para pemimpin kita. Sebab
ternyata banyak orang yang dewasa sekarang ini, yang sudah tidak lagi menjadi
contoh yang baik bagi anak-anak di sekitarnya. Ketiadaan figur yang baik atau
sulit dijumpai oleh anak-anak kita, mengakibatkan mereka bertindak sama dengan
kita, bahkan mungkin lebih buruk lagi.
Terakhir, apakah perlu bagi
seorang guru untuk belajar ilmu beladiri? Jawabannya perlu, ketika kita
memiliki motivasi yang benar untuk menguasainya. Dan cenderung untuk tidak
memaksakan diri supaya bisa menguasai itu. Tapi yang lebih perlu sekarang ini adalah
menjadikan diri kita teladan yang baik bagi anak-anak kita. Dan akhirnya
anak-anak kita, bisa menemukan figur teladan yang baik yang ditampilkan oleh
para orang tua, guru-guru dan para pemimpin bangsa kita.
So, Make the world better. Sehingga dunia kita, apalagi dunia
pendidikan kita adalah tempat yang terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar