Awalnya ingin menuliskan artikel tentang hal ini, yakni Hati-Hati Mengkritik DPR dengan Sebutan Binatang, Apa Semua Karakter Binatang Jelek? Tapi akhirnya tulisanku berubah judul seperti yang diatas, karena bukti sumbernya kurang kuat. Maksud hati ingin menunjukkan bahwa tidak semua binatang kan jelek karakternya. Kan masih ada itu semut yang rajin, cicak yang kecil tapi bisa berada dimana-mana, singa yang kuat, rusa yang kesukaannya adalah air yang tenang, dan banyak yang lainnya. Ketika disematkan dengan karakter binatang seperti itu, apakah mereka tidak senang?
Kemudian Para
anggota dewan kita sepertinya tidak siap akan kritikan yang tajam yang
terkadang menjadi bentuk hinaan atau mungkin ejekan. Mereka mengistilahkan hal
itu dengan kriminalisasi.
Revisi
Undang-Undang MD3 yang awalnya digunakan untuk menambah kursi kepemimpinan di
kedewanan. Kemudian bertambah lagi agendanya, yakni untuk memberikan pasal
perlindungan bagi kehormatan para dewan kita. Seperti yang dilansir
detik.news.com (13/2./2018), Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan, Sufmi Dasco Ahmad
menyatakan sebagai berikut, bahwa adalah tugas MKD untuk bisa menjaga
kehormatan atau marwah lembaga DPR.
Okelah ketika
dikatakan kursi kepemimpinan sebagai upaya balas budi untuk memberikan tempat
yang pantas bagi seorang pemenang pemilu yang lalu. Hal itu disampaikan oleh
Bamsoet juga (Ketua DPR) ketika
memberikan komentarnya di Metro TV (12/2/2018). Tapi karena satu dan berbagai
hal,maka perubahan dukungan para fraksi yang semula kepada rombongan Prabowo, akhirnya
memihak kepada Jokowi.
Dimana waktu
lalu, melihat proses demokrasi yang coba ditunjukkan oleh DPR kita, di awal
perdana melaksanakan sidang paripurna tahun 2014 lalu; Hasilnya, hampir semua
fungsi kepemimpinan diambil oleh Koalisi Merah Putih pada saat itu. Perlu kita
garis bawahin bahwa pemilihanan ketua dan anggota kelengkapan dewan pada sidang
paripurna tersbut hanya dipenuhi dengan aksi ricuh, intrik dan walk
out, seperti yang dilansir oleh Kompas.com (3/10/2014).
Kemudian pada
akhir-akhir ini,baru menyadari ada sesuatu yang kurang, yakni ternyata Fraksi
PDI P tidak mengambil kursi di kepemimpinan seperti yang ada sekarang. Dimana ada
Fadli Zon dari Gerindra, Fahri Hamzah dari PKS, adalah kader partai oposisi,
yang bisa dipastikan akan terus berseberangan dengan kebijakan Bapak Jokowi,
akhirnya kok bisa duduk di kursi pimpinan.
Kembali ke
revisi undang-undang MD3 tentang perlunya menjaga kehormatan dewan. Pasal anti
kritik atau mungkin bersifat penghinaan memang belum jelas bagaimana kategori
pihak yang dianggap menghina anggota
Dewan hingga dapat dipidanakan. Seperti yang diungkapkan oleh Wakil
Ketua MKD Sarifuddin Sudding, bahwa, “Kami memang diminta membuat dalam rangka
untuk menentukan suatu parameter dalam konteks bagaimana dipasal ini (Pasal 122
huruf k UUMD3), bisa dikategorikan melakukan atau diduga merendahkan kehormatan
DPR,” (Republika.co.id, 13/2/2018).
Tapi ada kemungkinan
dengan revisi MD3 yang tinggal menunggu keputusan pemerintah untuk bisa menjadi sah menjadi UU. Maka bisa disinyalir,
hal itu bisa digunakan sebagai tameng DPR di dalam meringkus orang-orang yang
akan mengkritiknya. Tentunya dengan bantuan tangan kepolisian untuk bisa
menindak hal tersebut.
Selanjutnya,
baik ketika hal itu sudah disetujui ataupun tidak oleh Presiden, pastinya malam
ini (13/2/2018), Bapak Presiden akan menimbang segala kemungkinan dan
konsekuensi dari penetapan revisi Undang-Undang MD3 ini. Meskipun pemerintah
belum sepakat dengan DPR tentang Revisi UUMD3 ini, maka bisa dipastikan akan
menunggu gelar sidang berikutnya dalam pengesahan dan pemberlakuan dari UUMD3
ini. Sebab besok (14/2/2018) adalah yang merupakan hari Valentin, merupakan
masa terakhir dari anggota dewan kita yang terhormat akan bertugas. Setelah itu
mereka akan reses.
Seperti yang
diungkapkan oleh Jhonny Plate kepada Metro.tv (13/2/2018), yang jadi agenda
utama besok adalah mengenai putusan akhir atau pandangan DPR tentang masalah hak angket kepada KPK.
Dimana sebelumnya MK telah mengesahkan pemberian hak angket kepada KPK sudah sesuai
dengan undang-undang.
Aku (Pasal Penghinaan Kepada Presiden)
Bagaimana?
Seperti pada
pemberitaan kompas, 7/2/2018, yakni, Pasal Penghinaan Presiden Jadi Polemik,
Ini Kata Ketua DPR.
“Pasal yang
menjadi polemik masih menjadi pembahasan di Panja RUU KUHP,”ujar Bambang
Soesatyo dalam keterangan tertulisnya .
Adapun pasal
tersebut, yakni Pasal 238 ayat 1, yang berbunyi, setiap orang yang dimuka umum
menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5(lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori I.
Sedangkan ayat
2 berbunyi di pasal yang sama, tidak merupakan penghinaan jika perbuatan
sebagaimana dimaksud ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau
pembelaan diri.
Bamsoet
menyatakan supaya Panja RUU KUHP dan pemerintah untuk bisa segera menemukan
formulasi terbaik. Mulai dari ancaman pidana
hingga jenis delik yang akan diterapkan dalam pasal tersebut. Beliau
berharap supaya kepentingan rakyat untuk mengkritik pemerintah tetap tidak
terhalang dengan adanya pasal penghinaan presiden ini.
Ketika pasal
penghinaan kepada presiden saja mengalami sejumlah polemik dan berharap pasal
tersebut direvisi ataupun diganti, dan diatur dalam KUHP yang merupakan kitab
undang-undang tertua kita? Bagaimana juga dengan RUU MD3 ini, yang ingin
mengakomodir kepentingan para dewan kita yang terhormat? Yakni keinginan untuk bisa
mendapatan tameng anti kritik ataupun penghinaan juga ditambah dengan sejumlah
hak-hak imunitas dari proses hukum yang kemungkinan akan menjerat mereka?
Dimana Pasal
ini jelas-jelas bertentangan dengan hak-hak kebebasan masyarakat untuk
menyampaikan pendapatnya di muka umum. Yang juga sudah diatur dalam kitab
Undang-undang kita juga.
Sebagai
langkah terakhir kita, mari menolak pasal karet ini dengan mengajukannya ke
Mahkamah Konstitusi. Untuk bisa diujikan mengenai sah atau tidaknya perubahan
kedua UUMD3. Sebab ditangan MK-lah
keputusan ini akan berujung kemana. Dan tentunya ini menjadi penentu arah gerak
demokrasi kita akan sampai kemana. Akankah berujung kepada sistem yang semakin
demokratis atau semakin otoriter?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar