Kita tentunya
masih ingat kejadian teror yang pernah terjadi Medan pada Agustus 2016 lalu. Tepatnya
di Gereja Katolik Stasi Santo Yoseph Medan, yang berada di Jalan Mansyur Medan. Awalnya si IAH (18)
berpura-pura menjadi jemaat dan duduk di kursi paling depan. Kemudian ketika
sang Pastor mulai khotbahnya, Suster Yulita OFM, seperti dikutip Kompas (28/8/2016),
mengatakan, pelaku kemudian lari ke altar membawa pisau dan kapak.
Ia melompati tangga dan menghampiri Pastor Albert yang masih
berada di mimbar. Albert turun dari mimbar, tetapi dikejar oleh pelaku yang
hendak mengampaknya. Pelaku yang sempat menusuk lengan kiri sang Pastor, tapi kemudian ditangkap umat. Polisi yang tiba
sesaat kemudian menyisir gereja. Pada pukul 10.10, Tim Penjinak Bahan Peledak
Polda Sumut meledakkan bahan peledak yang masih tersisa di halaman gereja.
Ketika ditelusuri lebih jauh, pihak kepolisian merilis bahwa
motif IAH melakukan penyerangan ke Gereja atas dasar iming-iming oleh orang
yang tak dikenal yang ditemuinya pada Kamis (25/8/2016). Ia diimingi uang
senilai 10 juta jika berhasil melaksanakan tugas yang diperintahkan orang yang
tak dikenal itu, yakni menyerang gereja. Si tersangka sudah dititipin terlebih black powder untuk bisa meledakkan gereja. Tapi beruntung
pada saat kejadian, daya ledaknya tidak begitu kuat.
Buya Syafii, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah mengatakan,
seperti yang dilansir dari Kompas.com (29/8/2016), menanggapi peristiwa teror
di Medan. Beliau mengatakan bahwa para terorisme itu menganut teologia maut.
Yakni punya filsafat berani mati tapi tidak berani hidup. Hal itu tentunya tidak
merusak citra Islam, melainkan sudah menampar kemanusian.
Selanjutnya, peristiwa geger hari ini, Minggu (11/2/2018),
telah terjadi lagi teror di Gereja St. Lidwina, Bedog, Sleman, Yogyakarta. Seperti
yang dilansir dari Kompas (11/2/2018),Permadi menyaksikan bahwa pelaku datang
sudah dengan menghunuskan pedang. Kemudian dia sendirilah orang yang pertama
kali kena luka sabetan di bagian punggungnya. Akhirnya pelaku masuk gereja dari
pintu selatan kemudian terus merangsek ke dalam gereja. Ada sekitar 10 orang
umat kemudian terluka dengan mayoritas luka berada di kepala.
Umat sebenarnya berupaya menangkap pelaku. Namun, karena
pelaku terus mengayunkan pedang, kejadian sulit dicegah, bahkan pelaku
bisa mencapai altar untuk kemudian melukai Pastor Prier yang sedang memimpin
misa.
Tersangka, yang bernama Suliono, akhirnya bisa dilumpuhkan
dengan tembakan di kaki kanan dan kirinya oleh seorang polisi. Dan kini sudah
dirawat di RS Bhayangkara. Korban dari pelaku, seperti yang lansir Kompas.com, yakni ada tiga orang umat, satu romo dan satu
aparat kepolisian yang terluka akibat dari sabetan Suliono.
Meskipun tidak dilengkapi dengan adanya upaya pengeboman, tapi
teror ini, sudah melukai Bangsa Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh Buya
Syafii, saat beliau mengunjungi langsung tempat kejadian perkara di Gereja
Santa Lidwina Bedog. Beliau meminta kepolisian untuk menuntaskan betul kasus perkara
ini, sebab sudah menimbulkan kegaduhan dan ketidakamanan di Yogyakarta.
Sultan Hamengkubowono X merasa sangat prihatin dan sedih
dengan peristiwa pembacokan di Gereja Santa Lidwina Bedog. Beliau berkata, "Dari kondisi itu saya ingin menyampaikan
saya tidak memahami tidak mengerti kenapa ada perbuatan yang keji tanpa ada
kemanusiaan. Ada umat yang sedang melaksanakan ibadah kenapa ada kekerasan,
yang dilakukan seseorang tanpa berperi kemanusiaan. Jelas itu bukan karakter
kita masyarakat Jogja. Saya sangat sedih dan menyesali," tuturnya
Ada
apa dengan Gereja
Seharusnya negara bisa menjamin keamanan den kenyamanan seseorang
atau masyarakat ketika dalam melaksanakan ibadahnya. Peristiwa ini seharusnya
menjadi otokritik bagi pemerintah kita. Supaya lebih massif dan gencarnya untuk
menindak para pembuat teror di bangsa ini. Khususnya di dalam pencegahan
tindakan terorisme.
Kenapa gereja menjadi sasaran tembak dari para teroris ini?
Apa yang sedang diperjuangkan maupun harapan
mereka? Apakah ingin melihat gereja itu hancur? Sehingga hal ini bisa memicu
ketidakamanan dan ketidakkondusifan terjadi di bangsa kita. Ada apa dengan
gereja sekarang ini?
Ketika kita melihat sepanjang tahun 2017, peristiwa teror
tidak lagi menimpa tempat-tempat ibadah. Mereka lebih berfokus kepada aparat
keamanan kita. Dari tujuh peristiwa teror yang ada di sepanjang tahun lalu, ada
enam kasus yang langsung mengena kepada kepolisian kita. Kemudian di tahun ini,
kembali lagi melakukan aksi teror ke tempat-tempat ibadah. Ada apa gerangan
yang sedang terjadi?
Apakah karena tidak berhasil menciutkan kepolisian kita,
sehingga kembali untuk melakukan teror di tempat-tempat ibadah, khususnya
gereja. Oleh karena itu, gereja-gereja sekarang harus lebih bersiap diri dengan
segala kemungkinan teror yang mungkin akan terjadi. Apalagi negara kita akan
sedang melaksanakan tahun politik, dimana para teroris sepertinya ingin
memanfaatkan moment ini.
Gereja sebenarnya harus lebih berperan di di dalam meningkatkan
iman kerohanian dari umat itu sendiri. Apalagi yang terutama, fungsinya adalah
menjadi jawaban dari segala permasalahan yang ada di bangsa ini. Ketika gereja
sudah tidak lagi memberikan dampak bagi lingkungannya sendiri, niscaya gereja
akan lebih banyak mendapatkan masalah. Seperti penolakan hingga penutupan
gereja-gereja seperti yang sudah selalu kita dengar. Hingga akhirnya mendapatkan
aksi teror untuk bisa memberikan rasa takut.
Terakhir peristiwa yang terjadi dua tahun yang lalu di
Medan, dan hari ini di Sleman, seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita
bersama. Untuk lebih bijaksana dalam bersikap. Dan berharap peristiwa ini tidak
terulang kembali dimasa-masa mendatang. Kemudian, saran kedepan, tempat-tempat
ibadah seharusnya menjadi pusat untuk membentuk aklak dan moral suatu bangsa,
dan bukan malah sebaliknya menjadi pusat penanaman kebencian bagi pemeluk agama
lain. Selanjutnya adanya komunikasi yang baik , rasa saling menghormati dan
saling mengasihi diantara sesama kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar