Zaavit seharusnya berkaca dulu sebelum melayangkan
kartu kuning kepada Bapak Jokowi pada saat Dies Natalis BEM UI kemarin di
Depok.Disamping karena kebutaannya akan kondisi lapangan di Papua, kedua
sebagai seorang mahasiswa itu, seharusnya lebih banyak belajar, menggali
fakta-fakta dan sejumlah informasi. Sebelum akhirnya Anda mendapatkan
perundungan dari banyak warganet.
Memang tak menampik, gara-gara itu, Anda menjadi
sangat terkenal di kalangan dunia maya Indonesia. Tiada media yang tidak memuat
berita tentang gaya sok herois konyol yang Anda kerjakan lalu. Peristiwa yang
mencoreng almamater UI dan segenap warga kampus UI.
Mungkin dirimu tak mengenal siapa itu Tigor Silaban
apalagi ayahnya, yang jauh lebih tua dari usiamu sekarang ini. Mari belajar
dari pendahulumu, masih satu almamater dengan dirimu, yakni Bapak Tigor Silaban. Kemudian tunggu dulu,
untuk perkenalan kepada Bapak atau Ayahnya Tigor Silaban. Niscaya kalau dirimu
bisa search sejenak untuk
memastikannya, maka kemungkinan dirimu akan berpikir dua kali untuk memberikan
kartu kuning kepada orang nomor satu di Indonesia ini.
Bapak Tigor Silaban, seorang dokter tamatan UI, lahir
pada 1 April 1953, sudah mengantungi 38
tanda jasa di bidang kesehatan. Sebab
karena kepiawaiannya dalam menjalankan praktek kesehatan dan akan terus
mengabdi di Papua. Sudah berpuluh-puluh tahun mengabdi menjadi dokter orang
Papua, dirinya tidak pernah mengeluh sedikitpun tentang kondisi yang begitu
amat berat disana. Bayangkan saja, ketika baru menapakkan kaki di tanah Papua,
mendengar kabar bahwa ada dokter yang telah dibunuh, tepatnya di Oksibil,
seperti yang dilansir oleh newsdetik.com (7/2/2018), beliau tidak menyurutkan
hatinya untuk tetap berada disana. Menjadi dokter satu-satunya yang menangani
masalah kesehatan disana.
Bukan hanya itu, tugas pelayanan kesehatan yang
dimintakan kepadanya melebihi dari profesi kedokteran yang sudah diselesaikan
sebelumnya, yakni dokter umum. Beliau juga terkadang diminta untuk melakukan
banyak operasi-operasi pembedahan, dan berbagai pelayanan kesehatan lainnya
sesuai dengan kondisi lapangan. Hal itu dilakukan sebab ketika pergi ke rumah
sakit yang ada di Kabupaten, kemungkinan hal tersebut bisa membuat si pasien
akan semakin buruk. Makanya terkadang dirujuk ke puskesmas dimana Bapak Tigor
sendirilah yang menjadi dokter kepalanya disana.
Kalau dirimu ditanyakan Zaadit, akankah dirimu
sanggup untuk pergi kesana? Secara dirimu adalah orang kota, kulit keputihan dan
tambun, apakah dirimu akan mampu berjalan berpuluh-puluh kilometer untuk
mencapai lokasi? Timbul keraguan dalam diri ini.
Kemudian mari lihat papanya Tigor Silaban,
Friedrich Silaban, yang hanya seorang tamatan SMK, sudah memiliki karya arsitek
yang mumpuni, dan sekarang gedung-gedung buatannya tersebut sudah menjadi ikon
bersejarah bagi bangsa kita.
Sebagai bangsa yang baru membangun dan baru merdeka, Friedrich
menyumbang sketsa bangunan cemerlang. Hingga kini kita masih dapat melihat
bangunan rancangan Friedrich di Jakarta seperti Gedung Bank Indonesia (1958),
Gedung Pola (1960-1961), Gedung BNI (1960-1961), Departemen Kejaksaan (1961),
Monumen Pembebasan Irian Barat (1962), dan Markas Besar Angkatan Udara (1964).
Dan karyanya yang paling fenomenal, seperti yang dilansir Kompas.com
(22.2/2016) sekaligus melejitkan
kariernya adalah Masjid Istiqlal (1955). Masjid yang memiliki arti nama "merdeka"
ini sampai sekarang masih menjadi yang terbesar di Asia Tenggara sekaligus
menjadi lambang kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Nanti pada tanggal
22 Februari 2018, Masjid Istiqlal akan berulang tahun yang ke-40.
Bagaimana mungkin anak seorang pendeta, bisa mendesain dan
menyelesaikan pembangunan mesjid terbesar tersebut. Hal ini menjadi fakta
sejarah, bahwa keberagaman dan perbedaan diantara kita, bukanlah menjadi
pemecah di NKRI ini. Kualitas kepribadian yang menonjol berbanding lurus dengan
apa yang dihasilkan. Bukannya dengan orang yang hobinya suka nyinyir, protes
tapi tidak tahu apa yang sedang dikerjakan sekarang.
Apalagi Bapak Jokowi. Orang nomor satu di Indonesia yang telah
giat berjuang membangun Indonesia dari Barat hingga ke Timur, selalu membangun
dari daerah-daerah terluar di Indonesia. Ada terjadi banyak pembangunan yang
dikerjakan, apalagi yang namanya jalan tol, dari Sumatera hingga Papua, yang telah
banyak yang diresmikan beliau pembukaannya, hanya supaya tercipta konnektivitas
antara satu wilayah dengan wilayah yang lain, antara satu desa dengan desa
terpencil yang lainnya.
Tapi oleh Anda dan sejenis Anda, yakni yang kegemarannya adalah
ngomong hal-hal negatif, menjelek-jelekkan, merasa pembangunan yang
dikerjakan itu adalah sebuah kesia-siaan, sebab lupa membangun orangnya. Benarkah
demikian. Sekarang coba kita lihat orang yang sama dengan Anda,yang memegang
peranan kendali memimpin suatu daerah. Apa
yang sedang beliau kerjakan. Terutama hari-hari terakhir ini. Awal sebelum
banjir, tampaknya persiapannya sudahlah matang sekali dengan segala bla…bla….bla..dan
bla…Kemudian ketika kita mendengar omongan yang hebat itu, dalam pikiran kita, oh….
banjirnya pasti dalam waktu sekejap hilang. Tapi ternyata, jauh panggang dari
api, banjirnya perhari ini(8/2/2018) pun belumlah surut. Hanya mencoba
membandingkan saja.
Kembali ke topik yang saya
kemukakan diatas. Ada tiga generasi tokoh yang coba saya bandingkan. Kalau bisa
kita istilahkan, ketiga tokoh tersebut, yakni Zaavit (generasi Z), Bapak Tigor
(Generasi Y), dan Bapak Friedrich (Generasi
Baby Boomers). Maka tampak perbedaan kualitasnya. Yang satu, bisanya hanya
komentar doang, protes. Tapi yang duo Silaban, bukanlah tipe orang yang
demikian. Mari lihat prestasinya diatas dan coba bandingkan, serta simpulkan
sendiri. Tampak perbedaannya bukan.
Dalam diri seorang Bapak, yang
suka membangun dan memberikan hasil kerja nyata bagi bangsa ini. Akan menular
ke anaknya sikap kepribadian yang demikian juga. Oleh karena itu, saudaraku
Zaavit, mari belajar kembali dulu deh. Kemudian setelah menyelesaikan studi
dengan baik, bangunlah bangsa kita ini dengan keahlian yang kamu punya. Mari
tunjukkan prestasimu yang pada akhirnya bisa membanggakan ibu pertiwi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar