Sabtu, 17 Februari 2018

Beda DPR Zaman Old dan Zaman Now Berdasarkan Perspektif Indonesia




Bersyukur kemarin (17/2/2018) bisa belajar banyak hal tentang perkembangan Dewan Perwakilan Rakyat kita kemarin di Perspektif Indonesia. Kerjasama antara Smart FM dengan Populi Center, yang selalu live setiap Sabtu dengan durasi waktu dua jam. Topik yang dibahas adalah “DPR Takut Kritik?”. Dimana narasumber yang berbicara yaitu, Irma Suryani Chaniago (Wakil Ketua Fraksi Partai Nasdem DPR RI), Achmad Baldowi (fraksi PPP DPR RI), Prof.Dr. Satya Arinanto (Gurubesar Hukum Tata Negara UI), dan Sebastian Salang (Forum Masyarat Pemantau Parlemen Indonesia).

Wakil rakyat itu mewakili rakyat. Dan rakyat punya hak untuk mengkritisi, sehingga kontrol sistem ada di rakyat. Ketika DPR sekarang di era demokrasi tapi menerapkan sistem atau pola dalam masa otoriter, maka sesungguhnya DPR kita sekarang ini sudah mengalami kemunduran.

Seperti yang dikatakan oleh Ibu Irma Suryani  berikut, hal ini juga dilansir oleh radarkota.news.com (17/2/2018), bahwa, “Bila anggota DPR tidak bekerja dengan baik, maka rakyat berhak untuk mengkritik. Dan anggota DPR harus siap untuk berbenah. Anggota DPR tentu akan dihormati ketika sudah melakukan tugasnya sesuai dengan tupoksi masing-masing,”



Kenapa DPR harus takut dan tidak siap untuk menerima segala macam keluhan atau bahkan kritikan dari masyarakat? Sehingga harus melindungi diri mereka dengan pasal-pasal seperti yang tertuang di dalam Undang Undang MD3 yang baru-baru ini sudah disahkan. Dan undang-undang ini sedang dalam masa Judical Review di Mahkamah Konstitusi, karena sudah dilaporkan oleh masyarakat/institusi.

Meskipun timbul keraguan atas independensi Ketua MK,  karena sebelumnya telah melakukan lobi-lobi politik kepada anggota Komisi III, sebelum pengesahan mengenai masalah Hak Angket KPK, yang akhirnya menyatakan bahwa Hak Angket KPK sah berdasarkan hukum dan undang-undang di negara kita.



Sengkarut Permasalahan MKD

Masalah perkembangan Mahkamah Konstitusi Dewan, seperti yang dinyatakan oleh Prof. Satya, bahwa perkembangan MKD sekarang ini sudah agak melenceng. Awal fungsinya adalah sebagai dewan etik yang mengurus segala masalah etika, moral maupun kinerja para anggota dewan, tapi sekarang sudah mulai mengatur masyarakat.

Dulu MKD bukanlah suatu tempat yang diidam-idamkan oleh para anggota dewan. Dan jumlah anggotanyapun masih terbilang dalam hitungan jari. Karena fungsinya saat itu tidaklah begitu signifikan. Ketika ada anggota yang masuk ke MKD, seperti anggota yang tersisihkan kala itu.

Ketidakberkembangnya MKD kala itu karena fungsi Fraksi-fraksi masihlah sangatlah kuat. Sehingga ketika ada masalah yang bersangkutan dengan kedewanan, maka fraksi bisa menyelesaikannya. Tapi semenjak masalah kasus-kasus yang menimpa sang ketua DPR dulu, yakni masalah papa minta saham, maka peran MKD semakin berfungsi.

Kemudian mengenai penggunaan istilah Mahkamah pada MKD, sang profesor mengatakan bahwa hal itu kurang tepat. Sebab Mahkamah itu sebenarnya ada pada tingkat putusan akhir di tata hukum pengadilan kita. Awalnya disarankan untuk memakai dewan arbitrase, tapi hal itupun kurang pas untuk bisa menamai dewan etik di lembaga DPR. Jadi akhirnya tetap memakai kata mahkamah di dalam mengurus masalah etik kedewanan.

Perkembangan selanjutnya yang cukup menarik dari pembahasan yang ada di perspektif Indonesia, bahwa baju kebesaran atau jubah untuk sidang peradilanpun, dulu sama sekali tidaklah dipakai. Cukup memakai baju sehari-hari yang biasa dipakai ketika menjalankan fungsi kedewanan. Tapi sekarang supaya nampak keren dan berwibawa akhirnya memakai jubah tersebut.

Sengkarut Permasalahan Mengkuti Perkembangan Zaman

Seperti yang terungkap dalam pembahasan di Perspektif Indonesia, bahwa ada dua kubu yang sedang terjadi di anggota DPR kita saat ini. Yakni antara kubu yang ingin memanfaatkan teknologi zaman sekarang, dan yang tetap ingin dalam kondisi yang seperti sekarang ini.

Beberapa pimpinan ingin masyarakat bisa melihat segala yang terjadi di parlemen melalui teknologi yang bisa digengam masyarakat. Jadi masyarakat bisa melihat secara live apa yang sedang dibahas disana. Kemudian diharapkan bisa langsung memberikan masukan pada saat itu. Supaya masyarakat bisa semakin dekat dengan lembaga DPR.

Tapi banyak juga yang kurang setuju dengan hal itu, dengan alasan bahwa kondisi yang sekarangpun sudah baik adanya tanpa adanya peliputan.

Melenceng sedikit, bahwa ide-ide atau gagasan yang ingin menggunakan program aplikasi untuk bisa me-live-kan segala rapat-rapat di kedewanan maupun rapat paripurna, hal ini sudahlah pernah dilakukan oleh Ahok ketika ia menjabat sebagai Gubernur di DKI periode lalu. Menggunakan media Youtube pada channel khusus Pemprov DKI. Jadi dengan media ini, masyarakat bisa melihat dan menilai program-program mana yang dipikirkan dan akan disegera dilaksanakan oleh pemprov DKI.

Tapi ternyata oleh Gubernur sekarang, memandang hal itu tidaklah perlu lagi dikembangkan. Karena menurut pemimpin DKI sekarang, bahwa itu bisa menjadi sumber-sumber bully baru yang menghilangkan kenyamanan pemprov di dalam memimpin. Juga menurut Sandiaga, bahwa hal itu dinyatakan kurang efektif dan bisa memicu perecahan di masyarakat. Seperti yang dilansir kompas.com (9/12/2017).

Ekses atau akibat yang tak terduga lainnya.

Hal yang menarik yang diungkapkan oleh Prof.Dr. Satya Arinanto pada perbincangan di Perspektif Indonesia. Ketika penetapan UUMD3 ini dan tetap dinyatakan berlaku,  maka  istri atau keluarga yang protes ke suami atau istrinya yang merupakan anggota dewan, hal itu bisa dianggap sebagai penghinaan kepada anggota dewan. Istri atau keluarga bisa kena undang-undang ini dan diproses melalui hukum yang diberlakukan oleh mereka.

Beliau mencontohkan, sewaktu anggota dewan melakukan kunjungan kerja, tapi ternyata sang anggota lebih lama pulangnya dari anggota dewan yang lain. Kemudian sang istri protes ke DPR, maka hal itu bisa dianggap sebagai penghinaan kepada kehormatan dewan.

Itu merupakan contoh ekses atau akibat dari pemberlakuan dari pasal ini. Jadi bukan hanya saja mengarah ke masyarakat, keluarga sendiripun bisa kena dampaknya. Sebab kata-kata yang dimuat dalam UUMD3 tersebut, memiliki pemahamanan yang multi tafsir.Tergantung kepada siapa hal itu disangkakan.

Rencana pembentukan Polisi Dewan kembali. Hal ini memang sudah pernah diutarakan pimpinan Dewan DPR sejak diawal-awal masa tugas mereka. Seperti yang dilansir oleh news.okezone.com (14/4/2015) lalu, dan sekarang hal ini kembali mau digulirkan pembahasannya kembali. Padahal sudah ada Pamdal (Pengamanan Dalam) yang galaknya kalah dengan polisi sekarang ini. Ketika hal ini direalisasikan, maka bisa dipastikan DPR ini akan semakin tidak tersentuh lagi oleh masyarakat.  

Terakhir, hal ini coba saya tuliskan supaya menjadi pembelajaran tersendiri bagi kita semua. Sejumlah fakta-fakta unik dan perkembangan DPR pada masa lalu dan kini ataupun zaman old maupun zaman now. Yang mungkin kita bisa kritisi ketika mereka mulai melenceng maupun kita apresiasi ketika mereka memang bagus dan berhasil di dalam membuat sebuah kebijakan yang baik bagi masyarakat. Tapi sepertinya belum bisa mengapresiasi DPR, karena memang kinerjanya sangatlah jelek. Apalagi mengenai pembentukan Undang-undang yang baru, sangatlah jauh dari apa yang diharapkan.

Kemudian, terkhusus buat UUMD3 yang sudah disahkan saat ini, berharap supaya para dewan yang terhormat untuk bisa memikirkan ulang mengenai pasal-pasal yang mau membuat diri kalian kebal dari kritik, apalagi kebal terhadap upaya hukum yang mau menjerat kalian. Sebab kita semua sama dimata hukum.

Harapan terakhir saat ini sedang bergulir di MK. Berharap supaya MK betul-betul bisa membatalkan putusan UUMD3 ini, sebab memang pada prinsipnya hal ini sangatlah bertentangan dengan proses demokrasi yang ada di tanah air kita.       

Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan Pengajar di STAK Terpadu PESAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...