Senin, 12 Februari 2018

JR Menangis Gagal Menjadi Calon Pilgub Sumut, Dua OTT KPK Lanjut Terus


 
Sesuai dengan tahapan Pilkada, bahwa hari ini (12/2/2018) seluruh KPUD akan menggelar rapat pleno untuk penetapan pasangan calon, sekaligus akan mengambil   nomor urut mereka. Ada yang merasa senang dengan hasil tersebut, tapi ada juga yang akhirnya menangis karena tidak masuk dalam calon penetapan tersebut.

Begitu juga dengan Komisi Pemilihan Umum Sumatera Utara (KPU Sumut), seperti yang dilansir detik.new.com (12/2/2018) akhirnya hanya menetapkan dua paslon, yang sebelumnya ada tiga paslon yang telah mendaftar ke KPUD. Yang tidak dinyatakan lulus yakni pasangan JR Saragih dan Ance Selian karena tidak bisa memenuhi salah satu berkas yang diminta KPUD. Yakni berkas ijazah JR Saragih yang dianggap bermasalah.

Sedangkan dua pasangan lainnya, yakni dua pasang cagub-cawagub yang jadi peserta Pilgub Sumut 2018 adalah Letjen (Purn) Edy Rahmayadi-Musa Rajeckshah (Ijeck) dan Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus. Penetapan ini diumumkan KPU Sumut.

Meskipun penetapan oleh KPU Sumut, kali ini tidak dihadiri oleh paslon yang dinyatakan lolos seleksi, dan hanya dihadiri oleh paslon JR Saragih dan pasangannya Ance, menjadi hari yang memilukan, terkhusus bagi JR Saragih sendiri.

Seperti yang diungkapkannya kepada awak media, usai penetapan paslon oleh KPUD.

"Ada dua juta pendukung JR Saragih. Saya minta untuk semua pencinta JR-Ance tetap kita melakukan yang terbaik, tidak ada satu pun yang boleh ribut. Biarkan hukum yang berjalan. Kita semua solid. Kita tidak boleh menyalahkan yang mana. Masih ada Tuhan di atas manusia," (Kompas.com, 12/2/2018).

Namun disisi lain, ada dua kandidat yang telah dinyatakan tersangka oleh KPK yakni, Calon incumbent Bupati Jombang, Nyono Suharli Wihandoko dan juga calon Gubernur NTT, Marianus Sae, tetap disahkan oleh masing-masing KPUD untuk menjadi calon peserta pilkada nantinya. Adapun Bupati Jombang, yang di OTT oleh KPK pada tanggal 3 Februari lalu, sedangkan Bupati Ngana sebagai calon kandidat untuk pemilihan calon Gubernur NTT, ditangkap hari ini (12/2/2018).

Adapun alasan KPU untuk tetap menetapkan calon-calon kandidat yang terseret kasus hukum, bahwa hal itu tidak diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang berlaku saat ini.  

Seperti yang dilansir dari inews.id (12/2/2018), "Penetapan itu tidak terpengaruh (status hukum Bupati Nyono Suharli). PKPU tidak mengatur bagaimana seorang tersangka tidak bisa digugurkan dan tidak bisa dianulir," kata Komisioner KPU Kabupaten Jombang, Muh Fatoni di Jombang, saat rapat pleno penetapan paslon, Senin (12/2/2018).

Kemudian Komisioner KPU Jombang lainnya, M Jakfar mengatakan, pasangan calon (paslon) Nyono Suharli Wihandoko-Subaidi Muhtar tetap sah untuk bertarung sebagai peserta pilkada. Sesuai dengan aturan, beberapa hal yang membuat pasangan calon tidak bisa ikut misalnya tidak memenuhi syarat kesehatan, berhalangan tetap dan ada keputusan pengadilan yang mempunyai hukum tetap.

Melihat Kasus Ijasah JR Saragih

Beberapa politisi Demokrat maupun PKB langsung bersuara dengan keputusan KPU Sumut. Menuding KPU Sumut telah bermain kotor tentang hal ini. Demikian juga Sekretaris Jendral DPP PKB Abdul Kadir Karding kepada Tirto, Senin (12/2) juga mengatakan hal yang sama, bahwa keputusan KPUD Sumut ini mengada-ada. Sebab partainya sudah memastikan segala persyaratan dan kelengkapan administratif Saragih sebelum diusung sebagai calon gubernur. Beberapa yang menjadi pegangan PKB menurut Karding adalah keputusan Mahkamah Agung yang menyatakan ijazah SMA Saragih asli.

“Ijazah ini sudah dipakai untuk mencalonkan bupati [Simalungun] dua periode dan dipakai untuk mendaftar Akmil, “Jadi ini janggal. Harus ditegakkan hak-haknya,” ujar Karding.

Ketika  melihat kronologi gagalnya JR Saragih masuk sebagai paslon di pilgubsu kali ini, seperti yang dilansir oleh                 news.detik.com (12/2/2018), bahwa ada keterlambatan konfirmasi dan plin plannya Dinas Pendidikan DKI mengenai benar tidaknya ijazah yang dikeluarkan oleh sekolah yang bersangkutan. Pertanggal 22 Januari 2018 lalu, Dinas Pendidikan DKI menyatakan ijazah tersebut tidak benar adanya. Dan hal ini tidak diberitahu KPU Sumut kepada paslon yang bersangkutan. Tapi kemudian per tanggal 9 Februari, menyatakan kembali, bahwa ijazah itu benar adanya. Sehingga KPU Sumut akhirnya mengambil keputusan untuk tidak mengikutkan JR Saragih dan Ance untuk menjadi paslon secara sah.

Kita tidak tahu akan bagaimana kasus ini akan berujung. Tapi upaya hukum pastilah akan ditempuh oleh pihak yang digagalkan.  Apakah akan terulang kisah JR Saragih sebelumnya sewaktu pemilihan Bupati Simalungun tahun 2015 lalu. Dan akhirnya menunda pelaksanaan pemilukada khusus Simalungun. Tapi kemudian belliau sendirilah yang keluar jadi pemenangnya. Atau akankah sebaliknya? Saya tidak punya kapasitas untuk hal itu.

Tapi yang mau saya sorotin adalah perlunya perbaikan  PKPU tentang bagaimana syarat pencalonan seorang kepala daerah dan bagaimana tentang aturan yang jelas mengenai penganuliran atau gagalnya seseorang calon atau paslon tersebut ditetapkan. Ketika hal yang kurang substantif, seperti masalah ijazah, akhirnya bisa menggagalkan seorang paslon tersebut. Sementara hal yang sangat krusial, dan bahkan hal itu sebenarnya sudah diatur dalam PKPU No 3 Tahun 2017, bagian J Pasal 4, menyatakan bahwa tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Apakah perbuatan yang sudah disangkakan korupsi bukannya perbuatan tercela?  

Seharusnya KPU harus bisa bertindak dan memutuskan suatu hal dengan jernih. Ketika diperhadapkan dengan memilih aturan yang mana, antara substantif atau normatif. Seharusnya lebih bisa memilih hal yang substantif dulu,baru yang kemudian ke hal yang normatif. Bahkan kasus JR Saragihpun sudah pernah terjadi sebelumnya pada kasus yang sama. Toh, akhirnya bukankah dirinya yang dimenangkan oleh PTUN dan disahkan oleh MA sendiri?

Kemudian kasus korupsi yang mengena kepada seorang kepala daerah ataupun calon kepala daerah, seharusnya bukan hanya kasus semacam perbuatan tercela saja. Tapi kejahatan tersebut sudah seharusnya digolongkan masuk ke extraordinary crime . Sehingga ketika begitu, ketersangkaan sajapun seharusnya sudah bisa membatalkan pencalonannya. Sebab sudah memiliki niat yang tidak baik dikemudian hari. Kemudian hukumanpun nantinya yang akan ditimpakan adalah hukuman yang seberat-beratnya. Hal-hal inilah tentunya yang akan bisa memberikan efek jera bagi calon koruptor tentunya.

Tapi kalau tidak, niscaya korupsi akan merajalela. Korupsi akan jalan terus. Sebab koruptor tersebut tidak akan merasa apa-apa dengan hukuman yang ditimpakan. Kemudian lebih banyak perasaan  bangga akan dirinya dibandingkan rasa malu. Bahkan akan dianggap sebagai bak pahlawan ketika dia boleh pulang ke kampungnya. Sebuah ironi bagi keberlangsungan pesta demokrasi maupun penegakan hukum yang seadil-adilnya di bangsa kita ini.  

1 komentar:


  1. Anda salah satu pencinta permainan Poker?
    Mari join bersama kami di agent POKERVITA

    Dapatkan bonus menarik setiap hari & minggunya bersama kami

    Info hub
    WA:0812 2222 996

    BalasHapus

4 Aspek Ancaman di Hidup Kita dan Covid 19

(Hizkia Bagian satu- Yesaya 36) Siapa yang tidak pernah mendengarkan kata-kata ancaman dalam tiap kehidupan kita? Bisa dipastika...