Kita sesungguhnya sudah muak
dengan aksi para pejabat negara kita yang tersandung hukum, apalagi kalau
kasusnya tentang korupsi. Dimana seorang kepala daerah itu, di dalam seluruh
kebijakannya seharusnya bertindak untuk mensejahterakan rakyat, bukan malah
malingin uang rakyat.
Kasihan bangsa kita, yang
dipenuhi oleh pejabat korup, pejabat bermental rakus tak ketulungan. Sudahnya
memiliki harta yang banyak, uang melimpah, jabatan ada, kekuasaan ada, tapi
kenapa masih gemar ngutil uang
rakyat. Mau dibawa kemana uang yang ada itu, apalagi uang hasil curian
tersebut.
Ketersangkaan seorang pejabat
publikpun, seharusnya sudah memalukan. Tidak harus menunggu status hukum
berkekuatan tetap atau inkrah, barulah seseorang itu ihklas menjalankan
hukumnya. Memang budaya malu sepertinya sudah kita tidak miliki lagi. Ketika
tertangkap, merasa dirinya sedang apes semata. Kalaulah tidak tertangkap,
bergirang dengan luar biasanya, sambil melibatkan Tuhan dengan berkata “Puji
Tuhan.”
Sebab sudah banyak yang seperti
Bapak Zumi Zola, yang akhirnya mendekam di penjara. Dengan putusan hukum,
sepertinya kurang maksimal dalam putusan vonisnya. Buktinya semakin banyak
koruptor yang bertambah-tambah lagi. Mungkin sudah bisalah negara ini,
konstitusi kita, berpikir untuk memulai vonis hukuman mati bagi mereka yang
terlibat di dalamnya. Seperti yang sudah
dilakukan negara Cina.
Ketika hal itu bisa digulirkan,
apalagi ketika sudah menjadi ketetapan undang-undang kita, niscaya tindakan
korupsi sudah bisa kita minimalisir di negara kita. Kemudian pejabat berikutnya
pasti mikir-mikir untuk melakukan tindakan korupsi.
Zumi Zola sebagaimana yang
disiarkan langsung oleh lembaga anti rasuah kita, KPK, hari ini (2/1/2018) di
Gedung KPK, sepertinya menjadi kasus pembuka di awal tahun 2018 ini. Penangkapan
maupun penetapannya sebagai tersangka, akibat dari pengembangan kasus uang
ketok palu untuk penetapan APBD tahun anggaran 2018.
KPK menduga suap 6 milyar yang
diterima Gubernur Jambi Zumi Zola Zulkifli dan Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pekerjaan
Umum Provinsi Jambi Arfan, digunakan untuk menyuap anggota DPRD Jambi. Suap diberikan kepada anggota DPRD Jambi
supaya bersedia hadir dalam pengesahan RAPBD Jambi 2018 itu, diduga uangnya dikumpulkan oleh para tersangka
dari para kontraktor pada proyek-proyek di Jambi. Seperti yang dilansir oleh
kompas.com (2/1/2018).
Mengingat kasus yang serupa di
Sumut, tiga tahun yang lalu, Gubernur nonaktif Sumatera Utara, Gatot Pujo
Nugroho bersama dengan istri juga melakukan tindakan korupsi. Tapi oleh Majelis
Hakim dalam sidang putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin
(14/3/2016), hanya menjatuhkan hukuman kepada Gatot dan Evy, hukuman
masing-masing 3 tahun dan 2 tahun bulan. Dan wajib membayar denda sebesar 150
juta.
Dimana kedua koruptor tersebut
akan bebas tahun depan (tahun 2019). Sungguh putusan hakim yang tidak
memberikan efek jera bagi para koruptor.
Selanjutnya, kasus tangkap tangan
kepada mantan Gubernur Bengkulu, Ridwan Mukti bersama dengan istri , Lily
Martiani, pada Rabu (21/6/2017) lalu, oleh putusan Majelis Hakim pada Kamis (11/1/2018),
menjatuhkan hukuman penjara selama 8 tahun dan denda Rp 400 juta, kepada kedua
pasangan tersebut. Kemudian memberikan hukuman tambahan, berupa pencabutan hak
untuk menduduki jabatan publik yang hanya berkisar dua tahun. Sumber Kompas
(11/1/2018).
Hukuman yang dijatuhkan sudah
lebih lama, jika dibanding dengan Gatot. Juga adanya tambahan hukuman, tapi
durasi pemberlakuannya hanyalah dua tahun. Vonis hukuman tersebutpun masilah
terbilang ringan, dan juga belum memberikan efek jera bagi para kandidat
koruptor lainnya.
Kemudian, di tahun 2012 lalu,
giliran provinsi Riau yang kena. Dimana Gubernurnya, Rusli Zainal, yang ternyata
sudah dua periode menjabat. Akhirnya tersandung dua kasus korupsi sekaligus,
yakni Suap PON XVIII dan juga kasus korupsi kehutanan. Beliau di tahun 2012,
oleh Pengadilan Negeri Pekanbaru, divonis hukuman penjara selama 14 tahun. Tapi
kemudian akhirnya mendapatkan pengurangan hukuman menjadi 10 tahun setelah
upaya PK (Peninjauan Kembali) di Mahkamah Agung (MA) dikabulkan pada Jumat
(24/11/2017) lalu. (Sumber : Kompas.com).
Diperiode pertamanya, kemungkinan
jujur di dalam pelaksanaan pemerintahannya, tapi kemudian diparuh periode kedua,
akhirnya terjebak dengan kasus korupsi. Bukan hanya satu, dua kasus langsung
menderanya.
Tantangan kedepannya Bagi Para
Kandidat
Melihat fenomena-fenomena kasus
korupsi yang sudah melanda para pejabat daerah, hendaknya, para kandidat,
maupun para kandidat yang sudah terpilih tahun lalu (2017), supaya bisa wanti-wanti,
mawas diri, dan berhati-hati. Jangan munculkan kerakusan dalam diiri Bapak atau
Ibu sekalian.
Bertindaklah benar, bertindaklah
dengan cepat dalam mengatasi setiap permasalahan yang ada. Apalagi ketika
memiliki APBD yang lumayan besar, janganlah berupaya melakukan atau menambah pos-pos
anggaran siluman, apalagi yang peruntukannya untuk sesuatu yang tidak jelas dan
mengambang.
Meskipun hukuman yang diterapkan
di bangsa ini, belumlah maksimal didalam menindak dan memberikan putusan
hukumnya. Janganlah seolah-olah itu dijadikan sebuah kesempatan untuk bertindak
dengan tidak jujur. Milikilah rasa malu yang besar, bukan hanya bagi keluarga
semata, juga bagi masyarakat Indonesia, khususnya daerah yang Anda pimpin. Tapi
juga untuk Tuhan. Sebab tugas tersebut adalah amanah yang nantinya kita harus
pertanggungjawabkan kepada-Nya nanti. Bebas dari hukuman di bumi, tapi di dunia
akhirat belum tentu bebas.
Jadi, bagi para kandidat yang
sudah mendaftarkan dirinya di KPU setempat, mari tolong cek lagi motivasimu di
dalam memimpin suatu daerah. Jika memimpin untuk melakukan perubahan yang lebih
baik, kesejahteraan meningkat, maka lakukanlah. Tapi jika untuk mengeruk atau
menggarong uang rakyat, sebaiknya mundur saja, sebelum akhirnya akan ditangkap
seperti Zumi Zola hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar